مَنْ تَمَتَّعَ مَرَّةً أَمِنَ مِن سُخْطِ الْجَبَّارِ، وَمَنْ تَمَتَّعَ مَرَّتَيْنِ حُشِرَ مَعَ الْأَبْرَارِ، وَمَنْ تَمَتَّعَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ زَاحَمَنِي فِي الْجِنَانِ
“Barang siapa yang melakukan mutah satu kali, maka dia aman dari murka Allah yang Mahakuasa. Dan siapa yang melakukannya dua kali, maka dia akan dikumpulkan bersama orang-orang yang saleh. Sedangkan yang melakukannya tiga kali, maka ia akan berdampingan denganku di surga.”[1]
Kurang lebih begitulah bunyi salah satu hadis yang dijadikan sebagai hujah oleh kaum Syiah dalam menganjurkan nikah mutah. Akan tetapi, sebelum kita lanjut, perlu diketahui bahwa untuk zaman sekarang, ulama Ahlusunah sepakat mengharamkan praktek mutah. Berbeda dengan Syiah. Dalam hal ini mereka bahkan sampai mengkafirkan orang-orang yang mengingkari akan kebolehan nikah mutah.[2]
Namun, di balik itu semua, para tokoh Syiah justru menjadi penentang utama, jika anak perempuan mereka yang dinikahi mutah. Dalam artian, mereka tidak rela, jika ada seorang lelaki datang kepadanya seraya meminta agar mereka mengawinkan anaknya dengan cara mutah.
Berikut kesaksian Sayid Husain al-Musawi, salah satu mantan tokoh Syiah, di dalam kitabnya, Lillâhi Tsumma lit-Târîkh Kasyful-Asrâr wa Tabriatul-Aimmah al-Athhâr, yang ditulis sebelum beliau dibunuh:
جَلَسْتُ مَرَّةً عِنْدَ الْإِمَامِ الْخَوْئِيِّ فِي مَكْتَبِهِ، فَدَخَلَ عَلَيْنَا شَابَّانِ يَبْدُوا أَنَّهُمَا اخْتَلَفَا فِي مَسْأَلَةٍ فَاتَّفَقَا عَلَى سُؤَالِ الْإِمَامِ الْخَوْئِيِّ لِيَدُلَّهُمَا عَلَى الْجَوَابِ.
“Suatu saat saya duduk bersama al-Imam al-Khaui di kantornya. Tiba-tiba masuk kepada kami dua orang laki-laki yang sedang memperdebatkan suatu masalah. Keduanya bersepakat untuk menyakannya kepada al-Imam al-Khaui untuk mendapatkan jawaban darinya”.
فَسَأَلَهُ أَحَدُهُمَا قَائِلاً: سَيِّدُ مَا تَقُولُ فِي الْمُتْعَةِ أَحَلَالٌ هِيَ أُمُّ حَرَامٌ؟
“Salah satu di antara mereka bertanya, ‘Wahai Sayid, apa pendapatmu tentang mutah, apakah halal atau tidak?’.”
نَظَرَ إِلَيْهِ الْإِمَامُ الْخَوْئِيُّ وَقَدْ أَوْجَسَ مِنْ سُؤَالِهِ أَمْرًا ثُمَّ قَالَ لَهُ: أَيْنَ تَسْكُنُ؟ قَالَ الشَّابُّ السَّائِلُ: أَسْكُنُ الْمَوْصِلَ وَأُقِيمُ هُنَا فِي النَّجَفِ مُنْذُ شَهْرَيْنِ تَقْرِيبًاً.
Al-Imam al-Khaui melihat kepadanya dan dia menangkap sesuatu dari pertanyaannya, kemudian dia berkata, “Di mana kamu tinggal?” maka dia menjawab, “Saya tinggal di Mosul, saya tinggal di Najaf semenjak sekitar dua bulan yang lalu.”
قَالَ لَهُ الْإِمَامُ: أَنْتَ سُنِّيٌّ إِذَنْ؟
Al-Imam berkata kepadanya. “Kalau demikian berarti Anda adalah orang Sunni?”
قَالَ الشَّابُّ: نَعَمْ.
Pemuda itu menjawab, “Ya!”
قَالَ الْإِمَامُ: الْمُتْعَةُ عِنْدَنَا حَلَالٌ وَعِنْدَكُمْ حَرَامٌ.
Al-Imam berkata, “Mutah menurut kami halal, tetapi haram menurut kalian.”
فَقَالَ لَهُ الشَّابُّ: أَنَا هُنَا مُنْذُ شَهْرَيْنِ تَقْرِيبًا غَرِيبٌ فِي هَذِهِ الدِّيَارِ فَهَلَّا زَوَّجْتَنِي ابْنَتَكَ لِأَتَمَتَّعَ بِهَا رَيْثَمَا أَعُودُ إِلَى أَهْلِي؟
Maka pemuda itu berkata kepadanya, “Saya di sini semenjak dua bulan yang lalu merasa kesepian, maka nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu dengan cara mutah sebelum saya kembali kepada keluargaku.”
