Ketika mendengar kata ‘Syiah’, maka akan terbesit dalam benak kita tentang caci-maki dan pengkafiran sahabat Nabi ﷺ, istri-istri Nabi ﷺ, penolakan khilafah Sayidina Abu Bakar,Sayidina Umar, Sayidina Utsman, kefanatikan kepada Sayyidina Ali dll. Itulah beberapa di antara paham sesat yang disebar luaskan oleh kelompok Syiah di berbagai belahan dunia, termasuk dengan Syiah yang ada di negara kita tercinta, Indonesia.
Pasca Revolusi Iran yang terjadi pada 1979 M., Syiah semakin berani melakukan pergerakan secara terang-terangan melalui kelompok diskusi, yayasan, lembaga pendidikan seperti madrasah dan pesantren. Hal tersebut sebagaimana yang terjadi di bumi nusantara, sehingga banyak ditemukan media, yayasan, lembaga dan kelompok-kelompok yang berbasis Syiah di berbagai negara Islam begitupun di Indonesia.
Pergerakan secara terang-terangan ini pada akhirnya menimbulkan banyak konflik yang terjadi di Indonesia. Di antara konflik-konflik yang terjadi adalah pembakaran ponpes Al-Hadi (pondok pesantren Syiah) di Batang Jawa Tengah pada 14 April 2000 M., pembubaran secara paksa pada kegiatan kelompok Syiah di Yayasan Al-Qurba Kec. Ampenan Lombok barat NTB pada 13 Januari 2008 M., pembakaran Mushala dan beberapa fasilitas pemimpin Syiah Tajul muluk di desa Karang Gayam Kec. Omben Sampang Madura[1], dan konflik lainnya yang menimbulkan keresahan serta perpecahan pada masyarakat Indonesia. Lantas, bagaimana cara yang benar dalam menyikapi pergerakan Syiah di Indonesia? Apakah perlu melakukan kekerasan sebagaimana yang pernah terjadi? Atau bahkan melakukan kudeta, sebagaimana yang Itachi lakukan pada klan Uchiha?. Tentu tidak, hal-hal sedemikian sama sekali tidak mencerminkan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Baca Juga; Kerancuan Paham ‘Ishmatul-Imâm
Dalam menyelesaikan perselisihan paham, baik yang mencakup hukum fikih maupun akidah yang dianggap melenceng dari ajaran Islam tetap dikedepankan akhlakul karimah dan cara-cara berdakwah yang santun dan tegas dengan hikmah, mauizah hasanah dan jidal bil-ahsan(berdebat dengan argumentasi yang paling baik) dengan melakukan perdebatan yang sehat dan ilmiah serta tak ternodai oleh emosi pribadi dan fanatisme kelompok. Sebagaimana firman Allah ﷻdalam surat An-Naḥl:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”(An-Naḥl [16]:125)
Dalam menafsiri ayat ini, Syekh Mutawalli as-Sya’rawi mewanti-wanti untuk tidak meninggikan diri, tidak merendahkan lawan diskusi, dan tidak menjelek-jelekannya di hadapan orang lain, sebab tindakan-tindakan sedemikian dalam dakwah, malah berpotensi menghasilkan hasil yang negatif, sehingga si lawan akan menyombongkan diri dan dan menolak terhadap kebenaran.[2]
K.H.Haysim Asy’ari mengutip Hadis Rasulullah ﷺ :
وَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرْ لِتَنْقَمِعَ البِدَعُ مِنْ أَهْلِ المَدَرِ والحَجَرِ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: “اِذَا ظَهَرَتِ الفِتَنُ وَالبِدَعُ وَسُبَّ أَصْحَابِي فَلْيُظْهِرِ العَالِمُ عِلْمَهُ فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ”
“Dan sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu agar semua bidah bisa diberantas dari semua orang baik di kota maupun di desa, Rasulullah ﷺ bersabda : “Jika telah muncul fitnah-fitnah dan bidah-bidah serta para sahabatku dicaci maki, maka seorang alim harus menampakkan ilmunya. Barang siapa yang tidak melakukannya maka ia akan tertimpa laknat Allah ﷻ, para malaikat dan seluruh manusia.”[3]
Walhasil, dari semua pemaparan di atas bisa disimpulkan, bahwa penyimpangan dan kesesatan Syi’ah bukan diatasi dengan cara kekerasan, sebab hal itu hanya akan membuat kondisi semakin kacau. Cara terbaik untuk menyikapi Syiah dan kesesatannya adalah dengan berdiskusi dan pengajakan yang lemah lembut serta tegas, Dan orang yang Alim harus unjuk gigi, untuk melindungi akidah umat dan menyelamatkan orang-orang yang terjerembab dalam lubang kesesatan. Begitupun dengan kelompok-kelompok menyimpang lainnya, cara menyikapi kesesatan mereka sama dengan cara menyikapi sekte Syiah sebagai mana yang telah kita bahas. Wallahu A‘lam bis-showab
Muh Shobir Khoiri | Annajahsidogiri.id
[1] Tim Penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, hlm. 90-92.
[2] Syekh Mutawalli as-Sya’rawi, Khawâtir îmâniyyah, juz 11 hlm.813.
[3] K.H. Hasyim Asy’ari, Muqaddimah Qanun Asasi Jam’iyah NU, hlm.25-26