Nikah Mut’ah adalah nikah yang dibatasi oleh waktu yang telah ditentukan oleh salah satu kedua pelakunya atau lebih tren lagi dalam negeri kita di sebut dengan Kawin Kontrak. Dalam kasus ini pelaku boleh kawin satu jam, satu minggu, satu bulan dan seterusnya. Adapun batasan perempuan yang di mut’ah hal itu terserah dari seorang laki-laki, baik itu dua, tiga, bahkan sampai lebih dari sepuluh, sesuai kemampuan seorang laki-laki.
Dalam kasus ini hanya sekte Syiah yang menghalalkan bahkan memiliki keutamaan yang tinggi bagi pelakunya dan ancaman bagi yang meninggalkannya. Berikut sekilas gambaran beberapa hal penting seputar Nikah Mut’ah dalam sekte Syiah:
Hakikat Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah dalam syiah diposisikan sebagai amalan agama yang sangatlah tinggi, bahkan sampai sama dengan derajat Rasulullah SAW sebagaimana yang disebutkan dalam hadis palsu Syiah yang terdapat dalam kitab Manhajus Shadiqin dalam kitab itu di sebutkan “Barang siapa yang melakukan nikah mut’ah satu kali, maka derajatnya menyamaii Sayyid Husain. Bila dua kali maka derajatnya seperti Sayyid Hasan, bila sampai tiga kali maka derajatnya seperti Sayyid Ali ra, dan bila sampai melakukan empat kali maka hal itu seperti derajat Rasulullah SAW”. Sungguh sangat tidak sopan Syiah menyamakan para pelaku Nikah Mut’ah seperti Rasulullah dan Para Ahlul Bait. Dan bagi yang mengingkari berarti dia telah mengingkari agama.
Diriwayatkan dari Ja’far Shadiq yang berupa hadis palsu disebutkan “Nikah Mut’ah itu agamaku dan agama para nenek moyangku, oleh karena itu barang siapa yang mengamalkannya sungguhlah dia mengamalkan agama kami. Dan barang siapa yang mengingkari, berarti dia telah mengingkari agama kami. Anak yang dilahirkan dari Nikah Mut’ah lebih mulya daripada anak yang lahir tidak melakukan Nikah Mut’ah (nikah biasa).”
Sedangkan dalam pandangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengharamkan nikah tersebut, seperti penjelasan Sayyid Muhammad al-Maliki dalam salah satu kitabnya: “Bahwa Nikah Mut’ah adalah nikah yang dibatasi oleh waktu, yang mana dahulu pernah diperbolehkan oleh Nabi SAW karena sebab faktor darurat pada saat itu, seperti keadaan perang dan perjalanan yang jauh. Setelah itu dilarang saat terjadi perang Khaibar, kemudian diperbolehkan lagi, kemudian dilarang kembali saat penaklukan Mekah, kemudian diperbolehkan lagi selama kurang lebih tiga hari setelah terjadinya perang Authas, dan diperang Authas inilah terakhir kalinya diperbolehkan melakukan Nikah Mut’ah.”
Berbeda dengan sekte Syiah, mereka malah menganggap bahwa larangan tersebut dari Sayyidina Umar Ra, bukanlah dari Nabi SAW sebagaimana ungkapan dari salah satu imam mereka yaitu al-Kulaini. Justru hal itu menjadi sangat jelas sekali kebohongan yang dilakukan oleh Syiah tersebut, karena tidak mungkin seorang Khalifah yang perkataannya memisah antara hak dan batil mengubah hukum Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabinya, yang mana seorang pelaku yang mengubah hukum Allah akan berakibat kafir.
Dalam hadis Shahih disebutkan, Nabi SAW bersabda: “Wahai para manusia, sesungguhnya Aku pernah menghalalkan bagi kalian Nikah Mut’ah. Maka ketahuilah, sejak saat ini Allah SAW telah mengharamkan nikah tersebut hingga hari kiamat. Maka barang siapa yang telah memiliki istri Mut’ah, lepaslah mereka, jangan kamu ambil apa yang telah engkau berikan kepadanya (HR. Muslim)”.
Nur Kholis/Annajahsidogiri.id