فَحَمْلَقَ فِيهِ الْإِمَامُ هُنَيْهَةً ثُمَّ قَالَ لَهُ: أَنَا سَيِّدٌ وَهَذَا حَرَامٌ عَلَى السَّادَةِ وَحَلَالٌ عِنْدَ عَوَامِ الشِّيعَةِ.
Maka al-Imam membelalakkan matanya sejenak, kemudian berkata kepadanya, “Saya adalah pembesar, dan hal itu haram atas para pembesar, namun halal bagi kalangan awam dari orang-orang Syiah.”
وَنَظَرَ الشَّابُّ إِلَى السَّيِّدِ الْخَوْئِيِّ وَهُوَ مُبْتَسِمٌ وَنَظْرَتُهُ تُوحِي أَنَّهُ عَلِمَ أَنَّ الْخَوْئِيَّ قَدْ عَمِلَ بِالتَّقِيَّةِ.
Si pemuda itu melihat kepada al-Khaui sambil tersenyum. Pandangannya mengisyaratkan akan pengetahuannya bahwa al-Khaui sedangkan mengamalkan taqiyyah.
ثُمَّ قَامَا فَانْصَرَفَا، فَاسْتَأْذَنْتُ الْإِمَامَ الْخَوْئِيَّ فِي الْخُرُوجِ فَلَحِقْتُ بِالشَّابَّيْنِ فَعَلِمْتُ أَنَّ السَّائِلَ سُنِّيٌّ وَصَاحِبَهُ شِيعِيٌّ اخْتَلَفَا فِي الْمُتْعَةِ أَحَلَالٌ أَمْ حَرَامٌ فَاتَّفَقَا عَلَى سُؤَالِ الْمَرْجِعِ الدِّينِيِّ الْإِمَامِ الْخَوْئِيِّ، فَلَمَّا حَادَثْتُ الشَّابَّيْنِ انْفَجَرَ الشَّابُّ الشِّيعِيُّ قَائِلًاً: يَا مُجْرِمِينَ تُبِيحُونَ لِأَنْفُسِكُمْ التَّمَتُّعَ بِبَنَاتِنَا وَتُخْبِرُونَنَا بِأَنَّهُ حَلَالٌ وَأَنَّكُمْ تَتَقَرَّبُونَ بِذَلِكَ إِلَى اللَّهِ، وَتُحَرِّمُونَ عَلَيْنَا التَّمَتُّعَ بِبَنَاتِكُمْ؟
Kedua pemuda itu bangkit dan pergi. Saya meminta izin kepada al-Imam al-Khaui untuk keluar. kemudian Saya menyusul kedua pemuda tadi. Saya mengetahui bahwa penanya adalah orang Sunni dan sahabatnya adalah orang Syiah. Keduanya berselisih pendapat tentang nikah mutah, apakah halal atau haram? Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada rujukan agama, yaitu al-Imam al-Khaui . Ketika saya berbicara dengan kedua pemuda tadi, pemuda yang berpaham Syiah berontak seraya berkata, “Wahai orang-orang durhaka, kamu sekalian membolehkan nikah mutah kepada anak-anak perempuan kami, dan mengabarkan bahwa hal itu halal, dan dengan itu kalian mendekatkan diri kepada Allah, namun kalian mengharamkan kepada kami untuk nikah mutah dengan anak-anak perempuan kalian?”
وَرَاحَ يَسُبُّ وَيَشْتُمُ، وَأَقْسَمَ أَنَّهُ سَيَتَحَوَّلُ إِلَى مَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ، فَأَخَذْتُ أُهْدِئُ بِهِ ثُمَّ أَقْسَمْتُ لَهُ أَنَّ الْمُتْعَةَ حَرَامٌ وَبَيَّنْتُ لَهُ الْأَدِلَّةُ عَلَى ذَلِكَ.
Maka dia mulai memaki dan mancaci serta bersumpah untuk pindah ke mazhab Ahlusunah, maka saya pun mulai menenangkannya, kemudian saya bersumpah bahwa nikah mutah itu haram, kemudian saya menjelaskan dalil-dalilnya.[3]
Coba Anda cermati, betapa liciknya para tokoh Syiah itu! Mereka menghalalkan praktek mutah, namun mereka sendiri yang menolaknya. Jika perempuan yang dinikahi mutah adalah anak orang awam, mereka halalkan. Namun, jika perempuan itu adalah anaknya sendiri, mereka haramkan. Hukum macam apa ini! Seharusnya, jika memang konsisten, lantas, mengapa mereka halang-halangi laki-laki yang ingin menikahi anaknya? Mengapa mereka enggan untuk membantu orang lain untuk mengamalkan ajarannya?
Mohammad Ishaqi Al-Ayyubi | Annajahsidogiri.id
[1] Syekh ash-Shaduq, Man La Yahdhurul-Faqîh, juz 3 hlm. 466, https://shiaonlinelibrary.com.
[2] Sayid Husain al-Musawi, Lillâhi Tsumma lit-Târîkh Kasyful-Asrâr wa Tabriatul-Aimmah al-Athhâr, hlm. 33. https://shamela.ws/book/3952/36#p1
[3] Ibid, hlm. 37-38.