Sering kali kita dengar dengungan sekte yang satu ini, tapi kadang kita masih bertanya-tanya, apa dan bagaimana pemikiran Muktazilah sebenarnya? Disini akan diuraikan sekelumit tentang pemikiran sekte Muktazilah. Muktazilah sendiri merupakan kelompok Islam (firqah-islamiyah) yang lahir pada abad ke-2 hijriah, yang sepak terjangnya berlangsung hingga masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah periode pertama. Dalam perjalanannya, Muktazilah kemudian terpecah menjadi dua puluh kelompok, masing-masing kelompok saling bermusuhan atau bahkan mengkafirkan yang lain.[1]
Penamaan sekte ini dengan sebutan Muktazilah, para ulama berbeda pendapat. Satu pihak mengatakan, karena Washil bin ‘Atha’ (tokoh pendiri sekte Muktazilah) dan kawan setianya, ‘Amir bin ‘Ubaid memisahkan diri dari majelis guru mereka, Imam Hasan al-Bashri (tokoh tabiin terkemuka). Mereka berdua memisahkan diri (i’tizal) lantaran tak sepaham dengan guru mereka dalam masalah pelaku dosa besar. Washil menyatakan bahwa pelaku dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir.[2]
Pendapat lain mengatakan, penamaan Muktazilah itu karena pemikiran kelompok ini terpisah dari jalan yang benar sesuai ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jamaah. Muktazilah juga kadang disebut “Qadariah”, karena corak pemikiran mereka selalu menyandarkan kuasa manusia pada kemampuannya sendiri, bukan pada qudratullah. [3]
Dalam sejarahnya, sebenarnya sekte Muktazilah lahir sebagai respon persengketaan antara sekte Khawarij dan sekte Murjiah—keduanya merupakan sekte ekstrim, terkait permasalahan orang mukmin yang suka melakukan dosa besar. Sekte Khawarij berkeyakinan, orang yang mengerjakan dosa besar tidak boleh disebut sebagai mukmin lagi, tapi ia kafir karena dosa-dosanya. Sedangkan sekte Murjiah yakin jika pelaku dosa besar itu tetap dianggap mukmin yang sempurna. Kedua sekte ini plus Muktazilah sendiri, merupakan aliran filsafat yang sering berpikir rasional. Tak heran jika mereka kemudian disebut sebagai aliran rasionalisme.
Diantara keyakinan (aqidah) fatalisme sekte Muktazilah adalah mengingkari sifat-sifat Allah I (shifatullah); meyakini al-Quran sebagai makhluk; dan menyatakan kemustahilan melihat Allah I kelak di akhirat. Disini penulis akan menjelaskan tesis lima inti pemikiran sesat sekte Muktazilah yang terkenal itu, atau yang populer dengan sebutan “Ushulul-Khamsah”.[4]
At-Tauhid (Mengesakan)
Muktazilah beranggapan konsep “at-tauhid” sebagai pemikiran mereka yang paling murni. Lantaran hal inilah mereka mengkultuskan dirinya sebagai “Pembela Tauhid” (ahlut-tauhid). Muktazilah lalu membuat semacam vonis bahwa Allah I tidak mempunyai satupun sifat, sebab Allah I Maha Esa tanpa butuh satu sifat pun. Menurut mereka, bila Allah I memiliki sifat, maka akan berkonskuensi memunculkan dzat baru yang juga kekal (qadim) selain dzat Allah I sendiri.
Sebagai akibat dari penafian sifat Allah I ini, Muktazilah beranggapan bahwa kalamullah bukanlah sifat, melainkan hanya ciptaan atau hal baru yang tak ada sangkut-pautnya dengan dzat Allah I. Menurut keyakinan mereka, kalamullah itu punya bentuk huruf dan suara. Ini menunjukkan bahwa kalamullah itu produk yang diciptakan di satu tempat. Jika kesimpulan ini benar, maka berarti kalamullah itu tidak kekal (qadim), akan tetapi baru (hadis).5
Al-‘Adl (Keadilan)
Yaitu yakin bahwa Allah I wajib berlaku adil. Mustahil Allah I berbuat dzalim pada seluruh hamba-Nya. Menurut sekte Muktazilah, keadilan Allah I itu harus berupa kebaikan atau bahkan lebih dari baik (as-shalah wal ashlah), yang harus diterapkan pada seluruh umat manusia.
