Beberapa waktu lalu publik digemparkan dengan terbitnya peraturan pemerintah (PP) Nomer 61/14, tentang kesehatan reproduksi yang telah ditandatangani oleh mantan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Poin inti dari materi PP tersebut secara tidak langsung melegalkan aborsi bagi wanita hamil dengan dua catatan: hamil akibat korban pemerkosaan dan karena darurat medis.
Namun PP ini masih menimbulkan kemelut baik dari Komnas Perlindungan Anak, maupun dari MUI. Karena dengan ditetapkannya PP Nomer 61/14 ini, berarti bertentangan dengan UU 23 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa anak yang masih di dalam kandungan juga wajib dilindungi oleh negara.1 Selain itu, PP ini juga akan memicu terjadinya kericuhan di kalangan masyarakat. Dilegalkannya PP ini akan membuat para pelaku perzinahan semakin tidak khawatir lagi. Sebetulnya, bagaimana menyikapi legalnya aborsi ini menurut pandangan ulama salaf?
Hukum Aborsi.
Menggugurkan janin atau yang lebih dikenal dengan aborsi, sudah ada sejak lama. Bahkan para pakar fikih klasik sudah mebahas secara mendetail tindakan aborsi yang dilakukan oleh wanita, baik aborsi yang dilakukan dengan cara meminum obat, pijat, atau dengan cara lain. Tidak hanya hukum menggugurkannya saja, konsekuensi dari tindakannya pun sudah dibahas panjang lebar.
Para pakar fikih masih silang pendapat terkait kasus aborsi ini. Ada sebagian yang memperbolehkan namun dengan catatan usia kandungannya masih di bawah tiga bulan, sebagaimana yang dikemukakan Imam Abu Ishaq al-Marwazi. Ada pula yang menyatakan tidak boleh secara mutlak, di bawah usia kehamilan tiga bulan ataupun lebih, seperti pendapat Imam Ibnu ‘Imad. Dan sepertinya pendapat ini lebih diunggulkan2. Dua pendapat ini telah di-tarjîh oleh Imam Ibnu Hajar al-Haytami dalam kitab Tuhfah-nya3.
Alasan yang dipakai ulama tentang pelegalan praktik aborsi dengan cara menyamakan kasus aborsi dengan kasus mengeluarkan mani di luar rahim (‘Azl), yang ternyata diperbolehkan oleh mayoritas ulama4. Analogi penyamaan ini dilakukan karena masa kandungan yang masih di bawah usia 3 bulan masih belum berbentuk manusia dan belum ada tanda kehidupan. Pendapat Ibnu Hajar, masa peniupan ruh pada janin terjadi saat 120 hari (3 bulan) usia kandungan5. Berangkat dari pernyataan ini, jika melakukan ‘Azl diperbolehkan, apalagi dengan praktik aborsi di bawah kandungan tiga bulanpun, tentu diperbolehkan.
Azl sendiri diperbolehkan karena bersandar pada Hadis yang berbunyi:
كنا نعزل والقرآن ينزل فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم ينهنا عنه
“Kami melakukan azl (mengeluarkan seperma di luar), kemudian kami melapor kepada Rasulullah saw. Beliau tidak melarang kami”. (HR al-Bukhari dan Muslim).6
Namun, penyamaan azl dengan aborsi ini dilemahkan oleh kalangan ulama yang tidak sependapat. Pasalnya, antara azl dan aborsi sangatlah berbeda. Mungkin melakukan azl diperbolehkan karena memang azl sendiri hanyalah cairan sperma laki-laki yang dibuang bukan pada tempatnya (rahim wanita), sehingga tidak memastikan sperma itu menjadi anak. Sekalipun sperma laki-laki juga bagian penting dalam memberikan kontribusi proses kehamilan, namun jika hanya dari laki-laki saja maka tidak akan bisa untuk membuahi. Untuk membuahi butuh beberapa kompenen yang saling berkaitan serta proses. Di antaranya adalah: 1). Sperma laki-laki. 2). Masuknya sperma laki-laki ke dalam rahim wanita. 3). Bercampurnya sperma laki-laki dengan sperma atau ovum wanita. 4). Masa proses penyatuan dua sperma hingga menjadi anak7. Konsekuensinya, pelaku azl tidaklah dikatakan pembunuhan, karena sejatinya itu hanya cairan mani laki-laki. Berbeda dengan menggugurkan janin.
menurut Imam al-Ghazali, ketika mani seorang laki-laki telah melakukan proses dalam rahim perempuan, sudah dipastikan menjadi bayi. Menggugurkan benih yang sedemikian, sama halnya dengan membunuh bayi. Dari pendapat ini bisa dikatakan aborsi haram hukumnya. Sekalipun Imam al-Ghazali tidak menyatakan secara gamblang dan jelas di dalam kitab ihyâ’ Ulûmuddîn-nya tentang keharaman aborsi, namun dari cara al-Ghazali membedakan azl dengan aborsi sendiri sudah menunjukkan bahwa beliau lebih condong pada haramnya aborsi8. Oleh karena itu, pelaku aborsi bisa dikategorikan sebagai pembunuh9.
