Beberapa waktu lalu, sebuah kanal Youtube bernama Arek Ngaji memosting video seorang ustaz bernama Farhan Abu Furaihan. Dalam video tersebut, Ustaz Farhan menjelaskan bahwa bidah hasanah tidak ada. Adapun inisiatif shahabat Umar dalam mengumpulkan jamaah tarawih dan kodifikasi mushaf oleh Khalifah Utsman merupakan kekhususan bagi mereka, karena mereka termasuk Khulafaur-Rasyidun. Hal mana Rasulullah memerintah kita untuk mengikuti mereka.
Adapun bidah dari selain mereka itu terlarang. Ustaz Farhan Abu Furaihan juga menjelaskan bahwa segala hal yag tidak dilakukan pada masa Nabi merupakan bidah tercela meski tidak ada larangan dari Nabi, ia mencontohkan dengan shalat subuh empat rakaat, meski Rasulullah tidak melarang shalat subuh empat rakaat, tetapi hal tersebut dilarang dalam agama.
Tanggapan
Sebenarnya Farhan Abu Furaihan tidak konsisten dengan pandapatnya bahwa tidak ada praktik bidah hasanah dalam Islam, karena yang dimaksud bidah sendiri adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai pada Rasulullah sebagaimana yang dijelaskan oleh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam dalam kitabnya Qawaidul-Ahkam fi Mashalihil-Anam. Jika memang semua bidah adalah tercela dengan dalil kutipan hadis nabi:
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Setiap bidah adalah kesesatan.” (Sahih Muslim. No. 867).
Seharusnya bidah yang Sayidina Umar lalukan juga disesatkan, karena hal tersebut termasuk dalam cakupan bidah. Beliau sendiri bahkan mengakuinya bahwa kebijakannya mengumpulkan shalat tarawih berjamaah adalah sebaik-baik bidah. Pernyataan Khalifah Umar tersebut bukan malah mengkhususkan bidah hanya boleh dilakukan oleh beliau. Melainkan memberi isyarat bahwa tidak semua bidah itu tercela. Kita bisa melihat kebijakan-kebijakan pada masa setelah beliau seperti Umar bin Abdul Aziz yang pertama kali membukukan hadis. Pembukuan hadis dan ilmu tidak pernah pernah ada pada masa Rasulullah ataupun para shahabat, tetapi Umar bin Abdul Aziz melakukannya karena ada maslahat yang menuntut, yaitu menjaga hadis agar tidak hilang. Bidah pembukuan hadis bahkan juga diamalkan oleh banyak ulama Wahabi yang katanya anti bidah, meskipun tidak pernah ada pada masa Nabi ﷺ ataupun Khulafaur-Rasyidun.
Baca artikel lainnya tentang Wahabi klink
Adanya bidah hasanah juga sudah diamini oleh mayoritas ulama dari dulu hingga sekarang. Selagi bidah itu tidak menyalahi kandungan al-Qur’an dan hadis serta memiliki nilai maslahah dan kebaikan maka itu terpuji, Sebagaimana pendapat Imam Syafi’i yang diriwayatkan al-Baihaqi:
وقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ” وَهُوَ مِنَ العَامِّ الذِّي أُرِيْدَ بِهِ الخَاصُّ بَدَلِيْلِ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المخرج في “الصحيح”: “مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ”. وَقَدْ ثَبَتَ عَنِ الإِمَامِ الشَّافِعِيِّ قَوْله: المُحْدَثاَتُ مِنَ الأُمُوْرِ ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًاً أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًاً أَوْ إِجْمَاعاً، فَهَذِهِ البِدْعَةُ الضَلاَلَةُ. وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَ خِلَافَ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا، فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. رواه البيهقي في “المدخل”
“Ucapan Rasulullah SAW ‘Setiap bidah itu sesat’ secara bahasa berbentuk umum, tetapi maksudnya khusus seperti keterangan hadis Rasulullah yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, ‘Barang siapa yang mengada-ada di dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka tertolak’. Riwayat kuat menyebutkan bahwa Imam Syafii berkata, ‘Perkara yang diada-adakan (bidah) terbagi dua. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, sunah Rasul, pandangan sahabat, atau kesepakatan ulama, ini yang dimaksud bidah sesat. Kedua, perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut, merupakan bidah yang tidak tercela’,” (al-Baihaqi dalam al-Madkhal, Halaman 206).
Baca Juga: Bidah Hasanah dan Sahabat Nabi SAW
Imam al-Ghazali dalam Ihya-Ulumiddin menyampaikan bahwa tidak semua bidah tercela:
لَيْسَ كُلُّ مَا اُبْدِعَ مَنْهِيَّا عَنْهُ بَلْ المَنْهِيُ عَنْهُ بِدْعَةٌ تَضَادُ سُنَّةً ثَابِتَةً وَتَرْفَعُ اَمْرًا مِنْ الشَرْعِ
“Tidak semua hal baru itu dilarang, yang dilarang itu bidah yang menyalahi sunah dan perintah syara.”
Ibnu Hajar al-Asqalani juga mengatakan dalam kitab Fathul Bari (2/ 394) bahwa bidah hasanah itu ada:
وَكُلُّ مَا لَمْ يَكُنْ فِي زَمَنِهِ يُسَمَّى بِدْعَةً لَكِنْ مِنْهَا مَا يَكُوْنُ حَسَنًا وَمِنْهَا مَا يَكُوْنُ بِخِلَافِ ذَلِكَ“
“Dan setiap yang tidak ada pada zaman nabi, disebut sebagai bidah. Akan tetapi, bidah ada yang hasan (baik) dan ada juga sebaliknya (tidak baik)”.
Masih banyak pendapat dan penjelasan ulama yang secara eksplisit mendukung adanya bidah hasanah dan itu tidak khusus pada para sahabat. Selagi hal baru tersebut tidak bertentangan dengan kandungan kitab suci dan sunah serta memiliki maslahah maka tidak apa-apa dilakukan. Jika sekelas Imam Syafii yang sudah mencapai derajat mujtahid mutlak dan hafal puluhan ribu hadis mengakui adanya bidah hasanah, lalu pantaskah kita menentangnya hanya karena mengikuti pendapat Ustaz Farhan Abu Furaihan, yang bahkan seribu hadis pun tidak hafal.
Adapun hal yang tidak penah Nabi Muhammad larang dan perintah adalah larangan dengan pengumpamaan shalat subuh empat rakaat, itu merupakan perumpamaan yang keliru. Karena shalat subuh yang dilakukan Rasulullah selalu dua rakaat, dan kita diperintah mengikuti Nabi dalam shalat. Jika kita salat subuh lebih dari dua rakaat berarti telah menyalahi perintah Nabi, jelas itu terlarang. Adapun bermaulid, pernahkah Rasulullah melarang ataupun memerintahkan untuk meninggalkannya? Justru pada maulid ada pembacaan shalawat yang sudah al-Qur’an dan hadis perintahkan. Bagaimana Ustaz Farhan Abu Furaihan, sudah cukup?
Muhammad Nuruddin | annajahsidogiri.id