Termasuk kewajiban Allah I, menurut muktazilah adalah Allah I tidak boleh memberi beban yang terlalu berat melebihi kemampuan manusia. Allah I wajib mengutus para rasul dan nabi untuk memperbaiki dan mengarahkan manusia di muka bumi ini agar kehidupan mereka baik. Allah I wajib memberikan kekuatan pada manusia, agar mereka bisa berbuat sendiri sesuka hati tanpa harus terhegemoni oleh takdir.
Al-wa’d wal-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Sekte Muktazilah beranggapan, Allah I wajib menepati janji—sebagaimana dalam penjelasan al-Quran, agar memuliakan orang mukmin ke surga-Nya dan menyiksa orang kafir ke neraka-Nya. Meski Allah I kuasa memasukan pendosa besar ke surga dan orang mukmin ke neraka, tapi mustahil Allah I melakukan hal demikian. Sebab jika yang disebut terakhir benar-benar terjadi, maka itu sangat bertentangan dengan konsep keadilan versi mereka.6
Pemahaman ini sangat mirip dengan pandangan bahwa manusia berkuasa penuh untuk mentukan nasib baik dan buruk mereka sendiri. Karena itulah manusia nantinya akan mendapat pahala dan siksa yang sesuai porsi masing-masing di akhirat.
Al-Manzilah bainal-Manzilatain (Bertempat Diantara Dua Opsi)
Ini merupakan ajaran dasar dikalangan Muktazilah. Pemahaman ini timbul setelah kejadian sengketa antara Washil bin ‘Atha’ dengan gurunya, Imam Hasan al-Bashri. Menurut Muktazilah, pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak mukmin, melainkan terkatung-katung diantara keduanya.
Pelaku dosa besar, versi Muktazilah, tidak lagi diberi predikat mukmin karena sudah menyimpang dari ajaran Islam, juga tidak disebut kafir karena mereka masih iman kepada Allah I dan rasul-Nya. Berarti status mereka ada diantara predikat mukmin dan kafir. Nah, posisi inilah yang disebut manzilah bainal-manzilatain.7
Al-Amar bil-Ma’ruf wan-Nahyi ‘anil-Munkar
Dalam hal ini, antara pemikiran Muktazilah dengan Ahlussunah masih ada kesamaan, terkait wajibnya amar-makruf nahi-munkar. Keduanya sama-sama berpendapat fardhu-kifayah. Hanya saja menurut sekte Muktazilah, kemunkaran itu pada awalnya harus dicegah dengan cara yang halus. Namun bila masih tidak mempan, maka harus dengan cara yang keras dan seterusnya.
Pemahaman ini sangat bertentangan dengan Hadis Nabawy yang menjelaskan, bahwa orang yang menemukan kemunkaran maka berkewajiban untuk melakukan pencegahan dengan tangan, bila tidak mampu maka dengan lisan, lalu dengan inkar dihati jika masih tidak bisa.8
Shahibul Ilmi al-Mi’raj/Annajah.co
[1] Imam ‘Adhuddin al-Iji, Al-Mawaqif fi ‘Ilmil-Kalam,,415.
[2] Imam Muhammad Abu Zuhrah, Mukhtashar Tarikhul-Madzahib al-Islamiyah, 124.
[3] Imam ‘Adhuddin al-Iji, Al-Mawaqif fi ‘Ilmil-Kalam, 415.
[4] Firaqul-Mu’asharah Tantashibu ilal-Islam Wabayanul-Mu’aqif, I/562.