Dua imam agung yang berhasil merumuskan akidah Ahlussunnah wal jamâ‘ah secara komprehensif beserta hujah aqlinya dan naqlinya, yang telah berjuang dalam meng-counter aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran yang benar. Beliau adalah al-Imâm Abû al-Hasan Alî bin Ismâil al-Asy‘ari dan al-Imâm Abû Manshûr Muhammad bin Muhammad al-Mâtûridi.
Pada dasarnya, nilai-nilai pokok ajaran al-Imam Asy´ari dan al-Imam Maturidi telah menyentuh kata sepakat tanpa perbedaan. Hanya saja, sebagai sebuah keniscayaan jika terdapat beberapa permasalahan (cabang) dalam ajaran (akidah) yang diperselisihkan antara keduanya.
Diantara kitab yang secara khusus membicarakan perselisihan tersebut adalah kitab yang bertajuk “Ar-Raudlah al-Bahiyyah fîmâ baina al-Asya‘irah wa al-Mâturîdiyyah:” karya al-Imam Abi Adzabah.
Tentang pengarang kitab
Nama beliau adalah Hasan bin ‘Abdul Muhsin yang dikenal dengan nama Abu ‘Adzabah. Beliau memiliki beberapa karangan. Diantara karangannya adalah kitab ini, kitab Bahjatu Ahli as-Sunnah, dan kitab al-Mathâli as-Sa’îdah.[1]
Sedikit sekali data biografi beliau yang tersedia, tahun kelahiran beliau sampai saat ini masih belum terdeteksi secara pasti, bahkan tentang tahun wafatnya juga belum ada naskah dari kitab sejarah yang memastikannya. Akan tetapi seakan akan naskah-naskah kitab itu sepakat bahwa Musanif wafat setelah tahun 1172 H. Yakni tahun sempurnanya pengarangan kitab ar-Raudlah al-Bahiyyah.[2]
Kerangka kitab
Di bagian awal kitab ini dijelaskan bahwa Abu ‘Adzabah menyusunnya dengan muqaddimah, dua fasl, dan penutup.
Pada muqaddimah, beliau menbicarakan ajaran akidah yang dinisbatkan ke al-Imam Asy´ari dan al-Imam Maturidi dan daerah perkembangan para pengikutnya. Serta menyebutkan kitab-kitab al-Imam Asy´ari dan al-Imam Maturidi yang menjadi rujukan.
Pada fasl pertama, beliau menyebutkan khilaf lafdzi (perbedaan seputar teks bukan subtansi) yang terjadi di antara dua Imam. Terdapat tujuh sub judul dengan rincian sebagaimana berikut;
Pertama, mengenai istitsna` dalam iman
Kedua, tentang apakah orang yang beruntung (sa´îd) bisa celaka (syaqi) atau tidak dan juga sebaliknya.
Ketiga, apakah orang kafir mendapat nikmat atau tidak.
Keempat, apakah para nabi setelah wafatnya tetap memiliki ar-risalah an-nubuwah atau tidak (masih menjadi nabi atau sudah hilang kenabiannya).
Kelima, tentang kehendak (irâdah) Allah, apakah berkaitan dengan ridha-Nya atau tidak.
Keenam, perihal iman seorang yang bertaklid.
Ketujuh, apakah seorang hamba memiliki kasb (ikhtiyar/pekerjaan sendiri).
Lalu di fasl selanjutnya, menjelaskan tentang khilaf ma`nawi (khilaf dalam konteks subtansi dan teks), terdapat enam pembahasan dengan rincian sebagaimana berikut :
Pertama, mungkinkah secara akal hamba yang taat akan disiksa meski tidak melakukan dosa.
Kedua, pembahasan shifât al-af’âl, apakah bersiafat qadim (tidak mempunyai permulaan) atau hadits (memiliki permulaan).
Ketiga, apa ´ilat (alasan) makrifat kepada Allah berhukum wajib.
Keempat, mengenai kalamullah yang menetap pada Dzat Allah munkinkah terdengar.
Kelima, munkinkah Allah men-taklif seorang hamba dengan suatu yang tidak ia kuasai.
Keenam, sifat ´ishmah para nabi dari maksiat.
Pada penutup atau khatimah dari kitab ini beliau menyajikan al-ismu wal musammâ, biografi dari al-imam Fakhruddîn ar-Râzî, serta permasalahan mengenai isu iman itu makhluk atau bukan.
Hadziqil Fahimi | AnnajahSidogiri.Id
[1]Al-Baghdâdi, îdlahul maknun, hal.200.
[2] al-Imam Abi ‘Adzabah.Ar-raudlah al-bahiyyah, hal.36.