Dewasa ini banyak penceramah berdakwah baik di dunia nyata atau di dunia maya mengenai suatu permasalahan. Padahal ia sendiri tidak mengerti betul tentang apa yang ia bicarakan, hanya dengan penyampaian yang bagus sehingga membikin para penonton mempercayai apa yang ia sampaikan, padahal sumber ataupun referensi yang ia gunakan tidak jelas, tidak valid, atau bahkan bermodalkan tulisan di google yang kemudian disampaikan dalam bentuk ceramah. Hal ini berakibat menyesatkan para masyarakat dari kebenaran yang sesungguhnya, lantas apa sebab fenomena ini bisa terjadi? Berikut hasil wawancara M. Salman Ar Ridlo dari Annajahsidogiri.id kepada Prof. Dr. KH Nashiri Abadi Lc., M.A., S.H., M.H.
Sebenarnya apa maksud dari matinya kepakaran dalam ilmu agama, dan aspek yang melatar belakanginya?
Istilah “matinya kepakaran” dalam ilmu agama berangkat dari tesis seorang ilmuwan Amerika Serikat, Tom Nicholas, yang mengamati fenomena sosial keagamaan di era modern, khususnya di media sosial. Nicholas menyimpulkan bahwa masyarakat modern cenderung berkomentar tentang hal-hal di luar bidang keahlian mereka. Fenomena ini mencakup berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, dan agama. Dalam konteks agama, hal ini kerap kali terjadi pada seseorang yang tidak memiliki dasar keilmuan agama yang memadai, namun tetap berbicara seolah-olah dia seorang pakar.
Baca juga: Mujadid Abal-Abal
Di kalangan Muslim, istilah “ustadz dadakan” sering digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang tiba-tiba dianggap punya otoritas agama padahal tidak memiliki kompetensi yang memadai. Contohnya adalah figur publik atau artis yang hijrah, lalu mendapatkan panggung untuk berceramah meskipun pengetahuan agama mereka sangat terbatas. Dalam sebuah pengalaman, saya pernah diundang untuk mengisi ceramah, tapi saya kecewa, karena ketika menghadiri acara ini, ada seorang artis yang memberikan ceramah lebih dahulu, padahal kemampuan membaca Qurannya pas-pasan bahasa arab juga tidak bisa, tapi bicaranya enak, karena dia seorang Artis, meskipun pembahasannya melenceng kemana-mana.
Tom Nicholas dalam tesisnya, “The Death of Expertise” (Matinya Kepakaran), menyebut media sosial sebagai salah satu penyebab utama hilangnya penghargaan terhadap kepakaran. Pada zaman dahulu, ulama seperti Imam Syafi’i menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan riset mendalam sebelum menyimpulkan suatu hukum, seperti hukum terkait haid. Imam Syafi’i, misalnya, tidak hanya membaca satu buku, tetapi juga meneliti puluhan hingga ratusan wanita di berbagai tempat untuk mendapatkan kesimpulan yang akhirnya bisa dirumuskan paling sedikit, standar, hingga paling lama waktu haid.
Sebaliknya, di era digital, informasi tersedia secara instan. Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) bahkan mulai menggantikan peran penerjemah, konsultan, dan dosen. Pengetahuan yang dulu membutuhkan waktu dan upaya yang cukup sulit, kini dapat diakses dalam hitungan detik dengan syarat memiliki perangkat dan koneksi internet. Namun, kemudahan ini juga membawa dampak negatif berupa penyebaran informasi yang dangkal dan tidak akurat.
Intinya, “matinya kepakaran” dalam ilmu agama terjadi karena budaya instan yang didorong oleh media sosial dan teknologi modern. Orang-orang cenderung mengabaikan proses mendalam yang dibutuhkan untuk memahami ilmu secara benar, sehingga menghasilkan pendapat-pendapat yang tidak bertanggung jawab dan menyesatkan.
