Dr. Mahmud Said Mamduh dalam kitab Raf’ul-Manârah li Takhrîji Ahâdîtsit-Tawassul waz-Ziyârah, menjelaskan bahwa tawasul adalah media untuk mendekatkan diri pada Allah.
Dalam pelaksanaannya, seseorang harus memperhatikan setidaknya dua hal di bawah ini;
Pertama: orang yang bertawasul harus menjadikan Allah sebagai tujuan. Dalam artian, objek tawasul hanyalah sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan hakikat tujuan tetap Allah. Oleh karena itu, orang yang bertawasul dengan tujuan pada selain Allah maka ia tergolong kafir.
Lantas, bagaimana dengan konteks pendekatan diri yang dilakukan oleh para penyembah berhala yang Allah ceritakan dalam surah az-Zumar ayat tiga?
Baca Juga: Kritik Pemikiran Ibnu Taimiyah Seputar Tawasul
Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan tentang asbabun-nuzul ayat tersebut, bahwa sebenarnya para penyembah berhala juga berkeyakinan bahwa Allahlah yang berhak disembah. Hanya saja, yang pantas bagi manusia adalah cukup menyembah makhluk Allah yang besar, seperti bintang dan roh-roh langit.
Jadi mereka tidak menyembah Allah, mereka tetap menyembah berhala. Hanya saja mereka membuat alasan dengan menjadikan berhala-berhala itu sebagai media mendekatkan diri pada Allah.
Beda halnya dengan tawasul, orang yang bertawasul tidaklah menyembah media tawasul, melainkah mengharap keberkahannya karena meyakini bahwa media tawasul tersebut diridai oleh Allah.
Kedua: Orang yang bertawasul harus tetap meyakini bahwa yang memberi manfaat dan bahaya hanyalah berasal dari Allah, bukan objek tawasul. Sebaliknya, jika sampai meyakini bahwa bahaya dan manfaat dari objek tawasul, maka bisa berakibat kufur.
Sebenarnya hal ini tidak hanya berlaku pada tawasul saja. Dalam hal apapun, seperti tabaruk, jika sampai meyakini bahwa bahaya dan manfaatnya bukan dari Allah, maka bisa berakibat kufur.
Maka dari itu, Sayidina Umar mengingkari bahaya dan manfaat dari Hajar Aswad. Ia mencium Hajar Aswad hanya karena mengikuti Nabi Muhammad yang juga menciumnya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَرْجِسَ رَأَيْتُ الأصْلَعَ يَعْنِي عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ يُقَبِّلُ الحَجَرَ ويقولُ: وَاللَّهِ، إنِّي لأُقَبِّلُكَ، وإنِّي أَعْلَمُ أنَّكَ حَجَرٌ، وَأنَّكَ لا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ قَبَّلَكَ ما قَبَّلْتُكَ
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Sarjis bahwa ia melihat Sayidina Umar mencium Hajar Aswad lalu berkata, ‘Sungguh aku akan menciummu meskipun aku tahu kamu hanyalah batu. Dan kamu tidaklah memberi bahaya dan juga manfaat. Andaikata aku tidak melihat Nabi Muhammad r menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. Muslim)
Walhasil, tawasul tetap mendapat legalitas syarak selagi menjaga dua hal tadi; menjadikan Allah sebagai tujuan dan tetap meyakini bahwa yang memberi manfaat dan bahaya hanyalah Allah, bukan objek tawasul.
Ghazali | Annajahsidogiri.id