Sahabat setia #SerialAkidahAwam, kali ini saya akan membahas mengenai sifat baka. Hal ini masih dalam satu nazam, yang berbunyi:
فَـاللهُ مَـوْجُـوْدٌ قَـدِيْمٌ بَاقِـي ۞ مُخَـالِـفٌ لِلْـخَـلْقِ بِاْلإِطْـلاَقِ
“Allah itu wajib ada, kidam, baka, serta berbeda dengan makhluk secara mutlak”
Dengan nazam ini, nazim hendak memberitahukan bahwa akal tidak menerima, bila keberadaan Allah berakhir. Karena dengan Allah wajib kidam, berarti Allah mustahil tiada, baik pada awalnya atau akhirnya. Lebih tepatnya, keberadaan Allah pasti tidak berawal, juga tidak berakhir.
Mengenai hal ini Allah berfirman:
هُوَ ٱلْأَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS. Al-Hadid [57]:3)
Allah berfirman al-awwal dan al-akhir, kenapa Aswaja bilang Allah tidak berawal dan tidak berakhir? Bukannya ini menyalahi dari standar yang ditetapkan Allah?
Pertanyaan seperti ini biasa muncul dari mereka yang malas berpikir. Andai mereka berpikir, bahwa bila Allah Maha Awal, berarti merupakan awal dari segalanya/selain-Nya, tidak ada yang lebih awal dari Allah. Termasuk ketiadaan. Karena bila keberadaan Allah diawali ketiadaaan, berarti Allah tidak awal dari segalanya, alias masih lebih awal ketiadaan daripada Allah.
Begitupula Allah Maha Akhir. Bukan berarti keberadaan Allah berakhir. Jika keberadaan Allah berakhir, berarti Allah bukan Zat Paling Akhir. Karena masih lebih akhir ketiadaan, daripada zat Allah sendiri.
Selain Allah bagaimana?
Segala sesuatu selain Allah dinamakan alam. Alam ini sendiri sesuatu yang baru; menerima ketiadaan. Segala sesuatu selain Allah keberadaannya jaiz, tidak “wajib”. Ketiadannya pun juga jaiz, tidak “wajib”.
Apakah surga dan neraka abadi?
Pada dasarnya, secara akal hanya Allah yang wajib abadi. Selain Allah sah-sah saja bila berakhir. Hanya saja Allah sudah mengabarkan bahwa surga dan neraka itu abadi. Kabar Allah mustahil salah, sebab cocok dengan ilmu-Nya yang mustahil salah.
Syekh Abdullah al-Harrari dalam Syarhul-Qawîm (137) menjelaskan bahwa surga dan neraka tidak baka dengan sendirinya, melainkan itu hanya kehendak Allah. Surga dan neraka jaiz kekal, tidak wajib. Berbeda dengan sifat baka Allah. Allah “wajib” kekal, sedangkan surga dan neraka tidak. Beliau menjelaskan:
اِنَّمَا البَقَاءُ الَّذِى يَكُوْنُ لِبَعْضِ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى كَالجَنَّةِ وَالنَّارِ الثَّابِتِ بِاْلاِجْمَاعِ فَهُوَ لَيْسَ بَقَاءً ذَاتِيًا لِاَنًّ الجَنَّةِ وَالنَّارِ حَادِثَتَانِ وَالحَادِثُ لَا يَكُوْنُ بَاقِيًا لِذَاتِهِ بَقَاءَ الجَنَّةِ وَالنَّارِلَيْسَ بِذَاتَيْهِمَا بَلْ لِاَنًّ اللهَ تَعَالَى شَاءَ لَهًمَا البَقَاءَ فَالجَنَّةِ بِاعْتِبَارِ ذَاتِهَا وَالنَّارِ بِاعْتِبَارِ ذَاتِهَا يَجُوْزُ عَلَيْهِمَا الفَنَاءِ عَقْلًا لِكَوْنِهِمَا حَادِثَتَيْنِ
“Sifat baka yang menetap di sebagian makhluk Allah seperti surga dan neraka yang kekal berdasarkan ijmak itu bukan baka dengan sendirinya. Karena surga dan neraka itu perkara baru. Mustahil perkara baru bisa kekal dengan sendirinya. Keduanya hanya dikekalkan atas kehendak Allah. Surga dan neraka meninjau zat keduanya itu boleh saja rusak secara akal.”
Syarhul-Qawîm (137)
Lebih jelas dari itu, Imam al-Baijuri menjelaskan dalam Tuhfatul-Murîd (37) menjelaskan:
وَنَعِيْمُ الجَنَّةِ وَعَذَابُ النَّارِ لَهُ أَوَّلٌ وَلَا آخِرَلَهُ فَكُلٌّ مِنْهُمَا بَاقٍ لَكِنَّ شَرْعًا لَا عَقْلًا لِأَنَّ العَقْلَ يُجَوِّزُ عَدَمَهُمَا
“Nikmat surga dan siksa neraka memiliki awal, tetapi tidak berakhir. Keduanya kekal berdasarkan syariat bukan akal. Karena akal membenarkan bila keduanya dianggap tiada (tidak kekal)”.
Tuhfatul-Murîd (37)
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id