Dalam surah Ali-Imran ayat tujuh disebutkan bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua; muhkam dan mutasyabih. Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya sedangkan mutasyabih adalah ayat yang samar maknanya. Namun kadangkala kita kebingungan dalam memahami, bagaimana suatu ayat dikatakan muhkam atau mutasyabih, sebab kesamaran makna al-Qur’an berbeda-beda bagi tiap orang. Oleh karena itu, permasalahan ini butuh pemecahan dari seorang pakar, dalam hal ini, Ghazali dari Annajahsidogiri.id mewawancarai Gus Abdul Wahab Ahmad selaku Peneliti Aswaja NU Jatim, beberapa waktu lalu. Berikut hasil wawancara kami:
Perbedaan Ahlusunah walJamaah dan Wahabi dalam memahami ayat muhkam dalam mutasyabih?
Kalau kita (Ahlusunah walJamaah) tentu akan mengatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat muhkam dan mutasyabih, sesuai penjelasan dalam surah Ali-Imran ayat tujuh. Namun menurut Wahabi, tidak demikian. Semua ayat dalam al-Qur’an adalah muhkam, sehingga harus dipahami sebagaimana literal ayat. Ini merupakan konsep yang diusung oleh Ibnu Taimiyah.
Pemahaman seperti ini, tentu rancu. Sebab akan mengakibatkan kontradiksi antara ayat satu dengan ayat lain. Maka dari itu, mau tidak mau, kita tetap harus memahaminya dengan salah satu dari dua metode yang telah ulama tetapkan dalam memahami ayat muhkam dan mutasyabih; takwil (alih bahasa namun dengan tetap menyucikan Allah dari segala hal yang diserupakan pada-Nya) dan tafwid (menyerahkan makna sepenuhnya pada Allah, tanpa sedikitpun pengotak-atikan).
Menurut suatu pendapat, takwil banyak dipakai oleh ulama khalaf. Padahal, ulama salaf semisal Imam al-Ghazali, sangat mewanti-wanti untuk menjauhinya. Mengapa bisa demikian?
Sebenarnya itu hanya ungkapan secara umum. Kenyataannya, banyak takwil yang juga dilakukan oleh ulama salaf. Sebab kita tidak mungkin bisa lari dari metode takwil, karena banyak ayat yang sulit bagi orang untuk cukup mengimaninya saja.
Misalnya ayat aydinâ. Jika Wahabi konsisten untuk menerjemahkannya secara literal, tentu mereka akan mengatakan bahwa Allah memiliki banyak tangan. Tapi kenyataannya, mereka malah mengelak dan menafsiri ayat tersebut bermakna “menguatkan” dari fiil madi “Ayyada-Yuyyidu”.
Atapun dalam ayat yang menjelaskan bahwa Allah selalu bersama kita. Jika Wahabi memaksakan untuk menerjemahkannya secara literal, tentu mereka akan terjebak dalam paham Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah di mana-mana.
Dalam al-Qur’an KEMENAG, ada beberapa ayat yang masih diterjemahkan secara literal ayat.
Sebenarnya sudah ada beberapa ayat yang direvisi ulang dalam terjemahan KEMENAG, kisaran tahun 2019-2020, hanya saja tidak semuanya. Karena ada beberapa diskusi yang perlu dipertimbangkan.
Saya pernah diundang oleh KEMENAG untuk membahas hal ini. Dalam diskusi terkait ayat yadullah, misalnya. Dalam terjemah KEMENAG tetap memakai tangan, dengan alasan karena tangan multitafsir, samahalnya dengan yad. Sehingga menerjemahkan yad pada tangan masih bisa ditolerir, karena sama-sama memiliki banyak makna.
Bedahalnya dengan ayat istaula. Istaula jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti bersemayam. Bersemayam berarti duduk, dan tidak ada makna lain lagi. Sedangkan istaula memiliki banyak makna lain. Maka dari itu, saya kritik hal ini ketika itu.
Lebih-lebih, penggunaan terjemah bersemayam untuk ayat istaula berbahaya. Kata Imam Syafii, “Barangsiapa yang mengatakan ‘Allah duduk’ maka ia telah kafir.”
Ghazali | Annajahsidogiri.id