Telah maklum bahwa Ahlussunnah wal Jamaah memiliki metodologi yang baku dan aturan yang tertib dalam menjalankan ajaran agama yang berakhir pada konsep beragama yang dimiliki oleh Ahlussunnah wal Jamaah, sehingga, sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan tentang “keharusan bermazhab”, hanya para mujtahid lah yang boleh menggali hukum langsung dari al-Quran dan hadis, sedangkan selain mereka tidak diperbolehkan, dan dipersilakan untuk taklid kepada salah satu mujtahid.
Itulah sebabnya kenapa kita menolak ajakan “kembali kepada al-Quran dan hadis” sebagaimana diserukan oleh kalangan fundamentalis seperti Wahabi. Begitu pula kita juga menolak jargon “al-Quran adalah kitab yang terbuka” yang diserukan oleh kelompok liberalis, sebab telah mempersilakan semua orang untuk menggali pemahaman dan hukum sendiri dari al-Quran, serta menafsirkan al-Quran tanpa merujuk pada ulama ahli. Kedua pendekatan itu jelas tidak sesuai dengan metodologi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah, dan karena itu bisa merusak ajaran Islam itu sendiri.
Baca Juga: Meluruskan Ajakan “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah”
Dalam Islam, agama itu terangkai dari tiga elemen pokok yang tidak terpisahkan. Pertama, rujukan, sumber, atau dalil (al-maṣādir wal-adillah). Kedua, metodologi baku dalam memahami dalil (al-manhajul-mu‘tamad wal-munḍabiṭ fī fahmil-adillah). Ketiga, keahlian khusus yang dimiliki oleh orang yang bisa menerapkan metodologi baku itu dalam memahami dalil atau naṣ (malakāt wa mawāhib qā’imatun bisyakhshiyyati man yuṭabbiqul-manhaj ‘alan-naṣ).
Lalu dari mana pemahaman tentang tiga komponen ilmu itu didapat? Jawabannya adalah dari sejumlah ayat dalam al-Quran dan hadis yang menjelaskan hal itu secara gamblang. Dalam sebuah hadis riwayat ad-Dārimī misalnya dijelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ e أَنَّهُ قَالَ: خُذُوْا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ. قَاْلُوْا: وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللهِ وَفِيْنَا كِتَابُ اللهِ؟ قَالَ: فَغَضِبَ لاَ يُغْضِبُهُ اللهَ ثُمَّ قَالَ: ثَكِلَتْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ، أَوَ لَمْ تَكُنْ التَّوْرَاةُ وَالإِنْجِيْلُ فِي بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمْ شَيْئًا؟ إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ (رواه الدارمي)
Dari Abī Umāmah, dari Rasulullah SAW, bahwa Beliau bersabda: “Ambillah ilmu sebelum ia menghilang”. Para sahabat bertanya: “Bagaimana ilmu bisa hilang, wahai Rasulullah, padahal al-Quran ada bersama kami?” Abu Umāmah berkata: Lalu Rasulullah SAW. marah, kemudian beliau bersabda: “Ingat dan perhatikan baik-baik! Bukankah Taurat dan Injil ada bersama Bani Israel, tapi keduanya tak memberikan manfaat kepada mereka? Sesungguhnya hilangnya ilmu itu dengan meninggalnya para pemegangnya.” (HR. Ad-Darimi).
Perhatikanlah, bagaimana Rasulullah SAW. dalam hadis di atas memberikan warning kepada para sahabat akan hilangnya ilmu, lalu sahabat bertanya “bagaimana ilmu bisa hilang sedangkan di antara kita sudah ada al-Quran?” Di sini sahabat menduga bahwa keberadaan al-Quran yang telah dihafal dan dituliskan, telah cukup memberikan jaminan keamanan bagi agama seseorang dan dengan itu ia tidak akan keliru dan tidak akan tersesat dalam memahami dan menjalankan agama.
