Bukan hal yang tabu lagi bila ada persepsi mengenai jeleknya takdir itu dari Allah. Memang begitulah kebanyakan orang rasakan dan para ulama sepakati, selain hal itu merupakan perkara yang wajib kita imani. Semisal kekuatan takdir timbul dari seorang hamba, maka banyak kejanggalan dan kecacatan yang akan dirasakan kebelakang harinya, sebagaimana pemahaman yang lama dianut oleh firqah sempalan Khawarij yaitu Firqah Tsaubaniyah, yang dipelopori oleh Abi Tsauban Al-Murji’.[1]
Dalam pembahasan takdir, Imam Al-Ghazali dan Imam Ash-Shawi menyebutkan bahwa baik-buruknya takdir murni berasal dari Yang Maha Kuasa semata. Di sisi lain juga ada kaitannya dengan iradah-Nya. Sebab Allah bukan hanya Pencipta makhluk, tapi Ia pencipta segala aktivitas, rezeki dan ajal segala makhluk.[2]
Oleh karenanya, tidak mungkin semua orang dipastikan menjadi baik sebab panjang umur. Tidak semua orang bisa menjadi kaya karena gigih dalam bekerja. Kita hanya diberikan kesempatan untuk berikhtiyar, memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sepenuhnya secara hakikat baik buruknya takdir ialah Allah Pencipta segalanya. Adapun ayat yang berbunyi:
﴿ مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا﴾
“Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) kepada seluruh manusia sebagai rasul, dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. An-Nisa: 79).
Baca Juga; Betis dan Kaki Allah
mengajarkan kita bagaimana cara beretika dan beradab yang benar kepada Sang Kuasa, dengan menisbatkan buruknya perbuatan kita pada kita sendiri sebagai pelaku. Tak ubahnya kisah Nabiyullah Ibrahim saat sakit. Beliau menisbatkan apa yang dialaminya ketika sakit pada dirinya sendiri dengan dawuh “Disaat aku sakit Dialah (Allah) yang senantiasa menyembuhkanku.” sebagaimana dalam surat Asy-Syu’ara ayat 78-80. Sekalipun beliau tahu bahwa Allah yang menjadikannya ia sakit.[3]
Tak jauh beda dengan seorang ahli lukis internasional yang membuat sebuah lukisan yang dinilai sangat jelek oleh penontonnya. Sebutan jelek akan tetap tersematkan pada lukisan, sekalipun ribuan pujian dan sanjungan akan tetap melekat pada ahli lukis itu. Inilah kesalahan pertama yang diperbuat sempalan Khawarij ekstrem ini.
Kesalahan selanjutnya adalah bagaimana firqah ini mengartikan iman dengan sekadar makrifat dan mengakui keberadaan Allah dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, terlepas dari bagaimana mereka tidak mengimani risalah Rasulullah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab Allah, hari akhir dan semacamnya, yang merupakan bagian dari keabsahannya keimanan tersebut, seperti hakikatnya takdir di atas.[4] Syekh Qoimuddin dalam karyanya Minhatul Hamid, menyebutkan bahwa definisi dari iman adalah at-tashdiq wal idz’an, membenarkan serta tunduk sepenuhnya terhadap apa yang Rasulullah diutus dengannya dan apa saja yang diketahui secara spontan dalam agama; salat hukumnya wajib, zina berhukum haram, dan lain sebagainya. Al-Imam Nawawi al-Bantani mempresentasikan bahwa kata ‘iman’ adalah suatu ungkapan bagaimana seseorang meyakini sifat wajib, jaiz, dan mustahil bagi Allah dan rasul-Nya.[5]
Rajib Nu’man Hamid | Annajahsidogiri.id
[1] Asy-Syahrastani, Al-Milal Wan Nihal, (hal 142-143), al-Baghdadi, al-Farqu Baina Al-Firaq (hal. 203). At-Tabshir (hal. 61)
[2] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, (hal. 122)
[3] Imam Ahmad bin Muhammad Ash-Shawi, Hasyiyah Ash-Shawi (hal. 217).
[4] Asy-Syahrastani, Al-Milal Wan Nihal, (hal. 142)
[5] Al-Imam Nawawi al-Bantani, Qathru al-Ghaist, (hal. 14)