Dalam memahami al-Quran, Wahabi tekenal sebagai kaum tekstualis karena memahami al-Quran secara langsung dan rentan terjebak ke dalam ajaran tasybih dan tajsîm. Hal ini dapat membahayakan bagi para pengkaji tafsir, karena dengan pengetahuan minim mereka tentang tafsir-tafsir Wahabi, secara perlahan akan terpengaruh. Dan pada akhirnya juga akan terjebak ke dalam ajaran tajsim sebagaimana orang Wahabi. Lalu bagaimana kita atasi hal ini? simak wawancara Abrari Ahmadi dan Achmad Arief dari AnnajahSidogiri.id dengan KH. Dr. M. Afifuddin Dimyathi, salah satu pakar Tafsir dan Katib Syuriah PBNU asal Jombang.
Bisa tolong Anda jelaskan kekakuan orang Wahabi memahami al-Quran?
Jadi begini, yang membedakan Wahabi dengan kita adalah pandangan mereka tentang hakikat dan majaz pada ayat-ayat sifat. Umumnya (Wahabi) mengatakan ayat-ayat sifat itu hakiki. يد الله, ya tangan Allah. استوى, ya bersemayam. Jadi استوى seperti itu maknanya menurut bahasa, karena mereka tekstualis. Nah kemudian, tafsir metode bir-ra’yi kan sebenarnya adalah pemahaman salafus shalih, dulu mereka tidak menafsirkan. Mereka menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Tetapi Wahabi, mereka menafsirkannya yang sama dengan sifat manusia. Ini masalahnya di situ. Jadi يد الله ya tangan Allah. Kalau dulu يد الله wallâhu a’lam. (Ulama) salaf yang dulu seperti itu. Itu dulu. Tapi sekarang ditafsirkan dengan sifat manusia. Ini yang menjadi problem. Nah, Ahlussunnah (Asy’ariyah), mereka menakwil baik takwil ijmali maupun tafshili, menakwil استوى dengan استولى, يد الله bermakna qudrat. Mereka (Wahabi) menolak takwil.
Contoh karya-karya tafsir mereka (Wahabi), Kiai?
Ada beberapa tafsir yang menjadi rujukan Wahabi. Seperti Bada’iut Tafsir Li Tafsiir ibnil Qoyyim al Jauziyyah, atau kumpulan tafsir Ibnu Taimiyah yang berjudul Tafsiir Syaikhil Islam Ibn Taimiyyah, atau yang dikarang di era sekarang seperti at-Tadabbur wal Bayân Fî Tafsîr al-Qur’ân bi Shahihis Sunan, karya Muhammad bin Abdurrahman al-Maghrawi yang berasal dari Maroko. Inilah yang dijadikan acuan oleh orang-orang Wahabi. Tafsir-tafsir ini berusaha membantah dan mengkritik ulama-ulama yang menakwil ayat-ayat sifat.
Baca Juga: Sikap Ulama Ahlusunah Terhadap Ayat Mutasyabihat
Kalau kita, Ahlussunnah wal Jamaah biasanya menakwil, baik takwil ijmali dengan cara mengimaninya dan serta meyakini bahwa maknanya bukan sifat-sifat jismiyah, tetapi memiliki makna yang layak bagi Allah, atau takwil tafshili dengan cara misalnya menakwil يد الله dengan makna kekuasaan, menakwil عين dengan makna penjagaan dan pengawasan dll. Nah jika ada pertanyaan, mana yang benar? Maka jawabannya subjektif. Kita pasti menganggap menafsirkan sesuai dengan sifat manusia itu bahaya, karena tajsîm. Sedangkan menurut Wahabi takwil tidak ada, dan jika Allah menggunakan sebuah kata di dalam menjelaskan sifat-sifat-Nya, ya itulah maknanya. Salah satu contoh hujjah yang mereka andalkan adalah, apakah dalam syair Arab ada يد bermakna menguasai. Nah, tantangannya begitu. Mereka bilang, kalau tidak ada, kenapa kita tafsirkan dengan ‘menguasai’?. Mereka menganggap, al-Quran adalah bahasa Arab. Dan bahasa Arab al-Quran itu bahasa Arab Jahiliah. Maka, makna al-Quran harus ada pada zaman itu. Sehingga, jika Ahlussunnah Asy’ariyyah mengatakan استوى bermakna menguasai, mereka mempertanyakan itu ada atau tidak dalam syair-syair Arab terdahulu. Oleh karena itu, biasanya mereka memaknai itu dengan bersemayam sebagaimana maknanya dalam bahasa.
Jadi sebenarnya, perbedaan mendasarnya adalah mereka menolak takwil pada ayat-ayat sifat. Semuanya hakiki, tidak ada yang majazi. Beda dengan kita.
Kebenaran yang bersifat subjektif. Bisa Anda jelaskan lagi, Kiai?
Pembahasan subjektif sebenarnya agak rawan disampaikan. Tetapi, selama itu masih tafsir, kita kan tidak tahu murâd Allah bagaimana. Kita tidak bisa memastikan. Maka, tafsir-tafsir masih bersifat insâni atau basyari. Kalau masih manusiawi, pasti mengandung salah atau benar. Tapi, kita sebagai pemeluk agama dengan keyakinan atau akidah yang kuat tetap harus meyakini bahwa yang kita yakini itu benar. Yang penting terlebih dahulu di situ.
