Enggan beramal saleh dengan alasan belum mendapat hidayah atau belum kunjung ditakdirkan oleh Allah SWT adalah kekeliruan yang dapat berakibat fatal pada bangunan akidah. Hal itu sama saja dengan enggan mengonsumsi makanan atau minuman dan lebih memilih menanti rasa kenyang datang dengan sendirinya. Jika demikian keyakinan seseorang, maka sedikit demi sedikit dia akan memaklumi pembangkangan yang ia lakukan tanpa usaha sedikit pun untuk taat, dan akan merelakan kemaksiatan bertebaran di sekelilingnya, tanpa ada rasa kepedulian untuk amar makruf nahi mungkar.
Baca Juga: Memahami Rida pada Takdir Kafir
Pemahaman keliru semacam ini berangkat dari keliru dalam memahami takdir dan ikhtiar manusia. Takdir memang mengatur segala hal termasuk keburukan yang diperbuat oleh manusia. Namun perlu kita pahami bahwa pekerjaan tersebut jika ditinjau dari sudut pandang bahwa pekerjaan tersebut dilakukan oleh seorang hamba secara sukarela, tanpa ada intervensi dari pihak manapun, maka sebetulnya dia bermaksiat atas kemauan diri sendiri dan dia mampu untuk meninggalkan maksiat tersebut.
Selanjutnya, mari kita perhatikan keterangan yang disebutkan dalam kitab Taqribul-Ushul li Tashilil-Wuhsul karya as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, salah seorang pembesar ulama tanah Haram Makkah, bahwa terdapat seorang kafir dzimmi yang menyurati para ulama di masa itu dengan beberapa bait syair yang berisi tentang kebingungan dan keheranannya dengan agama Islam. Karena menurutnya, jika Allah SWT – dalam perspektif Muslim – menghendaki kekufuran dzimmi tadi sedangkan Dia memerintahkan hamba-Nya untuk rida dengan ketentuan-Nya, maka si dzimmi tadi menolak untuk memeluk agama Islam sampai Allah SWT langsung yang memberikannya hidayah.
Para ulama kita kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud rida dengan ketentuan Allah bukan berarti diam saja saat ditakdirkan melakukan pembangkangan atas perintah dan larangan-Nya, atau rela saat kemaksiatan terjadi di hadapan matanya. Melainkan rida dengan ketentuan Allah SWT berarti tidak i’tiradh/mempersoalkan takdir yang telah terjadi. Sebagaimana firman Allah SWT,
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُوْنَ (الأنبياء:23)
“Dia tidak ditanyai atas apa yang diperbuat-Nya. Dan mereka yang akan ditanyai (atas perbuatan mereka).” (QS:21:23)
Maka ketika terjadi suatu kemungkaran di hadapan kita, ada dua sikap berbeda yang harus dicerminkan oleh setiap orang beriman. Yaitu ingkar dan rida. Ingkar artinya mengingkari perbuatan itu yang mana telah terang dijelaskan dalam hadis sahih (مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا. الحديث). Rida artinya tidak mempertanyakan atau memendam perasaan tidak terima atas terjadinya kemungkaran tersebut yang mana telah menjadi takdir Allah SWT.
Baca Juga: Manusia Mengubah Takdir, Mungkinkah?
Begitu juga terkait kemaksiatan yang terjadi dalam diri kita. Betul memang bahwa kemaksiatan itu terjadi atas ketentuan Allah dan ketetapan dari-Nya. Tapi itu bukan tempatnya kita bersikap legawa dan ‘menikmati’ kemaksiatan tersebut. Sudah seharusnya kita berusaha semampu mungkin untuk keluar dari kubangan kemaksiatan tersebut menuju kembali taat kepada Allah SWT.
Kemudian jika pemaparan di atas ditubrukkan dengan kalam hikmah para tokoh sufi yang melarang seseorang pindah dari ma aqamahullahu fihi (keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya), maka itu sungguh penubrukan yang tidak perlu. Sebab ulama kredibel diantaranya Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan di kitab yang sama sudah menggariskan bahwa kalam hikmah tersebut berlaku selama tidak berkaitan dengan kemaksiatan. Adapun ma aqamahullahu fihi yang berupa kemaksiatan kepada Allah SWT, maka berusaha untuk keluar dari keadaan tersebut merupakan tindakan terpuji yang tidak tercela sama sekali, dan bahkan suatu kewajiban.
Penubrukan selanjutnya yang mungkin terjadi adalah pemaparan barusan dengan hadis Nabi SAW yang menceritakan dialog singkat antara Nabi Musa AS dan Nabi Adam AS. Dalam riwayat tersebut dikisahkan bahwa Nabi Musa AS mengingatkan Nabi Adam kembali akan kisah pengusirannya dari surga. Menurut Nabi Musa, Nabi Adam-lah penyebab kehidupan manusia di bumi, bukan di surga. Nabi Adam menyangkal dan justru menyalahkan Nabi Musa AS atas opininya tadi. Beliau berkata, “Itu sudah menjadi takdir Allah SWT yang tidak dapat aku menghindarinya”.
Mufasir ternama abad terkini, Syekh al-‘Allamah Muhammad Amin al-Harrari menuliskan di salah satu karyanya bahwa Nabi Adam AS ‘menang’ dalam dialognya dengan Nabi Musa AS di atas bukan karena Nabi Adam AS menilai bahwa takdir Allah SWT pada kesalahannya di masa lalu mengubah hakikat pelanggaran tersebut menjadi bukan suatu pelanggaran, atau bahkan suatu ketundukan pada takdir. Bukan, sama sekali. Nabi Adam AS hanya ingin menyampaikan bahwa menegur seseorang atas kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah meninggal dunia tidak membuahkan hasil apa-apa. Oleh karena itu Nabi Adam AS mengingatkan Nabi Musa AS bahwa di samping teguran ini tidak menghasilkan apa-apa, pelanggaran itu sudah digariskan oleh takdir dan itu pasti akan terjadi.
Penulis ingin mengakhiri artikel yang serba kekurangan ini dengan syair seorang ulama sebagai berikut;
قَضَى اللهُ كُفْرَ الْكَافِرِيْنَ وَلَمْ يَكُنْ # لِيَرْضَاهُ تَكْلِيْفًا لَدَى كُلِّ مِلَّةٍ
نَهَى خَلْقَهُ عَمَّا أَرَادَ وُقُوْعَهُ # وَأَنْفَذَهُ وَاْلمُلْكُ أَعْظَمُ حُجَّةٍ
“Allah SWT menetapkan kekufuran orang-orang kafir dan tidak meridainya sebagai taklif pada tiap agama.”
“Allah SWT melarang makhluk-Nya dari sesuatu yang Dia menghendaki kejadiannya, dan kekuasaan adalah hujah yang teragung.”
Seluruh penghuni alam semesta ini adalah ciptaan Allah SWT. Dia boleh berbuat apa pun sesuai kehendak-Nya. Cukuplah kepemilikan-Nya atas segenap makhluk yang menjadi hujah bahwa tidak mungkin sebiji zarrah pun Allah SWT zalim dalam memperlakukan semesta dan seisinya. Wallahu A’lam.
Mohammad Jibril Nawa | Annajahsidogiri.id