Namun ternyata tidak demikian. Rasulullah SAW. justru menyangkal dugaan seperti itu, dan menegaskan bahwa keberadaan al-Quran di tengah-tengah kalian saja tidak cukup. Bukankah sebelumnya Bani Israel memiliki kitab Taurat dan Injil? Namun karena tidak ada orang (ulama) yang bisa menyampaikan kebenaran yang terkandung di dalam kitab itu dengan amanah ilmiah dan keahlian yang semestinya, maka Bani Israel terjerumus ke dalam jurang kesesatan. Maka terbukti, adanya kitab suci saja tidak cukup, namun di samping itu juga diperlukan adanya orang yang bisa menjelaskan isi dari kitab suci itu, dengan menggunakan manhaj atau metodologi yang baku.
Jika kita menyelami samudera al-Quran, ternyata ada sekian banyak ayatnya yang menegaskan keterpaduan antara tiga komponen di atas, antara ilmu agama dan ulama yang menggali pemahaman terhadap landasan agama dengan menggunakan metodologi yang baku. Antara lain adalah sebagai berikut:
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ، ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا (فاطر [35]: 31-32
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu al-Kitab (al-Quran) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. (QS. Fathir [35]: 31-32).
Dapat kita lihat dengan jelas, bagaimana dalam surat Fathir ayat 31 di atas, Allah SWT menyatakan telah mewahyukan al-Quran kepada Nabi. Namun firman Allah tidak berhenti pada poin itu saja, terbukti pada ayat berikutnya di surat yang sama (ayat 32), Allah memberikan penegasan telah mewariskan al-Quran itu kepada hamba-hamba pilihan-Nya, yang tak lain adalah para ulama, di mana para ulama inilah yang nantinya bisa menjelaskan maksud dari isi kandungan al-Quran pada umat. Penegasan al-Quran akan hakikat ini juga bisa dengan mudah dijumpai dalam sekian banyak ayatnya, seperti dalam surat as-Sajadah [32]: 23-24, al-A’raf [7]: 196, al-Kahfi [18]: 1.
Ternyata, ketiga komponen pokok yang tak terpisahkan dalam memahami agama di atas, telah menyatu dalam karakter dan watak ilmiah yang diterapkan oleh umat Islam dalam berbagai bidang keilmuan. Semisal dalam ilmu ushul fikih, para ulama ahli ushul fikih mendefinisikan ushul fikih sebagai berikut:
أُصُوْلُ الْفِقْهِ هُوَ الْعِلْمُ بِأَدِلَّةِ الْفِقْهِ الْإِجْمَالِيَّةِ، وَالْعِلْمُ بِكَيْفِيَّةِ الْإِسْتِفَادَةِ مِنْهَا، وَالْعِلْمُ بِشُرُوْطِ الْمُسْتَفِيْدِ.
Ushul fikih adalah ilmu tentang dalil-dalil fikih yang bersifat global, ilmu tentang cara memanfaatkan dalil-dalil itu, dan ilmu tentang syarat-syarat orang yang bisa memanfaatkan dalil-dalil itu.
Poin definisi ushul fikih yang pertama (ilmu tentang dalil-dalil fikih yang bersifat global) menyiratkan rujukan, sumber, atau dalil (al-maṣādir wal-adillah). Poin definisi ushul fikih yang kedua (ilmu tentang cara memanfaatkan dalil-dalil) menyiratkan metodologi baku dalam memahami dalil (al-manhajul-mu‘tamad wal-munḍabiṭ fī fahmil-adillah). Sedangkan Poin definisi ushul fikih yang ketiga (ilmu tentang syarat-syarat orang yang bisa memanfaatkan dalil-dalil) menyiratkan orang yang bisa menerapkan metodologi baku itu dalam memahami dalil atau naṣ (malakāt wa mawāhib qā’imatun bisyakhshiyyati man yuṭabbiqul-manhaj ‘alan-naṣ).
Dengan demikian, maka kita jadi paham, mengapa tidak semua orang dianjurkan untuk merujuk pada al-Quran dan hadis secara langsung. Justru al-Quran menganjurkan umat bertanya kepada orang yang memiliki ilmu, yakni para ulama (QS. an-Nahl [16]: 43). Dari sini juga tampak, bahwa jargon “kembali pada al-Quran” dan selogan “al-Quran adalah kitab terbuka” hanya retorika-retorika kosong, tidak konseptual, dan tidak memiliki sandaran serta landasan yang kuat dari sumber-sumber asasi agama Islam.
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri