رُبَّمَا ذَخَلَ الرّْيَاءُ عَلَيْكَ مِنْ حَيْثُ لَايَنْظُرُ الْخَلْقُ اِلَيْكَ
“Terkadang, riya merasuki jiwamu di saat kau tengah seorang diri”
(Ibnu Athaillah as-Sakandari)
Segala amal perbuatan yang ingin disaksikan oleh orang lain, bisa dipastikan riya menjangkiti hati si pelaku. Sebab, ibadah yang murni dilakukan karena Allah, akan jauh lebih bermakna kala dijalani dalam keadaan sepi. Bahkan, kalaupun mesti dilakukan di tempat umum, ia tidak akan menghiraukan orang lain. Akan tetapi, ibadah di tempat sunyi, bukan jaminan keikhlasan hati dan kesterilan dari gangguan penyakit hati. Bisa saja, ibadah di kesunyian malam saat manusia terbuai oleh mimpinya masing-masing itu malah yang berlimpah riya.
Mungkinkah Seseorang Riya di Kesunyian?
Sebagaimana riya menjangkiti manusia kala berada di dalam pengawasan orang lain, ia juga mungkin timbul di tengah kesunyian diri. Karenanya, ulama mengklasifikasinya menjadi dua bagian. Riya jalî (jelas) dan khafî (samar). Contoh riya khafî adalah seperti beribadah agar disegani masyarakah dan memudahkannya untuk memperlancar urusan dengan warga setempat. Maka, siapa pun yang merasakan kehadiran bisikan-bisikan seperti ini, ketahuilah bahwa ia tengah diselimuti perasaan riya dan lekaskah membuang jauh-jauh gangguan setan itu.
Baca Juga: Sanjungan untuk Sang Tuntunan
Secara sederhana, riya dapat didefinisikan dengan melakukan ibadah untuk selain Allah, meskipun tujuan utamanya tetap menggapai rida-Nya. Seperti, santri yang gigih belajar sepanjang malam karena mengejar juara, atau warga yang berjamaah penuh selama empat puluh hari agar memenangkan hadiah umrah atau haji gratis yang dijanjikan oleh Pak Bupati. Perbuatan-perbuatan mulia tadi, sekalipun pelakunya memprioritaskan rida Allah dalam ibadahnya, tetap saja berstatus riya. Sebab, dipastikan dalam ibadahnya ada kecondongan pada selain Allah, walau sekecil biji jagung.
Bahkan, ibadah orang mukmin yang tekun ditempuh semalam suntuk sepanjang usianya, sebab khawatir tercebur ke api neraka dan takut tidak mereguk kenikmatan surga, juga tergolong ibadah yang berbumbu riya. Sebab, meski surga memang dijanjikan oleh Allah bagi pelaku ibadah yang tekun, dan neraka dijauhkan dari manusia yang terbirit-birit dari kubangan nafsu, namun tetap saja ibadahnya masih dikotori tujuan selain Allah. Hanya saja, beribadah sebab termotivasi janji-janji Allah tadi tidaklah tercela. Karena kita adalah manusia biasa yang memang secara watak butuh distimulisasi dengan hadiah menarik yang memikat hati, seperti mahligai surga yang indahnya tidak pernah terbesit oleh hati, terdengar daun telinga, oleh lensa mata, dan oleh jemari tangan.
Baca Juga: Dalil Puasa Rajab
Karena itu, ulama memvonis tidak ada yang selamat dari riya kecuali sufi yang sampai pada makam makrifat. Sebab, Allah menyucikan para kekasih-Nya yang terbingkai dalam Arifîn, dari kesyirikan-kesyirikan terselubung. Bukankah riya adalah kesyirikan terselubung? Di samping itu, Allah senantiasa menjaga kekasih-Nya dengan menenggelamkannya dalam keindahan memandang-Nya dengan mata hati mereka. Sehingga, mereka tidak membutuhkan manusia untuk segala urusannya dan yakin Allah akan memenuhi segala keperluannya. Maka, ibadah para Arifin inilah yang betul-betul murni karena Allah dan bersih dari campuran tujuan selain Allah. Tidak seperti umumnya manusia yang hatinya masih diembel-embeli hal lain selain Allah saat beribadah kepada-Nya.
Dan bagi kita yang awam nan jauh dari predikat makrifat, hendaknya tatap bersemangat dalam beribadah, meski termotivasi oleh janji-janji Ilahi. Ibadah dengan tujuan semua itu tidaklah salah mengingat sebatas itulah kemampuan kita. Beda halnya bila itu dilakukan oleh para Arifin yang berpangkat tinggi di sisi Allah. Hal semacam adalah kesalahan besar yang berpotensi menjatuhkan status mereka. Wallahu A’lam
Annajahsidogiri.id