Pembahasan bias gender merupakan pembahasan usang yang sudah menjadi perbincangan hangat di kalangan ulama Islam dan liberal sejak dulu, lebih-lebih di kalangan aktivis yang memperjuangkan emansipasi wanita dan hak-haknya. Namun dalam artikel ini penulis menfokuskan pembahasannya pada penafsiran kutipan dari Surat an-Nisā’, ayat 34 berikut:
الرِّجالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ
Artinya: “Laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan sebab keutamaan yang Allah anugrahkan pada sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dan sebab mereka meng-infaqkan harta-harta mereka”
Banyak kalangan mufassir baik klasik ataupun kontemporer yang menafsiri kutipan ayat tersebut dengan berbagai perspektif mereka berdasarkan hadis dan atsar (perkataan sahabat) yang mereka paparkan atau ra’yu (pendapat) yang mereka kemukakan sendiri setelah melalui analisa yang mendalam. Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan penafsiran Prof. Siti Musdah Mulia yang dianggap sangat bertolak belakang dengan penafsiran mayoritas mufassir pendahulunya. Dia dengan cukup baik menelaah dan memaparkan konsep kebahasaan dalam menganalisis dan menginterpretasi Surat an-Nisā’, ayat 34 tersebut.
Menurutnya, kata alrijāl dan an-nisā’ bukan satu-satunya istilah yang dipakai al-Qur’an untuk mengungkapkan makna ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’. Dalam Al-Qur’an ditemukan dua kata untuk makna laki-laki, yaitu ar-rajulu (singular, mufrad), dan al-rijālu (plural, jama’) atau adz-dzakaru (singular, mufrad) dan adz-dzukūru (plural, jama’). Sedangkan untuk perempuan, ada kata al-untsa, al-mar’ah, dan an-nisā’. Al-Qur’an secara konsisten membedakan penggunaan kata-kata tersebut (Mulia, 2005). Kata adz-dzakar dan al-untsa digunakan untuk menunjukkan jenis kelamin secara biologis sementara arrijāl dan an-nisā’ bukan dalam konotasi biologis, melainkan dalam konotasi kultural, yaitu menggambarkan sosok laki-laki dan perempuan yang memiliki kualifikasi tertentu. Kedua kata terakhir dipakai secara khusus untuk menyebut manusia, sementara yang sebelumnya secara umum untuk manusia dan hewan. Karena itulah, tidak semua adz-dzakar adalah arrajul/ar-rijāl, juga tidak semua al-untsa adalah al-mar’ah/al-imra-ah/an-nisā’. Lelaki memiliki kualifikasi tertentu seperti sifat-sifat kejantanan (masculinity, rujūlah) sehingga disebut “al-rijāl”.
Oleh sebab itu, perempuan yang memiliki sifa-sifat kejantanan disebut “ar-rujlah”. Demikian pula, hanya perempuan yang memiliki kualifikasi budaya tertentu, seperti dewasa, sudah menikah, yang dapat disebut al-imra-ah atau an-nisā’. Berdasarkan pertimbangan itu maka terjemahan yang tepat untuk QS. anNisā’ [4] ayat 43 adalah: “Hanya laki-laki yang memiliki kualifikasi tertentu yang bisa menjadi pemimpin atas perempuan tertentu.” Selanjutnya, jika ayat tersebut ditelusuri asbāb nuzūl-nya, yakni diturunkan dalam konteks rumah tangga maka makna kandungannya akan lebih spesifik lagi yaitu hanya bermuara pada wilayah domestik atau rumah tangga itu sendiri.[1]
Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa Prof. Siti Musdah Mulia ingin menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan mengeneralkan makna lafadz ar-rijal, hingga memberikan kesimpulan bahwa yang mempunyai hak qawamah adalah ia yang mempunyai sifat ar-rujulah baik laki-laki atau wanita dan ayat tersebut hanya dalam konteks wilayah kekeluargaan saja dan tidak menyentuh ranah kepemimpinan politik. Lalu yang masih menjadi tanda tanya besar dibenak kita saat ini adalah benarkah penafsiran lughawi yang diplopori oleh Prof. Siti Musdah Mulia tersebut? Sebelum penulis menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya kita telisik sumber pemikiran Prof. Musdah Mulia tersebut.
Irvan Maulana Ramadani | Annajahsidogiri.id
[1] Mulia, Siti Musdah. 2005. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan. Bandung: PT Mizan Pustaka. Hal.