Menurut interpretasi kaum Wahidiyah dalam majalah Aham; media resmi Wahidiyah, edisi 2. hal 16-17, relasi atau hubungan antara makhluk dengan Tuhan diumpamakan dengan kapas, benang dan kain. Kain terbuat dari benang dan benang terbuat dari kapas. Dengan kata lain, kain merupakan makhluk, sedangkan benang merupakan pengikat. Nur Nabi Muhammad yang berasal dari kapas sebagai nur Allah.
Pernyataan ini menelurkan kesimpulan bahwa sejatinya yang ada di dunia ini hanyalah Allah karena semua makhluk hidup menurut keyakinan mereka merupakan reinkarnasi dari wujud Allah itu sendiri. Secara langsung melakukan tamsil pada Allah yang jelas-jelas dilarang dalam al-Qur’an.
Dalam majalah Aham juga, mereka menyerukan untuk sampai pada tingkatan ahadiyah. Dalam kitab al-Kulliyah buah karya Syekh Ayub bin Musa al-Khusaini diterangkan bahwa kata “ahadiyah” berarti setiap sesuatu yang dapat menyatukan unsur yang banyak. Dalam kitab tersebut dicontohkan seperti lafal al-jalâlah yang disebut ahadiyah karena menghimpun seluruh asma Allah. Begitu juga dengan badan yang bisa dikatakan ahadiyah karena mencakup tangan, kaki, kepala dll.
Dalam majalah resminya, kaum Wahidiyah juga menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk seperti sakit dan menangis. Menurut adopsi mereka, adanya rasa sakit dalam jiwa itu karena dalang adanya manusia (Allah) juga merasakannya. Mereka mengambil kesimpulan semacam itu dengan memahami secara tekstual hadis qudsi yang berbunyi: “Aku menciptakanmu (Muhamad) dari nur-Ku dan Aku menciptakan makhluk hidup dari nur-mu.”
Dalam kitab al-Qur’an sudah jelas dan tegas bahwa tidak diperbolehkan menyerupakan Allah dengan suatu apapun. Hal ini tertuang dalam surat (QS. An-Nahl; 74) : “Maka janganlah kamu membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah. (Karena) sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Oleh karena itu, Ibnu Abbas melarang keras men-tamsil Allah dengan sesuatu yang diciptakannya.
Maka dalam kitab Nadzmud-Durar hal. 214 buah karya Burhanuddin Abi Hasan, dijelaskan bahwa pernyataan Ibnu Abbas tersebut menunjukkan pelarangan menyerupakan tuhan secara umum, meliputi segala aspek apapun. Sifat-sifat Allah tidak bisa ditetapkan dengan nalar dan analogi. Allah hanya bisa disifati dari al-Qur’an, hadis dan ijma’, agar dapat membedakan dengan kaum Muktazilah Basrah, sebagaimana keterangan yang termaktub dalam kitab karangan Abi Mansur al-Qahir yang bertajuk ‘al-Farqu bainal-Firâq’. Bahkan Imam Abu Jakfar ath-Thohawi mengatakan: “Barang siapa menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia yang baru maka ia dihukumi kafir.”
Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata, “Seandainya aku seorang penguasa, pasti aku penggal leher setiap orang yang berkata, “Bahwa yang ada di dunia ini hanyalah Allah”. Karena dengan ucapannya itu, ia berarti menafikan makhluk dan semua hukum syariat yang berkaitan dengan seluruh makhluk.”
Al-Imam Abul Mawahib Abdul Wahhab asy-Sya’rani berkata dalam kitabnya, al-Bahru al-Maurud fil-Mawatsiq wal-’Uhud hal. 129, “Ucapan, bahwa tidak ada di dunia ini selain Allah baik secara lahiriah maupun secara batin, adalah pendapat kaum Zanadiqah (orang-orang kafir).”
Al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi menulis satu kitab khusus berjudul, Tanzihul-I’tiqad ‘an al-Hulul wal-Ittihad. Di dalamnya beliau berkata: “Pandangan tentang hulul dan ittihâd pertama kali dikatakan oleh orang-orang Nashrani (Kristen). Hanya saja ghulat al-mutashawwifah melebihi Kristen dalam masalah hulul dan ittihâd tersebut.”
Al-Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab Muhashal fi Ushuliddin berkata: “Tuhan tidak mungkin menyatu dengan selain-Nya.”
Orang yang meyakini Hulul dan ittihâd adalah kafir dan sama dengan orang-orang Nasrani, berdasarkan kesepakatan seluruh ulama.
Awal lahirnya kesalahan sekte-sekte yang keliru dalam masalah ittihâd dan hulul adalah kebodohan mereka terhadap pokok-pokok agama (akidah) dan tidak mengetahui ilmu agama dengan benar.
Al-Hallaj divonis murtad setelah mengucapkan kalimat, “Aku adalah Tuhan”. Al Qadhi Abu Umar al-Maliki memvonisnya dipotong kedua tangan dan kedua kakinya, lalu lehernya dipenggal, lalu jasadnya dibakar, dan abunya ditabur di sungai Dajlah. Al-Junaid (penghulu kaum sufi) berkata kepada al-Hallaj: “Anda telah membuka lobang dalam Islam, yang hanya dapat ditutup oleh kepalamu.” (Ternyata sesudah itu, al-Hallaj diekskusi). (Syarhul-Qawîm hal.37)
Alaek Mukhyiddin | Annajahsidogiri.id