Andai kelompok ‘Anti Maulid’ membawa beragam dalil untuk membangun pendapatnya, tentu perdebatan seputar maulid akan bergizi. Sayangnya, kelompok mereka hanya berkutat pada hadis bid’ah tanpa mau melirik pada nash absah yang lain.
Coba Anda perhatikan logika mereka dalam menolak maulid. “Mengapa kalian merayakan kelahiran Nabi dengan makan bersama? Bukankah Rasulallah tidak pernah melakukan hal itu. Dan bukankah berarti apa yang kalian lakukan bid’ah? Sedangkan semua bid’ah balasannya adalah neraka?
Baca Juga: Komentar Tentang Maulid; dari Imam as-Suyuthi hingga Ibnu Taimiyah
Ya Allah! Betapa amburadulnya dalil yang mereka gunakan. Padahal Nabi sendiri merayakan kelahirannya dengan makan bersama. Tepatnya dengan beraqiqah saat beliau menjadi Nabi. Sedangkan kakek beliau Abdul Muththalib telah melaksanakan aqiqah untuk Rasulullah saat 7 hari setelah kelahirannya.
Pastinya kita tahu bahwa aqiqah adalah perayaan untuk kelahiran. Maka dapat bisa kita simpulkan bahwa Nabi pun merayakan kelahirannya dengan makan bersama. Hal ini telah tersampaikan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Husnul Maqshid fi Amal Maulid
وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهُ عَلَى أَصْلٍ آخَرَ، وَهُوَ مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى اللهُ عليهِ وسلَّم عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ، مَعَ أَنَّهُ قَدْ وَرَدَ أَنَّ جَدَّهُ عَبْدُ المُطَّلِبِ عَقَّ عَنْهُ فِي سَابِعِ وِلَادَتِهِ،
وَالْعَقِيْقَةُ لَا تُعَادُ مَرَّةً ثَانِيَةً فَيُحْمَلُ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ الَّذِي فَعَلَهُ النَّبِيُ صلى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إِظْهَارٌ لِلشُّكْرِ عَلَى إِيْجَادِ اللهِ إِيَّاهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، وَتَشْرِيْعٌ لِأُمَّتِهِ كَمَا كَانَ يُصَلِّي عَلَى نَفْسِهِ، لِذَلِكَ فَيُسْتَحَبُّ لَنَا أَيْضًا إِظْهَارُ الشُّكْرِ بِمَوْلِدِهِ بِالْاِجْتِمَاعِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنْ وُجُوْهِ القُرُبَاتِ وَإِظْهَارُ المَسَرَّاتِ
“Dan sungguh sangat jelas bagiku yang diriwayatkan atas asal yang lain (dari pendapat Imam Ibnu Hajar) yaitu apa yang telah Imam al Baihaqi riwayatkan dari Anas, bahwa sesungguhnya Nabi mengaqiqahkan dirinya sendiri sesudah (masa) kenabian, (padahal) sesungguhnya telah dijelaskan (riwayat) bahwa kakek beliau Abdul Muththalib telah mengaqiqahkan (untuk Nabi) pada hari ketujuh kelahirannya.
Adapun aqiqah tidak ada perulangan dua kali, maka dari itu sungguh apa yang oleh Nabi lakukan adalah tentang (rasa) syukur beliau karena Allah telah mewujudkan (menjadikan) beliau sebagai rahmat bagi semesta alam, dan sebagai landasan bagi umatnya. Oleh karena itu, maka juga boleh (mustahab/patut) bagi kita untuk menanamkan rasa syukur kita atas kelahiran Nabi dengan mengumpulkan kaum muslimin, menyajikan makanan dan semacamnya sebagai perwujudan untuk mendekat (taqarrub) kepada Allah dan menunjukkan kegembiraan (karena kelahiran beliau).”
Baca Juga: Cinta dan Bahagia dalam Maulid Nabi Muhammad
Walhasil, merayakan maulid Nabi sebagai mana yang kita lakukan memang tak ada pada zaman Nabi, tapi sangat dianjurkan untuk melakukannya karena berbagai dalil yang membolehkannya, serta termasuk bid’ah hasanah. Sedangkan hidangan yang kita suguhkan kepada umat Islam yang hadir, merupakan hidangan sebagai ekspresi cinta atas lahirnya manusia paling sempurna.
Fuad Abdul Wafi|Peneliti Annajah Center Sidogiri