Sebagai lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang lafadz-lafadz yang menimbulkan kesalahpahaman. kali ini, kami akan membahas tentang kata ‘ain. Anda bisa temukan dalam buku dan artikel Wahabi, seperti artikel Abu Al-Jauza yang berjudul “Sifat mata bagi Allah” atau dalam kitab Al-Kawâsyif al-Jaliyyah ‘an Ma‘ânil-Wâsithiyyah karangan salah satu ulama Wahabi yang secara tegas menyatakan bahwa Allah mempunyai mata hanya saja tidak sama dengan milik kita serta mengklaim bahwa itu adalah akidah Ahlussunah yang benar.[1] Lantas, benarkah paham tersebut merupakan akidah Ahlusunah? Dan apakah lafad `ain bisa diartikan dengan mata sebagaimana paham kelompok Wahabi?
Untuk menghilangkan paham-paham sesat seputar nas-nas yang secara literal mengandung makna syubhat; seakan-akan ada penyamaan antara Allah dengan makhluk-Nya, berikut kami akan kupas kesalahan dalam memahami nas mutasyabihat dengan benar. Pertama, kelompok Wahabi memang sering menggunakan nas al-Qur’an maupun hadis yang mengandung lafadz yang secara zahirnya menetapkan sifat bagi Allah yang sama dengan sifat makhluk sebagai dalil untuk menetapkan tauhid asma’ was sifat bagi Allah, seperti ayat:
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَاِنَّكَ بِاَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِيْنَ تَقُوْمُۙ
“Bersabarlah (Nabi Muhammad) menunggu ketetapan Tuhanmu karena sesungguhnya engkau berada dalam mata-mata (pengawasan) Kami. Bertasbihlah seraya bertahmid (memuji) Tuhanmu ketika engkau bangun.”(QS. Ath-Thûr [52]: 48).
Baca Juga; Benarkah Allah Mempunyai Betis ?
Begitu juga yang terdapat dalam surah Ṭâhâ ayat 39, Al-Qamar [54]:14.
Menurut al-Imam Fakhrudin ar-Razi, lafad `ain dalam surah ath-Thûr ayat 48 di atas hanya bisa diartikan dengan “Perhatian penuh atau pengawasan”. Untuk lebih jelasnya mari kita menggunakan pendekatan dengan contoh; jika seseorang sedang tertarik atau senang pada suatu hal, ia akan memperhatikan dan selalu melihat nya. Oleh karena itu, digunkanlah lafad ‘ain.
Dengan demikian, lafad `ain ini adalah salah satu cara al-Qur’an mengungkapkan bentuk perhatian dan pengawasan penuh Allah kepada hamba- hambanya.[2]
Kedua, dalam sebuah hadis riwayat Abdullah Ibnu Umar disebutkan bahwa, Dajal buta sebelah matanya sedangkan Allah tidak. Hadis ini menurut Wahabi secara tidak langsung memberi paham bahwa Allah mempunyai mata dan tidak buta salah satunya berbeda dengan mata Dajal. Sebagaimana hadis berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ذُكِرَ الدَّجَّالُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَى عَلَيْكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى عَيْنِهِ وَإِنَّ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ
“Dari ‘Abdullah berkata, ‘Dajal disebut di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau bersabda, ‘Allah tidak samar bagi kalian, Allah tidak buta sebelah’ -sambil beliau berisyarah dengan tangannya ke matanya- ‘dan bahwasanya al-Masih ad-Dajal buta sebelah kanan, seolah-olah matanya anggur yang menjorok’.”[3] (HR. Al-Bukhari).
Baca juga; Memahami Makna Wajhullah
Sebenarnya, dalam hadis ini hanya membedakan Allah yang benar-benar Tuhan dengan Dajal yang mengaku tuhan. Karena dikhawatirkan orang-orang menganggap Dajal sebagai Tuhan, maka ditunjukkanlah sifat “kekurangan” berupa buta yang ada pada mata Dajal. Di samping itu, tidak sedikit pun ada penyebutan perihal penetapan mata bagi Allah dan hal itu bukanlah sebuah pujian untuk membenarkan komplementasi wahabi dalam menetapkan suatu anggota tubuh pada Allah. [4] Sebab, anggota badan menunjukkan adanya susunan tubuh; panjang, lebar, pendek dan lainnya. Satu anggota dengan yang lain saling membutuhkan, hal demikian mustahil bagi Allah karena menetapkan bahwa Allah serupa dengan makhluk-Nya dan bahwa Allah itu baru. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Mulla Ali al-Qari dalam kitabnya Syarhul-Fiqh al-Akbar, hlm. 65 berikut:
لِأَنَّ الْجِسْمَ مُتَرَكِّبٌ وَمُتَحَيِّزٌ وَذَلِكَ أَمَارَةُ الْحُدُوثِ
“Karena jisim (tubuh) adalah hal yang tersusun dan terbatas pada tempat (menetap) dan hal itu adalah sebuah tanda baru tercipta. [5] Wallahu a’lam bis-Shawâb.
Ahmad Kholil | Annajahsidogiri.id
[1] Abdul Qadir ‘Isa Diyab. al-Mîzân al-‘Âdil. hlm. 99.
[2] Al-Imam Fakhrudin ar-Razy. Asâsut-Taqdîs. hlm. 303; Silsilatul-Buhûts al-Islâmiyyah, 2020.
[3] Al-Imam al-Bukhari, Shahîhul-Bukhârî, No. 169, hal.3859.Ilmuislam.Id
[4] Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Furaq al-Ashbihani, Ta’wîlul-Akhbâr al-Mutasyâbihah, hlm. 124, Damaskus, 2003.
[5] Mulla Ali al-Qari, Syarhul-Fiqh al-Akbar, hlm. 65, Darul-Kutub al-Ilmiyah.