Pada tulisan sebelumnya (tulisan kedua) telah diuraikan tentang tahapan untuk memantapkan dan menguatkan akidah, setelah pada tulisan pertama dijelaskan tahapan penanaman akidah. Jadi seperti halnya bertani, setelah kita menanam bibit, yang harus kita lakukan selanjutnya adalah merawatnya agar tumbuh subur dan kuat, serta melindunginya dari berbagai potensi yang bisa mengancam pertumbuhannya.
Nah, yang hendak penulis utarakan pada seri terakhir ini adalah penegasan dan penyempurnaan dari tulisan kedua, bahwa untuk meyakini pokok-pokok akidah idealnya memang harus diawali dengan nazar, yakni olah pikir yang dapat mengantarkan kita pada keyakinan tentang Allah subhanahu wa ta‘ala dan kebenaran kenabian Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Namun tidak berarti olah pikir adalah satu-satunya cara, karena ada cara lain yang justru lebih banyak diterapkan oleh kalangan awam, yaitu cara talkin atau mendiktekan pokok-pokok akidah itu, mulai dari menghafalkan, memberikan keterangan supaya paham, berlanjut pada membenarkan dan menyejatikan, sebagaimana telah diuraikan pada tulisan pertama.
Sementara untuk menguatkan akidah, maka tidak bisa dilakukan dengan media akal atau, sebab akal atau ilmu itu fungsinya hanya al-kasyf, yakni mengungkap apa yang sebelumnya tidak kita ketahui. Karena itu dalam konsep akidah Ahlusunah wal-Jamaah, fungsi akal pikiran adalah sebagai kunci pembuka atau lampu penerang agar kita bisa mengetahui pokok-pokok akidah setelah sebelumnya kita tidak mengetahuinya. Itulah kenapa kewajiban pertama setiap mukalaf adalah nazhar.
Baca Juga: Arti Kemajuan dalam Islam
Karena fungsi akal atau ilmu itu hanya mengungkap sesuatu yang dengannya kita bisa mengetahui, maka akal atau ilmu, yang bersumber dari otak, tidak bisa berperan untuk menggerakkan, karena memang bukan tugas atau bukan fungsinya. Adapun potensi dalam diri kita yang bisa menggerakkan kita (untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu) adalah perasaan, yang bersumber dari hati.
Itulah sebabnya kenapa banyak kita dapati, bahkan kita rasakan terjadi pada diri kita, bahwa kita mengetahui kalau sesuatu itu dilarang oleh syariat namun tetap kita lakukan. Ya, kita sudah tahu itu hukumnya haram, tapi kita tetap melakukannya. Ini bukti bahwa pengetahuan an sich, atau ilmu semata, tidak bisa memperkuat akidah kita. Padahal akidah atau keimanan itu bisa semakin kuat jika kita pupuk dengan amal-amal shalih, dan semakin lemah jika kita terjerembab ke dalam amal-amal yang buruk.
Nah, dari sini kita tahu bahwa untuk memperkuat akidah, kita harus merawat hati, karena hati itu adalah sumber segala perasaan, di mana perasaan itulah yang akan menggerakkan seluruh aktivitas kita. Bukti bahwa perasaan yang menggerakkan kita adalah semisal kita melihat singa di hadapan kita, itu tidak otomatis membuat kita lari. Yang membuat kita lari adalah jika kita merasa takut pada singa itu. Adapun yang tidak merasa takut tentu tidak akan lari, bahkan boleh jadi senang, seperti saat kita menonton singa sirkus.
Jika hati itu kita jaga, dengan cara senantiasa muraqabah (menghadirkan pengawasan Allah terhadap seluruh keadaan kita), rajin menghubungkan kenikmatan yang kita terima setiap detik dengan Sang Pemberi nikmat, senantiasa mengingat Allah, rajin ibadah dan amal shalih, maka insya-Allah akan tumbuh di hati kita kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, yang dengan itu keimanan kita akan semakin kuat dan semakin kuat.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri