Penjelasan tentang Khilafah
Dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun, dipaparkan bahwasannya Khilafah adalah suatu sistem pemerintahan yang secara kaffah menerapkan syariat, meninjau suatu maslahat yang kembalinya kepada urusan akhirat. Sementara jika maslahatnya adalah kepentingan duniawi maka bukan Khilafah, melainkan Siasah (politik belaka). Meski keduanya sama-sama mempertimbangkan kemaslahatan-kemaslahatan.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut.
Khalifah memiliki dua arti. Pertama, kepemimpinan manusia di muka bumi untuk mengelola alam, dan kewenangan ini diberikan dengan adanya batasan atas tanggung-jawab yang baik dan tidak berlebihan. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam al-Baqarah ayat 30,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”(QS. al-Baqarah ayat 30)
Bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk memenuhi peran ini adalah akal. Keberadaan akal itu membuat manusia dapat melakukan pengamatan terhadap alam semesta dan sekitarnya.
Kedua, bermakna penerus atau perwakilan. Dalam konteks ini, khalifah adalah pengganti atau penerus Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Kepemimpinan umat ini memiliki dimensi duniawi dan agama. Sehingga, pada dasarnya, khalifah adalah pemimpin dan pembimbing umat Islam dalam urusan administratif kenegaraan ataupun moral dan agama. Khalifah sendiri juga bisa disebut dengan gelar Khalîfatur-Rasûl, Amîrul-Mukminîn, dan Imâmul-Muslimîn.
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan pada masa tersebut. Masa kekhalifahan terklasifikasi dalam empat periode: Kekhalifahan Rasyidin (632–661), Kekhalifahan Umayyah (661–750), Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 dan 1261–1517), dan Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924).
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Dalil wajibnya mengangkat Khalifah tertera dalam ayat al-Qur’an berikut:
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ…
“Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah…” (QS. Shad ayat 26)
Kemudian juga ada hadis Nabi yang secara tidak langsung menjadi dalil wajibnya mengangkat khilafah:
خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةّ، ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ
“Kekhalifahan ala Nabi berjalan selama 30 tahun. Setelah itu, Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Ahmad no 4646)
Kewajiban melantik seorang pemimpin ini merupakan kewajiban yang bersifat syar’i. Berbeda dengan Muktazilah yang berasumsi bahwa kewajiban ini hanya berdasarkan akal. Karena mereka menimbang segala perbuatan baik dan buruk juga dari akal.
Ahlusunah walJamaah berpendapat bahwa wajibnya melantik seorang pemimpin bagi umat Islam bersifat mutlak baik di masa fitnah ataupun tidak. Ada sebagian kelompok Muktazilah yang mengatakan bahwa wajibnya mengangkat Khilafah ini jika orang-orang lalai terhadap syariat. Jika hukum-hukum Islam sudah diterapkan, maka sudah tidak perlu lagi untuk menegakkan khilafah. Pendapat ini merupakan pendapat ulama Muktailah: Abu Bakar al-Asham.
Hisyam al-Ghuthi, berpendapat bahwa hukum wajibnya mendirikan khilafah itu ketika memang umat sudah melaksanakan syariat Islam dengan baik. Jika tidak, yaitu ketika tampaknya kezaliman, maka tidak usah mendirikan khilafah. Pendapat yang terakhir ini terkesan lucu dan ambigu. Ketika syariat sudah dijalankan secara baik oleh umat, malah wajib menegakkan khilafah. Sedangkan saat kezaliman sedang semarak, malah tidak mewajibkan Khilafah?!
Ismail | Annajahsidogiri.id