Dalam sejarah, Islam sangat memperhatikan setiap hal dalam kehidupan. Tak terkecuali dalam masalah kepemimpinan (khilafah). Karena bagaimanapun, khilafah merupakan medium untuk menegakkan agama dan memajukan syariat. Hal tersebut dapat kita lihat pada zaman Nabi Muhammad ﷺ. Namun, perpecahan dan silang pendapat tak bisa dielakkan pasca wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Fanatisme kesukuan dan golongan kembali mencuat dan memanas. Perdebatan terkait pemilihan khilafah pun hampir meretakkan hubungan persaudaraan antar kaum muslimin. Lantas siapakah sosok yang pantas menjadi khalifah dan bagaimana konsep khilafah menurut Ahlusunah dan Syiah? Serta manakah yang lebih unggul menjadi khalifah antara Sahabat Nabi dan ahli bait? Berikut pemaparan lugas K.H. Qoimuddin, selaku Anggota Dewan Pakar Annajah Center Sidogiri sekaligus Staf Pengajar PP. Dalwa Bangil saat diwawancara M. Irvan Shafdana, dari Annajahsidogiri.id.
Konsep Khilafah dan standarnya menurut Ahlusunah dan Syiah?
Ahlusunnah: Hal yang membedakan Ahlusunah dengan Syiah ialah tidak adanya wasiat secara langsung dari Rasulullah ﷺ dalam konsep khilafah. Proses pemilihan dan pencalonan khalifah murni dengan musyawarah atau penunjukan langsung dari khalifah sebelumnya kepada khalifah yang baru. Tidak hanya itu, Ahlusunah juga menetapkan syarat utama khalifah itu haruslah berasal dari golongan Quraisy. Inilah yang dibuat dasar oleh Sahabat Abu Bakar di Tsaqifah Bani Saidah ketika menunjuk Sayidina Umar sebagai pengganti Rasulullah dari golongan Quraisy. Disebutkan pendapat lain namun, masih diperselisihkan yaitu dengan adu kekuatan. Hal tersebut dilakukan apabila ada khalifah tandingan.
Syiah: Sedangkan Syiah menjadikan wasiat sebagai standar Khilafah dan hanya tertentu kepada Ahlulbait. Berdasarkan hadis Ghadir khum terkait wasiat Nabi yang hanya tertentu kepada Imam Ali dan keturunannya. Hal tersebut kemudian biasa disebut dengan konsep Imamah. Dan tidak memasukkan selain Ahlulbait sebagai sosok yang pantas menjadi khalifah, termasuk di dalamnya para Sahabat Nabi.
Lantas, lebih unggul mana antara ahli bait dengan sahabat Nabi dalam menjadi khalifah?
Perlu diketahui, sebenarnya Syiah tidak mencintai ahli bait secara mutlak. Adanya intervensi pribadi dapat dibuktikan dengan pengakuan yang hanya tertentu kepada lima Ahlulbait. Berbeda dengan Ahlusunnah yang menjadikan syarat utama dalam pemilihan khalifah ialah berasal dari Quraisy tanpa melihat apakah ia termasuk Ahlulbait atau tidak. Dan inilah yang dibuat dasar oleh Sahabat Abu Bakar kala berdiskusi dengan golongan Anshar terkait pemilihan khalifah di Tsaqifah Bani Saidah pasca wafatnya Rasulullah. Penerimaan golongan Anshar terhadap pendapat yang dipaparkan Abu Bakar terkait keharusan khalifah berasal dari Quraisy menjadi bukti kuat tidak adanya wasiat dari Nabi Muhammad ﷺ sekaligus bantahan terhadap akan konsep Imamah Syiah. Jadi dalam Ahlusunah tidak ada fanatik terhadap suatu kelompok dalam pemilihan khalifah karena sudah ada standarnya. Terkait mengapa Quraisy yang menjadi standar khalifah dengan meninjau sejarah bangsa Quraisy yang telah diakui oleh kawan dan lawannya. Sebagaimana banyak disenandungkan oleh para penyair jahiliyah tatkala menjelaskan terkait kehebatan Quraisy.
Tanggapan Anda terhadap hadis 12 Imam sebagai bukti kuat Syiah adanya wasiat?
Sebenarnya Syiah itu tidak mengambil hadis tersebut. Mereka mengambil hadis tersebut tidak lain sebagai senjata kala menghadapi Ahlusunah. Pengambilannya pun terkesan dipaksakan. Hanya karena ada penyebutan diksi dua belas imam mereka secara otomatis mengaitkannya kepada kelompok Itsna Asyariah. Padahal dalam menerima hadis mereka sangat selektif dan sangat anti terhadap hadis yang diriwayatkan oleh para rawi Ahlusunah termasuk di antaranya kitab hadis Shahîh Muslim yang meriwayatkan hadis dua belas Imam tersebut.
Sedangkan Ahlusunah merespon klaim Syiah dengan menyebutkan secara rinci siapa saja dua belas tokoh tersebut dalam kitab Fatawa al-Haditsiyah karangan Imam Ibnu Hajar. Sebenarnya bukan hanya hadis dua belas Imam yang mereka jadikan hujah terkait sistem Imâmah, mereka juga menggunakan hadis Ghadir Khum yang diriwayatkan Ahlusunah untuk menyerang kita. Mereka mempelajari hadis Ahlusunah tidak lain sebagai amunisi untuk menyerang Ahlusunah, padahal jika dicermati kembali mereka sangat anti terhadap hadis yang diriwayatkan oleh para rawi hadis selain dari ulama Syiah.
Langkah agar umat tidak terjebak cinta buta Syiah kepada Ahli bait?
Perlu diketahui benang merah dalam sikap Ahlusunah tatkala mencintai Ahlulbait sebenarnya tidak jelas, maksudnya batasan Ahlusunah dalam mencintai Ahlulbait sebenarnya tidak ada. Besarnya cinta Ahlusunah terhadap Ahlulbait terlihat dalam penghormatan dan kecintaan mereka kepada Ahlulbait tanpa pandang bulu, sekalipun mereka termasuk Ahlulbait yang ahli maksiat atau lebih parah lagi ikut aliran sesat. Ahlulbait yang terpapar aliran sesat diibaratkan oleh Ahlusunah sebagai seorang anak yang menyakiti orangtuanya dengan kesesatannya. “Al-waladul ‘aq lam yulhaq bil-walid”. Karena kedurhakaan Ahlulbait tidak sampai memutus nasab kepada orangtuanya. Begitu juga berlaku cinta Ahlusunah yang tak bertepi kepada para Sahabat Nabi. Jadi tidak ada beda ketika mencinta dalam kamus Ahlusunah baik kepada Ahlulbait atau Sahabat Nabi.