Tetapi di sisi lain, kita tetap menghargai ada aliran Salafi-Wahabi yang berkata pada kita, yang benar tidak seperti itu. Nah, itu kita hargai. Maksud saya subjektif tadi adalah kita tetap menganggap kita ini benar. Tapi kita harus mengetahui bahwa ada orang lain yang berbeda dengan kita. Sehingga di situ muncul toleransi. Apakah boleh menyalahkan? Boleh. Menyalahkan itu biasa. Dengan menyalahkan, kita menganggap pendapat kita ini yang lebih benar. Jadi budaya saling menyalahkan (membenarkan kesalahan) itu ada di kalangan ulama. Menganggap itu menyimpang, sesat, itu wajar sekali.
Jadi kita juga harus bertoleransi kepada sesama sekte?
Ya, harus. Jadi prinsip kita, Lâ nukaffir ahlal-Qiblah. kita tidak boleh mengkafirkan ahli kiblat. Selama menyembah kepada Allah, sholat menghadap qiblat, dia sudah muslim. Masalah keyakinan yang berbeda-beda, penafsiran yang berbeda-beda, itulah lahan furuiyah yang memang pasti ada dalam kehidupan. Jadi kami diajarkan guru-guru kami, kami tidak boleh mengkafirkan ahli kiblat. Saya yakin kalangan Nahdliyin atau Ahlussunnah wal Jamaah yang moderat di Indonesia akan begitu. Tidak mudah mengkafirkan orang.
Kalau mereka yang mengkafirkan kita, bagaimana, Kiai?
Kalau kita dikafirkan, kita kembali bagaimana sabda Nabi SAW kalau ada yang mengkafirkan, maka jika tuduhannya tidak benar, akan kembali ke penuduhnya. Artinya kalau kita dikafirkan orang kita tidak perlu membalas. Sudahlah yang penting saya menganggap yang saya pegang ini adalah benar. Andai kita dianggap kafir, ya, tinggal syahadat lalu shalat. Saya kira itu tidak terlalu bermasalah.
Memang dari dulu takfiri itu ada. Kan, ada Khawarij. Kita meniru bagaimana interaksi salafuna kepada Khawarij itu. Bisa hidup bersama-bersama dengan mereka. Seninya hidup, lah, menurut saya. Ada orang yang keras, ada orang yang lunak dan liberal. Nah, apakah liberal kafir? Selama dia tetap shalat menghadap ke qiblat, tuhannya adalah Allah, maka kita harus berhati-hati menuduhnya kafir. Tidak usah terlalu antipati dengan perbedaan. Hanya saja kita sebagai kaum moderat harus mengetahui perbedaan liberal, perbedaan radikal bagaimana, dan yang moderat bagaimana. Sehingga kita tidak mudah ikut aliran-aliran yang tidak benar.
Pesan Anda kepada pengkaji-pengkaji tafsir?
Pertama, untuk kepentingan pribadi kita sendiri, kita harus memperbanyak membaca tafsir-tafsir yang berbasis bil Ma’tsûr. Meskipun tidak semua hadis dalam tafsir bil Ma’tsûr itu sahih, tapi ini akan membantu kita mengetahui bagaimana pendapat para sahabat, para tabiin, para tabiit tabiin tentang makna al-Quran. Jadi kita memperkuat tafsir bil Ma’tsûr terlebih dahulu.
Yang kedua, kita jadikan kitab-kitab yang mu’tamad, yang tepercaya itu sebagai acuan dasar kita belajar tafsir. Kan tidak mungkin tafsir kita pelajari semua. Kita pilih tafsir yang mu’tabar di kalangan kita dulu. Misalkan tentang ilmu Kalam, ada Tafsîr Mafâtihul -Ghaib. Kalau yang bil Ma’tsûr yang sering kita pakai adalah Tafsîr Ibn Katsîr. Kemudian di bidang fikih ada Ahkâmul-Qur’ân, al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân. Kita punya kitab-kitab pegangan seperti itu. Untuk apa? Itu untuk memberi kesan pertama terhadap pemahaman al-Quran. Oh, begini. Seperti ini.
Yang ketiga, kita harus mengenal tafsir-tafsir non-sunni. Biar kalau kita baca tidak langsung terpengaruh. Kita ketahui tafsir Syiah itu al-Mîzân, Majmû’ul-Bayân, as-Shâfî, dan buku tafsir Syiah apa saja. Itu harus kita tahu. Sehingga kalau kita baca tafsir itu kita waspada. Apapun yang disampaikan itu kita harus langsung kritis. Ini tafsir sekuler. Kan ada tafsir-tafsir yang dikarang orang liberal. Jadi kita baca itu tidak langsung terpengaruh. Kita membacanya sebagai kritikus. Nah, ini diantara langkah-langkah kita memperkuat wawasan tafsir kita. Kalau tidak begitu nanti bisa terpengaruh karena kehebatan, atau mungkin kita terpesona dengan kajian-kajian mereka. Akhirnya terpengaruh. Yang terpenting lagi adalah perangkatnya kita kuasai. Perangkatnya itu, ya, bisa ilmu bahasa, nahwu-saraf-balaghah, ulumul qur’an, kemudian usul fikih, ushuluddin dll. Awal mula belajar al-Quran, harus tahu itu. Sehingga semisal kita ingin menafsirkan al Qur’an bir-ra’yi itu kita tidak akan berpendapat terlalu jauh, karena ada koridornya, ada batasannya.