Dalam perjalanan sejarah, Ahlusunah menjadi suatu simbol dari golongan yang konsisten pada apa yang dibawa oleh Nabi dan para shahabatnya. Menjadi pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Dalam sejarahnya, Ahlusunah selalu dibawa oleh para ulama yang menjadi rujukan di masanya. Penjelasan ini termaktub dalam karya Hadratus-Syaekh Muhammad Hasyim Asyari yang berjudul Risalah Ahlusunah walJamaah, beliau mengutip perkataan Syekh asy-Syihab al-Khafaji dalam kitab Nasim ar-Riyadh: “Golongan yang selamat adalah Ahlusunah walJamaah. Mereka adalah Abu Hasan al-Asyari dan para pengikutnya yang merupakan Ahlusunnah dan pemimpin para ulama. Karena Allah SWT menjadikan mereka sebagai hujjah atas makhluk-Nya, dan hanya mereka yang menjadi rujukan kaum muslimin dalam urusan Agama.“
Dalam kitab Sunan Abi Dawud, dikisahkan bahwa Nabi mengabarkan akan perpecahan yang menimpa umat beliau, golongan yang terpecah itu berjumlah 73. Satu masuk surga, dan sisanya berada di neraka. Beliau menyampaikan bahwa yang masuk surga adalah “al-Jama’ah”.
Hadis ini menjadi simbol tersendiri bagi para pengikut Imam al-Asyari dan Imam Maturidi, bahwa merekalah orang-orang selamat yang disabdakan oleh Nabi. Kenapa? Karena hanya golongan Asyariyah dan Maturidiyah yang terus mempertahankan kebersamaan dan kolektifitas. Sebagaimana dijelaskan oleh Abu al-Mudzhaffar al-Isfirayni dalam kitab at-Tabshir fid-Din. Beliau berkata, “al-Jamaah merupakan ciri khas golongan kami (Asy’ariyah). Karena semua aliran sempalan, baik umum maupun khusus, memberi nama golongan Asyariyah sebagai Ahlusunah walJamaah. Bagaimana mungkin golongan Khawarij mendapatkan label ini, sedangkan mereka tidak mengharuskan adanya persatuan. Rawafidh (Syiah) juga tidak memelihara kolektifitas. Sedangkan muktazilah tidak menerima Ijma para ulama. Bagaimana mungkin aliran-aliran sempalan itu sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Rasul?”
Dalam kitab yang sama, Imam al-Isfirayni mengemukakan bahwa diantara simbol “al-Jamaah” adalah menggunakan al-Quran, hadis, Ijma, dan qiyas sebagai landasan hukum syariat, dan menjadikannya sebagai hujah yang bisa diterima. Beliau melanjutkan “Sedangkan semua aliran sesat pasti menolak salah satu dari empat dalil di atas”
Lalu apa yang menjadi alasan, mengapa para ulama menggunakan “Mayoritas” sebagai tolak ukur ajaran yang benar? Hal itu dikarenakan Nabi pernah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
إن الله لا يجمع أمتي او قال أمة محمد على ضلالة و يد الله مع الجماعة ومن شذ شذ الى النار
“Sesunggunya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan. Pertolongan Allah selalu bersama jamaah. Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jamaah, maka ia mengucilkan dirinya ke neraka.”
Dari sini bisa dipahami bahwa, mayoritas merupakan salah satu ciri-ciri golongan yang selamat sebagaimana yang disabdakan Nabi. Dan tanda ini hanya dimiliki oleh para pengikut Imam Asyari dan Imam Maturidi. Toh sekalipun salafi-wahabi mengaku bahwa merekalah Ahlusunah dikarenakan memelihara jenggot dan menggunakan gamis, tetap saja kenyataan yang ada -bahwa mereka saling mengkafirkan satu sama lain- membuktikan bahwa mereka tidak pantas menyandang gelar Ahlusunah walJamaah.
Akmal Bilhaq | Annajahsidogiri.id
Comments 0