Kebijakan Pemerintah.
Pemerintah selaku ulil amri, memiliki beberapa kebijakan, dan tentunya kebijakan itu haruslah bersamaan dengan kemaslahatan masyarakat dan tidak bertentangan dengan syarak10. Sedangkan kuatnya maslahat tergantung dari kuatnya mudharat. Maslahat sendiri memiliki banyak tingkatan sesuai dengan kadar banyaknya kebutuhan atau kuat dan tidaknya mudharat (efek negatif). Karena secara global maslahat itu ada dua, pertama maslahat yang munculnya karena kebutuhan, dan maslahat yang muncul karena faktor bahaya.11
Dalam kasus PP tentang kesehatan reproduksi ini, pemerintah mencoba menghindari bahaya yang akan dialami oleh korban pemerkosaan ataupun Ibu hamil yang kandungannya bermasalah. Demi kemaslahatan tersebut, pemerintah menetapkan sebuah aturan bolehnya aborsi pada wanita hamil yang mengalami dua kondisi ini.
Sekilas kebijakan pemerintah ini dibenarkan dalam pandangan fikih, melihat kasus aborsi sendiri masih khilâf dan kebijakan pemerintah ini sesuai dengan aturan kepemerintahan yang berupa maslahat.
Namum, di sisi yang lain, PP tentang kesehatan reproduksi yang telah disetujui oleh Presiden SBY itu, akan menjadi gerbang kerusakan, karena bukan hal yang mustahil PP tersebut dijadikan tameng oleh pelaku kumpul kebo. Dengan demikian, pemerintah akan turut memberikan sumbangsih dosa, karena membantu orang yang melakukan maksiat dengan melegalkan aborsi12.
Jika melihat dari sisi dampak dari PP tentang kesehatan reproduksi ini lebih banyak menghasilkan kerusakan, maka mestinya pemerintah tidak dibenarkan dalam mengambil kebijakan tersebut. Dalam kitab Qawâ’idil Ahkâm fî-Mashâlihil Anâm dijelaskan bahwa jika maslahat dan mafsadat berkumpul, maka hendaknya maslahat diprioritaskan. Namun, jika mengedepankan maslahat itu akan memunculkan kerusakan yang lebih besar, hendaknya maslahat itu diabaikan.13
Konklusi
Dari pemaparan di atas, bisa disimpulkan bahwa, kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan PP tentang kesehatan reproduksi ini bisa dibenarkan apabila memenuhi beberapa catatan. Pertama, PP tersebut bisa saja dijalankan jika tindakan aborsi yang dilakukan, masih di bawah kandungan tiga bulan. Kedua, bagi korban pemerkosaan, hendaknya pemerintah harus lebih memperketat dalam memberikan izin aborsi karena khawatir akan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. []
Muhammad Syawali/Annajah.co
Referensi:
- WWW.Berita satu.com. selasa 12 Agustus 2014.
- Syatho, Abu Bakar. I’ânatuth -Thâlibîn. Vol 4. Hal:154 al-Haramain.
- Ibnu Hajar al-Haitami. Tuhfatul-Muhtâj vol 29 hlm 171 versi Maktabah Syamilah.
- Bolehnya azl sebetulnya masih diperselisihkan oleh para ulama, ada empat pendapat hukum azl: tidak diperbolehkan secara mutlak. Boleh secara mutlak. Boleh apabila ada izin dari perempuan, boleh tanpa izin dari perempuan. namun mayoritas ulama memperbolehkannya. Empat pendapat ini bisa dilihat dalam Ihyâ’-nya Al-Ghazali Vol 2. Hlm:53-54 cet. Al-Hidayah
- Syatha, Abu Bakar. I’ânatuth -Thâlibîn. Vol 4. Hal:154 al-Haramain.
- As-suyuthi, Abdullah bin Kamal Jalaluddin. Ad-Durrul Mantsûr. Vol 1 hlm 639 versi Maktabah Syamilah.
- Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyâ’ Ulûmuddîn vol 2 hlm 55 cet. Al-Hidayah
- Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyâ’ Ulumuddîn vol 2 hlm 54 cet. Al-Hidayah.
- Zakariya al-Anshari, Hâsyiatul Jamal ‘alal-Minhâj. Vol 11 hlm 267 Darul Fiqr Bairut.
- 10. Fatâwa Syabakah vol 1 hlm 199.
- As-Suyuthi, Abdurrahman, bin Abi Bakar. Al-Asybah wan-Nadhâir vol 1 hlm 121 Darul Kutub al-Islamiyah.
- Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustasyfâ, vol 1 hlm 378 ar-Risalah Bairut Lebanon.
- 13. Qawâ’idul-Ahkâm fî-Mashâlihil Anam. Vol 1 hlm 83.