Kemungkinan besar jika dikata bahwa tradisi tahlilan di Indonesia merupakan sebuah akulturasi budaya dan agama dari Hindu. Sebab, sebelum kedatangan para dai dari Timur Tengah pada abad ke-13, Indonesia memang didominasi oleh agama Hindu. Maka dari itu, tak sedikit tradisi-tradisi Islam di Indonesia yang sekilas mirip dengan tradisi Hindu.
Mirip, bukan berarti sama. Islam hanya menyerap teorinya namun mengubah substansinya. Maka tak heran jika tahlilan dianggap mirip dengan tradisi Sraddha milik Hindu yang isinya berupa ratapan terhadap arwah-arwah yang telah meninggal, karena memang pada dasarnya mengamputasi dari tradisi tersebut, demikian yang Husny Fajrussalam tulis dalam jurnal Dirosat.
Pandangan ini seringkali dibuat kesempatan oleh kelompok mainstream untuk menolak tradisi tahlilan. Biasanya dalil mereka tak luput dari dua poin: bid‘ah dan tasyabbuh. Dianggap bid‘ah karena tak pernah ada di zaman Nabi dan dianggap tasyabbuh karena menyerupai tradisi orang kafir. Nah, dua cuitan ini yang akan kita bahas kali ini.
Baca Juga: Tradisi Jamuan di Majelis Tahlil
Pertama, terkait hukum bid‘ah pada tradisi tahlilan. Pembahasan ini biasanya bermula dari hadis yang termaktub dalam kitab Sunanu Abî Dâwud (no. 4607) yang berbunyi:
وَإِيَّاكُمۡ وَمُحۡدَثَاتِ الۡأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحۡدَثَةٍ بِدۡعَةٌ وَكُلَّ بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه ابو داود)
“Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud)
Hadis di atas tentu tak bisa kita telan mentah-mentah. Jika dimutlakkan pada semua perkara baru (muhdatsât), maka akan merembet pada segala hal bahkan yang ranahnya duniawiyah, meliputi sepeda motor, rumah, mobil, dll. Begitupula dalam memahami bid‘ah, tak bisa langsung dimutlakkan segalanya sesat. Apa mungkin kita akan menyesatkan Sayidina Umar hanya gara-gara menyemarakkan salat tarawih berjamaah? Bukankah salat tarawih berjamaah tak pernah Nabi lakukan? Hingga Umar sendiri berkata, “Inilah bid‘ah paling nikmat”.
Maka dari itu, tak bisa segala hal baru langsung kita cap sebagai kesesatan. Imam Ibnu Atsir dalam an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts wal-Atsâr (1/80) menyatakan bahwa perkara baru itu terbagi menjadi dua macam: terpuji dan tercela. Bisa dianggap terpuji bila terdapat dalil pendukung yang mendekati pada kelegalan muhdatsât tersebut dan dianggap tercela bila muhdatsât tersebut jelas keluar dari rel syariat.
Sekarang pertanyaannya, tahlilan masuk pada muhdatsât yang terpuji atau tercela? Secara umum, tampak bahwa tahlilan masuk pada muhdatsât yang terpuji. Karena pada dasarnya, isi dari tradisi yang disebut “tahlilan” tersebut sesuai dengan syariat, meliputi pembacaan beberapa surah al-Qur‘an, tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.
