Al-Qur’an adalah kitab suci yang diperuntukkan bagi manusia sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan; di dunia maupun di akhirat. Keautentikan al-Quran harus sangat dijaga penuh, termasuk metodologi dalam menafsirinya. Tidak sembarang orang bisa melakukan penafsiran, kecuali jika ia sudah memiliki kriteria dan memenuhi syarat menjadi mufasir. Selanjutnya, kajian al-Qur’an mengalami perkembangan yang dinamis seiring dengan perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir mulai zaman klasik sampai kontemporer dengan metode dan corak yang cenderung berbeda.
Sementara, kita mulai dihadapkan dengan konsep hermeneutika yang mulai berkembang di zaman sekarang. Teori penafsiran yang telah mapan selama berabad-abad justru berusaha dirusak oleh para intelektual dan orientalis negara seberang, serta selalu diorasikan bukan hanya dari kalangan non-muslim, bahkan para pemikir Islam moderenis, seperti Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Muhamad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid dan lain-lain, melalui pendekatan tafsir hermeneutika ini.
Nah, di sini kami berusaha membandingkan, apakah hermeneutika yang berusaha diusung oleh liberal layak disejajarkan dengan tafsir ala ulama dalam memahami al-Qur’an? Agar lebih sistematis, kami akan menyediakan perbandingan ini dengan bentuk poin-poin berikut:
Problem Sejarah
Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Dalam metodologi Yunani, kata ini sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes; seorang utusan yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus.
Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalih bahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Pengalih bahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran. Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
Dalam sejarahnya, makna hermeneutika telah mengalami perubahan dari pengertian bahasa semata menjadi istilah yang memiliki makna tersendiri. Oleh karena itu, sebelum kita menelaah lebih jauh tentang hermeneutika al-Quran, alangkah baiknya kita mengulas terlebih dahulu perbedaan arti bahasa dan istilah hermenutika itu sendiri.
Kita ambil satu sampel contoh! Aristotle, tatkala menggunakan perkataan hermeneias, tidak bermaksud mengemukakan arti istilah seperti yang berkembang di zaman modern saat ini. Hermeneias yang dia kemukakan dalam karyanya Kategoriai, sekadar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran, dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda, kata kerja, kalimat, ungkapan, dan lain-lain yang berkait dengan tata bahasa. Ketika Aristotle membicarakan hermeneias, dia tidak mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks. Jadi topik yang dibahas oleh Aristotle adalah mengenai bidang interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu.
Kemudian perubahan ini dimulai saat usaha para ahli teolog Yahudi dan Kristen untuk memahami dan mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka.
Mengapa harus dengan hermeneutika itu para teolog tersebut untuk mencari kebenaran dalam kitab suci mereka? Jawabannya, sebab mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks suci mereka. Mereka masih mempertanyakan apakah secara harfiyah Bible itu kalam Tuhan atau bukan. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan gaya dan kosa kata yang ditemukan pada pelbagai pengarang bible. Adanya perbedaan itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam Tuhan. Oleh sebab itu, para teolog Kristen memerlukan hermeneutika untuk memahami Kalam Tuhan yang sebenarnya.
Mereka hampir bersepakat, bahwa Bible secara harfiyahnya bukanlah Kalam Tuhan. Keadaan ini berbeda dengan kaum muslimin, yang telah bersepakat bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah.
Problem Bahasa
Perbedaan selanjutnya adalah dalam penulisan bahasa Bible yang bukan lagi dengan bahasa aslinya. bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk perjanjian lama, sedangkan untuk perjanjian baru menggunakan bahasa Greek. Kemudian Bahasa Bible berusaha diterjemahkan keseluruhannya menggunakana bahasa latin, serta bahasa-bahasa eropa yang lain seperti Perancis, Inggris dan lain-lain. Indonesia juga mempunyai terjemahan Bible yang banyak mengambil dari Bible bahasa Inggris. Sedangkan, untuk saat ini sulit menemukan penutur asli yang bisa bahasa Hebrew kuno. Maka wajarlah, para teolog Yahudi dan Nasrani mencari jalan dalam memahami Bible melalui hermeneutika.
