Pendapat kedua, yakni syahadat bukan syarat Iman melainkan syatr (bagian dari Iman itu sendiri). Pendapat ini disetujui oleh beberapa ulama besar seperti imam Abu Hanifah dan ulama-ulama dari Asya’irah. Menurut mereka, Iman adalah sebutan bagi perbuatan hati dan lisan yaitu tashdîq dan iqrâr. Tashdîq berarti meyakini dan membenarkan dalam hati, sedangkan iqrâr mengungkapkan keyakinan tersebut melalui lisan.[1]
Berdasarkan pemahaman di atas, akan muncul pertanyaan tentang Imannya orang yang tidak mampu berbicara, padahal Iman dapat ditemukan dalam diri mereka. Sebagai jawaban pertanyaan tersebut, imam Al-Baijuri menuturkan bahwa iqrâr yang berupa kalimat syahadat adalah rukun yang berkemungkinan gugur disebabkan suatu keadaan, seperti dalam kasus di atas.
Adapun tashdîq adalah rukun yang tidak mungkin gugur dalam keadaan apapun. Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa tidak ada Iman tanpa tashdîq, namun Iman masih dapat ditemukan meski tidak ada iqrâr di dalamnya.
Pendapat demikian juga datang dari kalangan Muktazilah. Namun berbeda dengan Ahlusunnah yang menjadikan amal hanya syartul-kamâl (syarat kesempurnaan), mereka menyatakan bahwa Iman adalah kesatuan dari amal, iqrâr dengan syahadat dan i’tiqâd berupa tashdîq dalam hati.
baca juga : Garis Besar Taklid Diranah Akidah
Tiga perkara ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Orang yang meninggalkan amal tidak bisa disebut mukmin, sebab dia kehilangan salah satu bagian dari Iman yaitu amal, tidak pula disebut kafir sebab masih terdapat bagian yang lain seperti tashdîq.
Menurut mereka, orang seperti ini berada di antara mukmin dan kafir, sehingga kekal di neraka, namun siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir.[2] Hal seperti inilah yang dimaksud dengan ideologi Al-Manzilah baina al-Manzilatain yang merupakan salah satu doktrin pokok mereka (Muktazilah).
Amal sebagai buah dari iman
Keimanan akan paripurna ketika dalam diri seseorang tidak hanya terdapat merupakan pembenaran atas keyakinan, syahadat yang merupakan iqrâr atas adanya Iman dan amal yang merupakan bentuk kepatuhan terhadap Allah ﷻ dan Rasul-Nya.
Amal adalah ekspresi nyata dari Iman. Perbuatan baik yang dilakukan sebagai manifestasi dari Iman menunjukkan kesungguhan keyakinan pelakunya. Amal tidak hanya mencerminkan keyakinan seseorang tetapi juga kualitas dari Iman itu sendiri.
Seseorang yang benar-benar beriman akan teguh dan istikamah melakukan segala tuntunan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara Iman dan amal adalah hal fundamental dalam kehidupan seseorang. Iman yang kuat akan memotivasi perbuatan baik, sementara amal yang konsisten akan mencerminkan kedalaman Iman.
Iman adalah makhluk.
Sebagai tambahan, ada keterangan menarik yang disampaikan oleh syaikh Al-Baijuri dalam kitab Tuhfatul Murid, beliau menjelaskan mengenai apakah Iman itu adalah makhluk atau bukan. Beliau berpendapat bahwa Iman itu adalah makhluk.[3]
Makhluk tidak berarti hanya terbatas pada hal yang dapat diindra saja, akan tetapi hal-hal yang samar, gaib dan tidak dapat diindra juga masuk dalam katagori makhluk. Alasan Iman juga disebut makhluk, sebab Iman adalah tashdîq yang berasal dari hati, atau iqrâr yang berasal dari lisan yang mana keduanya adalah makhluk. Wallahu A’lam.
Moch. Muzakki Zen | AnnajahSidogiri.id
[1] Tuhfatul murid syarh jauharut tauhid, Al-Baijuri, hal. 63 cet. Darul Kutub Al-Islamiyah.
[2] Tuhfatul murid syarh jauharut tauhid, Al-Baijuri, hal. 62 cet. Darul Kutub Al-Islamiyah.
[3] Tuhfatul murid syarh jauharut tauhid, Al-Baijuri, hal. 63 cet. Darul Kutub Al-Islamiyah.