Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dan memiliki karunia yang sangat tinggi yaitu akal. Akal menjadi salah satu penentu seseorang bisa menerima taklif. Dengan adanya akal manusia diserahi beban, amanat, dan tanggung jawab melaksanakan tugas khilafahnya.
Sebagai manusia, hal pertama yang wajib adalah mengetahui keberadaan Allah ﷻ. Oleh karena itu, syaikh Ibnu Ruslan berkata dalam nadzam Zubadnya”
أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَي الإِنْسَانِ # مَعْرِفَةُ الإِلَهِ بِاسْتِيقَانِ
“Kewajiban pertama setiap manusia adalah mengetahui tuhannya dengan yakin”
Kendatipun dalam hal ini masih terdapat perbedaan di antara ulama, akan tetapi perbedaan tersebut hanya terletak pada sisi awwaliyah (kewajiban pertama), bukan terletak pada kewajiban itu sendiri. Mengetahui keberadaan Allahﷻ tentu saja bukan melalui hakikat dzat-Nya, melainkan melalui sifat – sifat-Nya beserta segala hukum keilahian. Sebab tidak ada yang mengetahui dzat Allah kecuali Allahﷻ sendiri, sehingga tuntutan untuk makrifat bukan pada dzat-Nya.
Untuk bisa mengetahui hal tersebut, dibutuhkanlah yang namanya nazhar atau proses berpikir. Nazhar menurut imam Muhammad As – Sanusi dalam Ummul-Barâhin [1] adalah
“الْفِكْرُ الْمُرَتَّبُ فِي النَّفْسِ عَلَى طَرِيقٍ يُفْضِي اِلَى الْعِلْمِ اوْ الظَّنِّ”
“Nazhar adalah proses berpikir yang tersusun berdasarkan suatu cara dan dapat menyampaikan pada ilmu (pengetahuan) atau dzan (praduga)”.
Proses dari nazhar itu sendiri dapat kita gambarkan sebagaimana berikut: Alam itu mengalami perubahan, setiap hal yang berubah pasti bersifat baru, kedua premis ini menghasilkan konklusi berupa kebaruan atau ketidak kekalan alam. Kemudian, dapat kita pahami bahwa segala yang bersifat baru membutuhkan adanya yang membuat (Al muhdits) , dan sang pembuat tersebut sudah pasti berbeda dengan yang apa dibuat. Maka dapat dipastikan sifat kekekalan dalam dzat Allah.
proses berpikir dengan benar
Proses berpikir yang benar akan memantik api keimanan dalam diri si pemikir dan mengokohkannya. Sebab, kekokohan iman merupakan hasil dari pemahaman dan pengetahuan yang dibangun di atas dalil dan telah dimatangkan dengan proses berpikir.
Kegiatan berpikir dilakukan sebatas untuk mengantarkan pada pengetahuan dan keyakinan tanpa memunculkan keraguan dan kebingungan. Oleh karena itu, dibutuhkan dalil – dalil untuk menopangnya. Dalam hal ini ulama membagi dalil menjadi dua macam, yaitu dalîl tafsîli dan dalîl ijmâlî.
Pertama, dalîl tafsîli. Yaitu dalil kompleks yang meliputi perincian, penyusunan, dan pendalaman disertai bantahan terhadap poin – poin keraguan dan kesangsian yang mengitarinya. Dalil ini biasa dipakai oleh kalangan mutakallimîn (ulama kalam). Berpikir menggunakan dalil tafsili berhukum fardu kifayah bagi orang yang mampu melakukannya. Orang awam tidak disarankan menggunakan cara berpikir seperti ini[2].
Kedua, dalîl ijmâlî (bersifat global). Sebagaimana yang dijelaskan oleh imam As–Sanusi dalam kitab Ummul-Barâhîn [3], yaitu dalil yang dapat mengantarkan pada pengetahuan dan ketenangan hati dalam akidah hingga taraf dimana hati tidak berkata “ saya tidak tahu. Saya mendengar orang–orang berkata demikian lalu saya mengikutinya.” Menurut beliau, dalam hal ini si pemikir tidak diharuskan mampu mengutarakan dalil – dalil beserta alur logikanya dan menolak syubhat–syubhat yang menyertainya secara lisan. Maka tidak diragukan lagi berpikir dengan cara demikian dapat dilakukan oleh setiap orang yang berakal sehat yang kemudian menjadi penopang kuat keyakinan sehingga mengetahui dalîl ijmâlî menjadi kewajiban seluruh orang mukallaf tanpa terkecuali.
Khilafiyah pendapat ulama
Setelah kita mengetahui kewajiban makrifat dan perantara yang dapat mengantarkan pada hal tersebut, menarik untuk disimak adalah pendapat beberapa ulama tentang kondisi orang yang melalukan nazhar yang disebutkan dalam kitab Ummul-Barâhîn sebagaimana berikut :
Pertama, orang yang memiliki keyakinan pada Rabb – Nya dengan cara dan proses yang benar, maka ia termasuk mukmin muwahhid. Mukmin muwahhid adalah mukmin yg memiliki keimanan berdasarkan proses berpikir yang benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam akidah islam. Kedua, orang yang berumur pendek namun memiliki keyakinan pada rabb-Nya tetapi tidak mampu melakukan nazhar. Menurut sebagian ulama ia termasuk mukmin dan kepastiannya tergantung pada kehendak Allah. Ketiga, orang yang memiliki kemungkinan besar untuk nazhar namun dia malah meninggalkannya. Menurut Abu Ishaq, dia termasuk mukmin yang bermaksiat sebab meninggalkan nazhar, tetapi pendapat ini masih harus ditinjau ulang menurut imam As sanusi[4].
Akhiran, keharusan nazhar dimaksudkan agar seseorang terbebas dari label taklid yang status keimanannya masih diperselisihkan. Namun kendatipun demikian, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan nazhar ini. Pertama jangan berpikir mengenai hakikat dzat Allah ﷻ, sebab akal tidak memiliki kapasitas untuk menjangkaunya. Kedua, jangan pernah menyodorkan logika, alur perdebatan, ataupun kajian ulama kalam kepada orang awam yang tidak memiliki kemampuan memahaminya. Hal ini malah rentan menimbulkan goncangan keyakinan, ini bukanlah solusi untuk mengokohkan iman. Solusi yang tepat menurut Imam Al Ghazali adalah menyibukkan diri dengan ibadah dan mengkaji Al-Qur’an, hadits atau ibadah-ibadah yang lain.[5]
Moch. Muzakki Zen | AnnajahSidogiri.Id
[1] As-Sanusi, Ummul-Barâhin hlm. 57 cet. Al-haromain
[2]As-Sanusi, Ummul-Barâhin hlm. 67.
[3] As-Sanusi, Ummul-Barâhin hlm. 67.
[4] As-Sanusi, ummul barahin hal. 61-62 cet. Al-haromain
[5] Sidogiri media, edisi 177, jumadats tsaniyah 1443 H.