Mungkin sahabat setia #SerialAkidahAwam sudah tidak sabar berpindah ke nazam berikutnya. Baik, kali ini saya akan melanjutkan nazam berikutnya, yang berbunyi:
وَقَـائِمٌ غَـنِـيْ وَوَاحِـدٌ وَحَيّ ۞ قَـادِرٌ مُـرِيـْدٌ عَـالِمٌ بِكُلِّ شَيْ
“Allah berdiri sendiri, Mahakaya, Maha Esa, Mahahidup, Mahakuasa, Maha Menghendaki, Maha Mengetahui atas segala sesuatu”
Lebih tepatnya, kali ini kita akan membahas tentang sifat qiyâmuhu bi nafsihi.
Sangat banyak saya temukan—dikalangan awam, tentunya—salah mengartikan sifat yang satu ini. Berikut beberapa kesalahan yang pernah saya temukan:
Allah Menciptakan Diri-Nya Sendiri
Kesalahan terbesar dan terparah yang pernah kami temukan ialah mengartikan sifat qiyâmuhu bi nafsihi dengan: Allah menciptakan diri sendiri. Entah apa yang mendorong ia berpikir demikian. Mungkin ia terperangkap dengan pemahaman sifat itu, bahwa Allah tidak membutuhkan pencipta, sehinggga dia memahami bahwa Allah menciptakan diri sendiri. Pernyataan ini sangat tidak masuk akal dengan beberapa alasan:
Pertama, qiyâmuhu bi nafsihi bukan tergolong sifat yang berkaitan dengan penciptaan (shifatut-ta’tsîr). Shifatut-ta’tsîr itu terdiri kodrat, iradat, ilmu, dan hayat. Tidak ada qiyâmuhu bi nafsihi. Qiyâmuhu bi nafsihi itu sendiri tergolong sifat salbiyah, layaknya kidam, baka, mukhâlafatu lil-hawâditsi,dan wahdaniyah.
Kedua, sifat penciptaan hanya tertentu untuk sesuatu yang mungkin, yakni sesuatu yang bisa ada dan bisa tiada. Sedangkan keberadaan Allah sendiri, bukan tergolong sesuatu yang jaiz, melainkan tergolong sesuatu yang “wajib”. Dengan kata lain, Allah pasti ada, mustahil tiada. Nah, bila sesuatu yang wajib ada, masih diciptakan, terjadilah tahshîlul-hâshil, yakni menghasilkan sesuatu yang sudah ada. Itu mustahil!
Dengan Sifat Qiyâmuhu bi Nafsihi, Allah Mustahil Bertempat
Kesalahan yang kerap sekali saya temukan ialah mengaitkan Allah tidak membutuhkan tempat (makân) dengan sifat qiyâmuhu bi nafsihi. Pemahaman ini terjadi, lantaran ketidaktahuan perbedaan antara makân dengan mahal.
Keduanya sama-sama bermakna tempat, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Mahal bukanlah ruangan, melainkan zat yang menampung sifat. Mudahnya, mustahil ada sifat tanpa zat. Nah, zat itulah yang dimaksud mahal.
Sifat qiyâmuhu bi nafsihi menegaskan bahwa Allah itu zat, bukan sifat yang membutuhkan kepada mahal. Urusan ‘zat’ Allah tidak bertempat, itu masuk kepada penjelasan sifat mukhâlafatu lil-hawâditsi.
Imam al-Baijuri dalam Tuhfatul-Murîd-nya (hlm. 69) mengatakan:
وَمَعْنَى قِيَامُهُ بِنَفْسِهِ: عَدَمُ اِفْتِقَارِهِ تَعَالَى إِلَى المَحَلِّ: أَي الذَاتِ التِي يَقُوْمُ بِهَا لَا بِمَعْنَى المَكَانِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ عُلِمَ مِنَ المُخَالَفَةِ لِلْحَوَادِثِ.
“Maksud qiyâmuhu bi nafsihi adalah: Allah tidak membutuh kan kepada mahal, yakni zat yang menampung sifat. Bukan berarti tempat. Karena penjelasan Allah tidak bertempat bisa diketahui melalui sifat mukhâlafatu lil-hawâditsi”.
Tuhfatul-Murîd-nya (hlm. 69)
Akibatnya, bila kita menjadikan dalil sifat ini sebagai bukti ‘zat’ Allah tidak bertempat, maka mereka yang meyakini Allah bertempat tertawa cengengesan. Pasalnya, sejak awal mereka sudah yakin Allah itu zat, hanya saja zat Allah bertempat.
Dalil mutakallimîn mengenai sifat ini adalah: Allah bukanlah sifat, lantaran Allah memiki beberapa sifat. Menggunakan dalil itu, sangat tidak nyambung bila dilontarkan kepada mereka yang sudah meyakini bahwa ‘zat’ Allah bertempat.
Lantas, Bagiamana Cara Kita Membuktikan Bahwa Allah itu Mustahil Bertempat?
Pakailah dalil sifat mukhâlafatu lil-hawâditsi, yakni Allah tidak sama dengan makhluk termasuk tidak dibatasi dengan ruang dan waktu. Hujahnya sebagaimana berikut:
- Bila Allah bertempat, jelasnya Allah lebih kecil dari tempat-Nya. Itu mustahil. Karena mustahil menyematkan besar-kecil kepada Allah.
- Jika Allah yang kidam bertempat, yang jelas tempat Allah juga harus kidam. Itu mustahil. Karena tiada yang kidam selain Allah.
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id