Baca juga: Buku Dalil Paripurna Amaliah Aswaja: Bukti Keshahihan Amaliah Kita
Apa alasan dibalik banyaknya orang yang tidak berkompeten dalam suatu bidang justru aktif mengomentari hal tersebut?
Banyaknya orang yang tidak berkompeten dalam suatu bidang namun aktif mengomentari bidang tersebut, khususnya agama, dipengaruhi oleh beberapa faktor utama:
- Ikut-ikutan dan Lingkungan Pertemanan
Orang cenderung ikut-ikutan dalam berkomentar karena terpengaruh oleh komunitasnya. Fenomena ini dijelaskan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Syekh Muhammad Azzarnuji, yang menyatakan:
عَنِ الْمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ # فَإِنَ الْقَرِيْنَ بِالْمُقَارِنِ يَقْتَدِيْ
فَإِنْ كَانَ ذَا شَرِّ فَجَنِّبْهُ سُرْعَةً # فَإِنْ كَانَ ذَاخَيْرِ فَقَارِنْهُ تَهْتَدِيْ
Maknanya, untuk mengetahui karakter seseorang, lihatlah komunitasnya. Jika komunitasnya baik, besar kemungkinan ia baik. Jika komunitasnya buruk, besar kemungkinan ia akan terpengaruh keburukan tersebut. Di media sosial, pertemanan dan komunitas yang buruk mendorong seseorang untuk ikut-ikutan memberikan komentar tanpa pemahaman yang cukup.
- Profit Oriented
Sebagian orang aktif berkomentar di media sosial demi keuntungan finansial. Dengan membuat konten seperti podcast, video YouTube, atau TikTok, mereka membahas topik yang sedang populer meskipun di luar bidang keahlian mereka. Tujuannya adalah mendapatkan banyak penonton, like, subscriber, dan pengikut, yang pada akhirnya menghasilkan keuntungan finansial. Dalam kasus ini, komentar-komentar mereka sering kali bersifat dangkal dan hanya bertujuan untuk menarik perhatian. - Kedekatan Emosional
Faktor lain adalah kedekatan emosional atau loyalitas terhadap seseorang. Misalnya, ketika seorang tokoh dihujat karena pendapat agamanya, orang-orang yang merasa memiliki hubungan emosional, seperti murid, rekan, atau kerabat tokoh tersebut, cenderung ikut memberikan komentar untuk membela. Hal ini sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki kapasitas untuk memberikan tanggapan yang valid.
Ketiga faktor ini (ikut-ikutan, profit oriented, dan kedekatan emosional) menjadi penyebab utama mengapa banyak orang yang tidak berkompeten justru aktif mengomentari hal-hal di luar bidang mereka, terutama di media sosial.
Sepenting apakah memiliki latar belakang ilmu yang sangat mendalam untuk pembicaraan mengenai suatu bidang?
Penting sekali. Dalam kitab Ithah an-Nasyi’in disebutkan sebuah adagium: “Idza wussidal amru ila ghairi ahlihi fantazhir as-sa’ah,” yang artinya, jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi adalah kunci dalam menyelesaikan permasalahan secara tepat.
Contohnya, lima atau enam tahun lalu, saya pernah mengingatkan agar para kiai atau ustaz yang tidak memiliki pemahaman politik mendalam sebaiknya tidak terlibat dalam politik. Hal ini justru membuat sebagian dari mereka naik darah dan malah menghujat saya, padahal saya tidak menyinggungnya, kalau memang anda Ahli ya sudah. Ucapan inilah yang kemudian sering disalahartikan oleh sebagian pihak, bahkan hingga mendapat hujatan.
Pada akhirnya, pesan inti yang ingin disampaikan adalah bahwa setiap bidang memiliki ahlinya. Orang yang memahami suatu bidang, baik agama, politik, atau lainnya, memiliki kewajiban untuk memegang peran dalam koridor keahliannya. Bagi yang tidak menguasainya, lebih baik menyerahkan kepada ahlinya demi menghindari kerugian atau kesalahpahaman yang lebih besar.