Ibnu Taimiyah dalam Iqtidhâush-Shirâthil-Mustaqîm (hal. 258) berkata:
إِنَّ النّاسَ لَا يُحْدِثُوْنَ شَيْئًا إِلَّا لِأَنَّهُمْ يَرَوْنَهُ مَصْلَحَةً إِذْ لَوْ اعْتَقَدُوهُ مَفْسَدَةً لَمْ يُحْدِثُوْهُ فَإِنَّهُ لَا يَدْعُوْ إِلَيْهِ عَقْلٌ وَلَا دَيْنٌ فَمَا رَآهُ النّاسُ مَصْلَحَةً نُظِرَ فِي السَّبَبِ المُحَوَّجِ إِلَيْهِ فَإِنْ كَانَ السَّبَبُ المُحَوَّجُ إِلَيْهِ أَمْرًا حَدَثَ بَعْدَ النَّبيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ تَفْريطٍ مِنَّا فَهُنَا قَدْ يَجُوزُ إِحْدَاثُ مَا تَدْعُو الحَاجَةُ إِلَيْهِ وَكَذَلِكَ إِنْ كَانَ المُقْتَضِي لِفِعْلِهِ قَائِمًا عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنْ تَرَكَهُ النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعارِضٍ زَالَ بِمَوْتِهِ وَأَمَّا مَا لَمْ يُحْدِثْ سَبَبٌ يُحَوَّجُ إِلَيْهِ أَوْ كَانَ السَّبَبُ المُحَوَّجُ إِلَيْهِ بَعْضُ ذُنُوْبِ العِبَادِ فَهُنَا لَا يَجُوْزُ الإِحْدَاثُ فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ المُقْتَضِي لِفِعْلِهِ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْجُودًا لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يَفْعَلْ يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ وَأَمَّا مَا حَدَثَ المُقْتَضِي لَهُ بَعْدَ مَوَتِهِ مِنْ غَيْرِ مَعْصيَةِ الخالِقِ فَقَدْ يَكُوْنُ مَصْلَحَةً
“Sesungguhnya orang-orang tak akan menciptakan hal baru kecuali bila mereka menganggapnya sebagai sebuah maslahat. Karena jika mereka menganggapnya sebagai mafsadah tentu tak akan mereka lakukan, sebab tak sesuai dengan akal maupun agama. Namun terkait maslahat ini, perlu ada peninjauan ulang: bila hal baru itu ada setelah Nabi wafat serta tiada kesembronoan dalam hukumnya (tak menyalahi syariat), maka boleh-boleh saja dilakukan. Ataupun bila sesuatu tersebut sudah ada sejak zaman Nabi, namun tak Nabi lakukan sebab ada penghalang yang hilang bersamaan dengan wafatnya Nabi, maka juga boleh. Namun, bila keberadaan hal baru itu tanpa ada sebab, atau ada sebabnya namun berupa dosa-dosa seorang hamba, maka tak boleh dilakukan. Intinya, segala hal yang sudah ada di zaman Nabi namun tak beliau lakuakan, berarti bukanlah sebuah maslahah (sehingga tak boleh dilakukan). Namun bila ada sebuah amaliah yang tak terjadi di zaman Nabi, namun bukan berupa kemaksiatan maka hal itu berupa maslahah (dan boleh dilakukan).”
Baca Juga: Mempertanyakan Legalitas Tahlilan
Ada empat poin kesimpulan yang bisa kita ambil dari pendapat Ibnu Taimiyah di atas: a. Segala hal yang tak pernah ada pada zaman Nabi, namun memiliki nilai maslahah, maka hukumnya boleh kita lakukan. b. Segala hal yang ada pada zaman Nabi, namun masih belum sempat Nabi lakukan sebab ada penghalang yang kaitannya dengan hidup Nabi, maka juga boleh kita lakukan. c. Hal-hal baru yang dilaksanakan dengan tanpa ada pendorong maka tak boleh kita lakukan. d. Hal-hal baru yang dilaksanakan dengan ada dorongan, namun berupa dosa hamba-hamba, maka juga tidak boleh kita lakukan.
Melihat dari empat poin di atas, tahlilan bisa masuk pada poin pertama: tak pernah ada pada zaman Nabi namun memiliki nilai maslahah, sehingga tetap boleh kita lakukan. Bukankah membaca tahlil, tahmid, dan takbir yang kita hadiahkan pada orang yang telah wafat merupakan sebuah kemaslahatan?
Ghazali | Annajahsidogiri.id