“Semakin sedikit berbicara trinitas semakin baik.” Pesan Schleiermacher sebagai ungkapan betapa rumitnya teologis Kristen.
Secara sepintas, karakter sifat-sifat Allah dalam teologi Muslim adalah konsep yang sama jelimet dan rumit untuk didiskusikan, bahkan bagi penganutnya sendiri. Menurut ulama, sifat ketuhanan Allah sangat identik dengan-Nya tetapi sifat itu bukan tuhan. Bagaimana bisa?
Untuk menjelaskan kerumitan teologi tersebut para ulama mengembangkan tipologi keesaan tuhan menjadi beberapa tema dan kajian. Akan tetapi, bagaimana pun masih terdengar ribet dan rumit. Sifat kalam misalnya, sifat kalam adalah sifat yang ada pada Dzat Allah tapi bukan Allah. Sedangkan sifat kalam adalah qadim (tidak berawal) seperti halnya Tuhan. Rumit bukan?
Inilah contoh kesemerawutan berpikir yang dicontohkan oleh Muhammad Nuruddin dalam bukunya, Logikal Fallacy. Dalam bukunya itu, ia menguak kesalahan-kesalahan berpikir yang kerap kita jumpai sehari-hari.
Pria yang bergelar Licentiate ini dalam bukunya berusaha meluruskan pemikiran melenceng para pemikir dalam berdiskusi untuk menggali kebenaran.
Buku ilmiah ini secara spesifik mengajarkan para pembaca untuk kritis dalam membangun argumen dan menbantahnya. Penulis secara tersirat membagi pembahasan dalam tiga topik: Pertama, lebih kepada penjelasan argumen, trik, dan cara penentuan salah benar suatu argumen. Pada topik kedua secara khusus ia menuturkan contoh-contoh dalam beragumen dan cara membantahnya. Selanjutnya, topik ketiga mendikte para pembaca pada konsep kaidah pengembangan dalam berpikir dan kekeliruan argumen beserta contoh yang mudah dicerna oleh semua kalangan pelajar.
Untuk menunjang pemahaman pembaca terhadap setiap sub dan istilah ‘keren’ yang digunakan dalam buku debat ini, penulis memaparkan kaidah global terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan penyajian beberapa contoh kaidah yang bersangkutan.
Baca Juga; Liberalisme di Sekitar Kita
Uraian di muka misalnya, itu adalah hasil pemikiran Mun’im A. Sirry yang di kutip sebagai contoh. kemudian, Muhammad Nuruddin membuat sub judul lain untuk menanggapi logika Mun’im secara gamblang. kesimpulan jawaban, kesalahan yang dialami oleh Mun’im adalah spotlight fallacy atau kekeliruan sorotan. Simpelnya, Mun’im terburu-buru dalam menyimpulkan pernyataan yang ada dan tidak berusaha memahami teologi Islam dengan mudah. Malah, ia lebih condong untuk memukul rata dua teologi yang belum ia pahami.
Misal, ada seorang pria bernama Fathur, orang-orang mengenalnya sebagai pribadi yang cerdas, tampan, lagi dermawan. Pertanyaannya, apakah sifat sifat yang ia miliki dapat mempengarui kesatuan seorang Fathur? Apakah esensi sifat tampan yang ia miliki adalah seorang Fathur? Pastinya tidak, karena tadi telah dinyatakan bahwa Fathur hanya satu. namun mempunyai banyak sifat dan sifat itu tidak membikin Fathur bertambah dengan bertambahnya sifat. Pula, sifat-sifat tersebut bukan Fathur karena kecerdasan, misalnya. Hanya salah satu dari sifat yang ia miliki; sifat itu milik Fathur tapi bukan esensi Fathur.
Namun, di samping kesempurnaan pada penataan konten buku, penulis terkesan hanya ingin mendikte istilah-istilah ilmiah dalam berargumen tanpa menyebutkan definisi secara jelas dan terang. Hingga terkadang pembaca sedikit kesulitan dalam memahami contoh pada kaidah-kaidah yang ada.
Ahmad Kholil | Annajahsidogiri.id