Syariat Islam merupakan prinsip yang tidak dapat diubah konteksnya dalam agama, di mana nilai-nilai dasarnya harus diterapkan sepanjang zaman. Namun, ada saja pihak yang mencoba mendistorsi dan mendekonstruksi syariat, dengan mengatasnamakan relevansinya terhadap perkembangan zaman. Salah satu upaya mereka untuk itu adalah dalam pembahasan mengenai hukum qishas.
Pembunuhan adalah tindakan seseorang yang dapat menghilangkan nyawa orang lain, pembunuhan merupakan perbuatan keji, sehingga membunuh pelaku pembunuhan pun seharusnya dipandang sebagai tindakan yang keji. Itulah jargon yang digunakan oleh sebagian orang untuk merombak syariat Islam khususnya qishas yang sudah final, dengan dalih bahwa hal tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Memang sangat aneh ketika hukum qishash dianggap melanggar HAM, sementara pelaku pembunuhan tidak dikenai pasal HAM sama sekali. Jelaslah bahwa tujuan mereka bukan untuk menegakkan HAM, melainkan untuk merombak syariat Islam yang sudah final.
Seharusnya, jika tujuan mereka adalah menegakkan HAM, pelaku pembunuhan juga seharusnya dikenai pasal HAM. Kenyataannya, pelaku pembunuhan justru dilindungi mati-matian dengan berbagai argumen mengenai HAM, yang berujung pada penolakan terhadap hukum qishash, yang notabene merupakan kewajiban. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik.48) Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (Al-Baqarah [2]:178)
Dalam ayat ini, jelas bahwa kata kutiba digunakan, yang berarti wajib atau fardhu. Sebab, lafaz kutiba dalam konteks al-Quran memang bermakna wajib. Hal ini dapat diketahui dari beberapa ayat lain, seperti kewajiban berpuasa di bulan Ramadan, misalnya. Dalam ayat tersebut, redaksi yang digunakan juga memakai kata kutiba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(Al-Baqarah [2]:183)
baca juga: Tuduhan Palsu Kaum Liberal
Argumentasi kedua yang mengarahkan ayat ini pada makna wajib adalah lafaz ‘alaikum. Dalam bahasa Arab, lafaz عَلَى bisa juga berarti wajib, sebagaimana pada ayat yang menjelaskan kewajiban melaksanakan ibadah haji:
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا
“Di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (Āli ‘Imrān [3]:97)
Demikian ini adalah keterangan yang terdapat di kitab Mafatihul-Ghaib karya Imam Fakhrud-din ar-Razi[1].
Dari penjelasan sebelumnya, tampak jelas bahwa makna kutiba dalam ayat di atas adalah wajib. Selanjutnya, kita perlu membahas kata berikutnya, yaitu qishash. Dalam diskursus modern, khususnya yang banyak dipelajari di kampus-kampus yang mengacu pada pemikiran Fazlur Rahman, kata qishash dalam ayat ini sering diartikan sebagai hukuman yang bertujuan untuk memberi efek jera, dengan mempertimbangkan adat dan kondisi sosial pada masa Rasulullah di Arab.
Pada masa itu, menurut dia, hukuman yang dapat memberikan efek jera adalah pembalasan yang setimpal. Tentu saja, hal ini dianggap tidak relevan jika diterapkan di zaman sekarang, di mana hukuman penjara dengan jangka waktu lama sudah dianggap cukup untuk membuat seseorang jera. Oleh karena itu, tidak perlu lagi diberlakukan sanksi yang setimpal dengan perbuatan, di samping perbuatannya yang sadis dan melanggar HAM.