Sementara, al-Quran tidak pernah mengalami masalah secara lingusitik. Sejak diturunkannya al-Quran kepada nabi Muhammad hingga sekarang, bahasa yang dipakai adalah bahasa Arab. Dan penutur asli Arab pun banyak kita temukan di negara-negara timur tengah. Dan juga, upaya kodifikasi al-Quran yang dilakukan Sayidina Usman sangat berpengaruh pula. Riwayat Ibnu Jarir menunjukkan betapa banyaknya sahabat yang mengalami keresahan yang sama di mana banyak masyarakat membaca Al-Qur’an dengan berbagai versi dan bahkan sebagian membaca dengan salah. Atas usaha beliau, umat Islam hanya mengkiblat terhadap satu mushaf yang biasa kita baca setiap hari.
Sumber Referensi
Hermeneutika dibangun atas dasar relativisme, artinya sumber epistemologinya dari akal semata-mata yang memuat dzan (dugaan), syak (keraguan), mirâ` (asumsi). Maka, tak jarang ditemukan hasil dari hermeneutika jika diaplikasikan dalam al-Qur’an akan menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran al-Qur’an itu relatif. Berbeda dengan tafsir yang memiliki konsep jelas dalam Islam. Sumber epistemologinya pun adalah wahyu al-Qur’an. Karena itu, tafsir terikat dengan apa yang telah disampaikan, diterangkan, dan dijelaskan oleh Rasulullah. Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 44:
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan Kami turunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”.
Tatkala di antara shahabat ada yang berselisih atau tidak mengerti terhadap maksud dari salah satu ayat dari al-Qur’an, mereka akan langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Akal tidak dibiarkan lepas landas, sebagaimana yang terjadi di dalam hermeneutika. Akal yang liberal tanpa ikatan, akan dengan mudah menyalahtafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Pasca Rasulullah wafat, para shahabat sangat berhati-hati dalam menafsiri al-Qur’an. Mereka tetap berpegang teguh terhadap apa yang telah disampaikan Rasulullah dalam menafsiri al-Qur’an. Apabila sekiranya tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan hadis, maka para shahabat akan berijtihad. Di era tabi’in, ilmu tafsir masih belum terbentuk disiplin ilmu tersendiri. Tafsir masih merupakan bagian dari hadis. Ini menunjukkan sangat jelas bahwa tafsir al-Qur’an tidak semena-mena.
Barulah pada abad ke empat, Imam Ibnu Jarir ath-Thabari mengarang kitab Jami’ul-Bayan ‘an Takwilil-Quran. Ath-Thabari menggunakan pendekatan sistem isnad untuk menafsiri al-Qur’an. Barulah, pasca ath-Thabari ini, banyak diikuti oleh para mufasir yang lain. Menjadi seorang mufasir pun tidak semudah yang kita kira. Banyak kriteria dan syarat yang harus dipenuhi. Seperti, menguasai ilmu sorof, nahwu, qiro’ah, ushuluddin, ushul al-fiqh, asbab al-nuzul dan lain sebagainya. Sementara hermeneutika muncul dalam konteks peradapan Barat, didominasi oleh ilmu skeptis. Oleh karenanya, konsep yang berusaha diberikan terus-menerus mengalami perubahan dan perbedaan. Karena itu, konsep dan teorinya tidak jelas sebagaimana penggunaan tafsir yang selalu terkait dengan al-Qur’an dan Hadis.
Sebagai penutup, hermeneutika sangat tidak layak disamakan dengan tafsir al-Qur’an dengan berbagai macam perbandingan di atas. Allah pula menjamin akan terus memelihara al-Qur’an melalui firman-Nya dalam surah al-Hijr ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hirj [15]:9)
Mohammad Iklil | Annajahsidogiri.ID