Salah satu dari enam rukun iman adalah beriman kepada takdir atau Qadha’ dan Qadar Allah. Beriman merupakan ibadah yang paling mudah; cukup dengan meyakini dalam hati, seseorang sudah dianggap memenuhi syarat beriman. Namun, persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana esensi dari beriman kepada takdir Allah? Apa itu Qadha’? Apa itu Qadar? Apakah cukup hanya dengan mempercayai bahwa segala yang terjadi berasal dari Allah? Atau ada hal lain yang perlu diperhatikan? Mari kita telaah esensi tersebut melalui konsep dasar.
Dalam kitab Tuhfatul-Murid ‘ala Jauharah at-Tauhid, dijelaskan perbedaan pandangan antara Imam Asyari dan Imam Maturidi mengenai makna Qadha’ dan Qadar. Bagi Imam Asyari, Qadar adalah tindakan penciptaan Allah terhadap sesuatu berdasarkan kehendak-Nya, sementara Qadha’ adalah kehendak Allah terhadap sesuatu yang bersifat azali. Dengan pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa Qadar mencakup tindakan Allah yang bersifat hadīs(baru), sedangkan Qadha’ melibatkan ketetapan Allah yang bersifat qadim(tidak memiliki permulaan). Sebagai contoh, ketika kita ditakdirkan membaca artikel ini pada hari sabtu misalnya, itu dianggap sebagai Qadha’, mengingat ketetapan Allah yang qadīm bahwa kita akan membaca pada hari sabtu. Sementara itu, perwujudan kita yang sedang membaca pada hari sabtu dianggap sebagai Qadar. Sedangkan pendapat Imam Maturidi dapat dianggap sebaliknya[1].
Baca Juga: Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#1)
Dalam kitab ‘Aunul-Murid syarh Jauharah at-Tauhid, terdapat sebuah kutipan dari seorang ulama yang memberikan ilustrasi menarik mengenai pengertian Qadha’ dan Qadar. Ia menjelaskan bahwa Qadar mirip dengan imajinasi seorang pelukis di dalam hatinya. Ketika sang pelukis mulai menggambar, itulah yang disebut Qadha’. Kemudian, para murid yang belajar darinya dan mencoba menggambar di kertas masing-masing mencerminkan perwujudan dari kasb dan ikhtiyār[2]. Dengan demikian, ilustrasi ini menggambarkan pengertian Qadha’ dan Qadar menurut Imam Maturidi, dan dapat dipahami bahwa Qadha’ dan Qadar menggambarkan suatu konsep di mana Allah sebagai Sang Pelukis menciptakan ketetapan-Nya (Qadar), sementara manusia sebagai murid-Nya memiliki peran dalam merealisasikan dan menjalankan kasb serta ikhtiyār mereka.
Meyakini Qadha’ dan Qadar Allah menurut Imam Asyari berarti memahami bahwa setiap tindakan yang kita lakukan saat ini adalah hasil dari ketetapan-Nya merupakan Qadar, dan kehendak Allah terhadap pekerjaan kita saat ini bersifat azali merupakan Qadha’. Sebaliknya, versi Imam Maturidi memberikan pandangan yang berkebalikan. Dengan demikian, cara beriman kepada Qadha’ dan Qadar mengajarkan kita untuk menyadari bahwa setiap langkah yang diambil merupakan bagian dari rencana Allah yang telah ditetapkan sejak azali, wassalam.
Salman Ar-Ridlo | Annajahsidogiri.id
[1] Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Tuhfatul-Murid ‘ala Jauharah at-Tauhid hal. 188-189, dar as-Salam.
[2] Syaikh Abdul Karim tatan dan Syaikh Muhammad Adib al-Kaylani, ‘Aunul-Murid syarh Jauharah at-Tauhid hal. 604, dar al-basyair