Padahal, dalam syariat, kriminalitas dibagi menjadi dua kategori: yang menetapkan had dan yang tidak. Had adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak dapat diganti dengan hukuman lain, dengan alasan apapun. sedangkan kriminalitas yang tidak terdapat ketetapan had diberlakukan takzir. Takzir inilah yang kemudian bisa diubah sesuai dengan pendapat imam, sebagaimana tercantum dalam kitab Minhajuth-Thalibin, berikut redaksinya:
[فَصْلٌ] يُعَزَّرُ فِي كُلِّ مَعْصِيَةٍ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا كَفَّارَةَ بِحَبْسٍ أَوْ ضَرْبٍ أَوْ صَفْعٍ أَوْ تَوْبِيخٍ، وَيَجْتَهِدُ الْإِمَامُ فِي جِنْسِهِ وَقَدْرِهِ.
“Fasal: Dikenakan ta’zir pada setiap perbuatan dosa yang tidak memiliki had (hukuman tetap) dan tidak ada kafarat (penebusan dosa), dengan cara penahanan atau pukulan, atau tamparan, atau teguran. Dan imam berusaha keras dalam menentukan jenis dan kadar hukuman tersebut.”
Qishash merupakan bagian dari had. Ayat yang menjelaskannya telah disebutkan di atas. Jika syarat-syaratnya telah terpenuhi, maka tindakan yang akan diambil selanjutnya tidak dapat dihindari.
Orang yang mengklaim bahwa qishash adalah perbuatan yang melanggar HAM dan sadis perlu dikoreksi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, orang tersebut terlalu fokus untuk menghakimi pelaksanaan syariat ini, tetapi mengabaikan fakta bahwa pelaku pembunuhanlah yang seharusnya dikecam karena telah membunuh orang lain tanpa hak. Sebenarnya, hikmah dari pelaksanaan syariat ini sangat jelas, sebagaimana yang telah disinggung dalam Al-Qur’an, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 179.”
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dalam kisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu bertakwa”. (Al-Baqarah [2]:179)
Dalam ayat tersebut telah jelas bahwa Allah memvonis adanya kehidupan dalam syariat qishash. Mengenai makna hayatun (kehidupan) dalam ayat ini, terdapat dua aspek: duniawi dan ukhrawi.
Dalam arti duniawi, hal ini tampak jelas. Jika seseorang tahu bahwa dengan melakukan pembunuhan ia juga akan dibunuh, maka hal ini akan membuatnya berpikir seribu kali sebelum melakukan pembunuhan. Dengan demikian, hal ini dapat mencegah terbunuhnya dua orang—pelaku pembunuhan dan korban—bahkan bisa melibatkan orang lain. Misalnya, sekelompok orang yang akan membalas pembunuhan anggota kelompoknya dengan membantai seluruh anggota kelompok pembunuh. Maka, hal ini tidak hanya menjadi kehidupan bagi dua orang, tetapi juga bagi banyak orang.
Sedangkan dalam arti ukhrawi, ketika seorang pembunuh telah diqishash karena perbuatannya, maka ia tidak akan dituntut kelak di akhirat atas pembunuhannya. Dengan demikian, ini menjadi kehidupan baginya di akhirat.
Demikian penjelasan dalam Tafsir Ruhul-Ma’ani karya Syekh Mahmud bin Abdullah al-Alusi, berikut redaksinya:
ثُمَّ الْمُرَادُ بِالْحَيَاةِ إِمَّا الدُّنْيَوِيَّةُ وَهُوَ الظَّاهِرُ لِأَنَّ فِي شَرْعِ الْقِصَاصِ وَالْعِلْمِ بِهِ يُرَوِّعُ الْقَاتِلَ عَنْ الْقَتْلِ، فَيَكُونُ سَبَبًا لِحَيَاةِ نَفْسَيْنِ فِي هَذِهِ النَّشَأَةِ، وَلِأَنَّهُمْ كَانُوا يَقْتُلُونَ غَيْرَ الْقَاتِلِ، وَالْجَمَاعَةَ بِالْوَاحِدِ، فَتَثُورُ الْفِتْنَةُ بَيْنَهُمْ، وَتَقُومُ حَرْبُ الْبَسُوسِ عَلَى سَاقٍ، فَإِذَا اقْتُصَّ مِنَ الْقَاتِلِ سَلِمَ الْبَاقُونَ وَيَصِيرُ ذَٰلِكَ سَبَبًا لِحَيَاتِهِمْ وَيُلْزِمُ عَلَى الْأَوَّلِ: الْإِضْمَارُ، وَعَلَى الثَّانِيِ: التَّخْصِيصِ، وَأَمَّا الْحَيَاةُ الْآخِرِيَّةُ بِنَاءً عَلَى أَنَّ الْقَاتِلَ إِذَا اقْتُصَّ مِنْهُ فِي الدُّنْيَا لَمْ يُؤَاخَذْ بِحَقِّ الْمَقْتُولِ فِي الْآخِرَةِ، وَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْخِطَابُ خَاصًّا بِالْقَاتِلِينَ
“Yang dimaksud dengan kehidupan adalah, pertama, kehidupan duniawi, yang jelas tampak, karena dalam hukum qishash dan pengetahuan tentangnya, hal ini menakut-nakuti sang pembunuh dari perbuatan membunuh. Maka, ini menjadi penyebab kehidupan bagi dua jiwa dalam kehidupan dunia ini. Hal ini juga disebabkan karena mereka (pada masa itu) biasa membunuh orang yang tidak bersalah, dan satu kelompok membalas perbuatan satu orang, yang kemudian menimbulkan fitnah di antara mereka, dan memicu perang besar seperti Perang Basus. Maka, jika pelaku pembunuhan dihukum dengan qishash, yang tersisa akan selamat, dan hal ini menjadi penyebab kehidupan bagi mereka. Ini berimplikasi pada dua hal: pertama, jika diartikan secara umum, maka harus ada pengertian tersirat; dan kedua, jika dimaksudkan secara khusus, maka harus ada pembatasan. Sedangkan kehidupan ukhrawi, berdasarkan pemahaman bahwa pembunuh yang dihukum dengan qishash di dunia, tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas hak orang yang dibunuh di akhirat. Maka berdasarkan ini, khitab dalam ayat hanya dimaksudkan bagi para pembunuh.”
Imam al-Alusi memang pernah difitnah mendukung gerakan Wahabisme, yang menyebabkan beliau dipecat dari posisinya sebagai ulama Ottoman di Baghdad. Namun, setelah beliau berkonsultasi dengan Reşid Mehmed Pasha, wazir agung Ottoman pada masa itu, dan menyerahkan karya beliau Ruh al-Maani, Mehmed Pasha akhirnya menerima beliau kembali dan mengangkatnya menjadi mufti Ottoman di Baghdad.
Demikianlah hikmah ditegakkannya qishash, yang sangat bermoral, menjaga etika, dan penuh rahmat bagi seluruh umat. Bahkan jika hukuman yang diterapkan hanya penjara selama 10 tahun, misalnya, hal ini akan dianggap remeh oleh seorang pembunuh yang memiliki angan-angan hidup panjang umur atau yang diperintah untuk melakukan pembunuhan dengan imbalan bayaran tinggi. Ia mungkin meremehkan hukuman tersebut dan setelah bebas dari tahanan, ia akan membayangkan akan berfoya-foya dengan harta hasil bayaran dari pembunuhannya itu.
Sekian, semoga tulisan ini dapat membuka pikiran kita untuk terlepas dari doktrin Barat yang diklaim sebagai jalan menuju kemajuan, kebebasan dari keterpurukan, dan pencapaian puncak peradaban. Padahal kenyataannya, pemikiran semacam itu adalah pemikiran sesat dengan tujuan meruntuhkan agama, menghancurkan tatanan syariat Rasul, dan melupakan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama. Bukan berarti kita fanatik terhadap ortodoksi, tetapi begitulah jalan yang diajarkan oleh Rasul dan para ulama. Tentu kita harus mengikuti mereka, bukan mengikuti para sarjana Barat yang sok rasional, mendahulukan akal dan mengabaikan nas-nas syariat. Semoga kita terhindar dari hal tersebut. Wassalam.
Salman Ar Ridlo | Annajahsidogiri.id
[1]Ar-Razy, Mafatih al-Ghaib, halaman.60, juz.3