Salah satu peristiwa yang terjadi setelah resminya Sayidina Ali sebagai khalifah pada tahun 35 H adalah perang Shiffin; perang yang terjadi antara Sayidina Muawiyah dan Sayidina Ali. Para sejarawan mencatat bahwa perang ini merupakan cikal bakal munculnya kelompok Syiah dan Khawarij.
Perang Shiffin terjadi pada tahun 37 H, di sebuah tempat yang bernama Shiffin. Perang ini terjadi karena Sayidina Muawiyah tidak mau membaiat Sayidina Ali dengan beralasan karena Sayidina Ali belum menghukum para pembunuh Sayidina Usman, yang mana penolakan tersebut berakhir dengan sebuah peperangan antara beliau berdua. Tepat pada hari ke-sembilan dari peperangan Shiffin, salah satu pasukan Sayidina Ali yang bernama ‘Ammar bin Yasir terbunuh. Mendengar hal itu pasukan Muawiyah mulai kebingungan dan dihantui rasa takut, demikian itu karena mereka pernah mendengar Nabi mengatakan kepada ‘Ammar bin Yasir, “Kamu akan dibunuh oleh sebuah kelompok yang menindas.”
Di tengah-tengah peperangan -ketika pasukan Sayidina Muawiyah mulai kewalahan, sahabat Muawiyah menyuruh pasukannya untuk mengangkat mushaf seraya mengatakan, “Ini kitab Allah yang ada di antara kita dan kalian.”[1] Melihat hal itu, pasukan Sayidina Ali berselisih pandangan. Satu pasukan mengatakan, “Kita harus terima ajakan damai tersebut.” Sedangkan pasukan yang lain -yang mengikuti pendapat Sayidina Ali- mengatakan, “Kita tetap berperang karena pengangkatan mushaf itu hanyalah tipudaya mereka”, karena banyaknya pasukan yang tidak mengiyakan pendapat Sayidina Ali, dengan berat hati beliau terima ajakan tahkim itu, dari Sayidina Ali mengutus Abu Musa al-Asyari dan Sayidina Muawiyah memilih Amr Bin ‘Ash. Dan hasil keputusan tahkim tersebut adalah lengsernya Sayidina Ali dari kursi khilafah dan terangkatnya Sayidina Muawiyah sebagai khalifah.
Dari peperangan ini banyak dari kalangan umat Islam salah paham dan salah tangkap. Sebagian mereka ada yang membenci Sayidina Ali dan mendukung Sayidina Muawiyah. Sebagian lagi ada yang membenci Sayidina Muawiyah dan memuji-muji Sayidina Ali, yang mana hal itu sangat tidak dianjurkan oleh para ulama, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ibnu Ruslan dalam nazam Zubatnya:
وَمَا جَرَى بَيْنَ الْصَحَابِي نَسْكُتُ ۞ عَنْهُ وَاَجْرُ الِاجْتِهَادِ نَثْبُتُ
“Perselisihan yang terjadi di antara para sahabat, kita lebih baik diam dan menyakini hal itu sebagai persoalan ijtihad (di antara mereka).”
Barang kali hal ini yang membuat Syekh Ramadan al-Buthi memberi catatan penting di akhir penjelasan beliau tentang perang Shiffin ini, dalam kitabnya, Fiqhush-Shîrah an-Nabawiyyah, catatan itu sebagaimana berikut:
Pertama, jika kita teliti penyebab terjadinya perang ini, bukanlah disebabkan oleh penolakan Sayidina Muawiyah untuk membaiat Sayidina Ali, karena menurut para sejarawan, para sahabat telah sepakat untuk mengeksekusi para pembunuh Sayidina Usman, begitupun Sayidina Ali, akan tetapi Sayidina Ali memilih untuk mengakhirkan eksekusi itu setelah penataan sistem negara dan penyelesaian konflik di dalamnya.
Kedua, lalu apakah yang membuat Sayidina Muawiyah menolak untuk membaiat Sayidina Ali hingga memeranginya? Ternyata di balik peperangan ini, ada rencana yang telah tersusun rapi dan siap diluncurkan ke tengah-tengah pasukan beliau berdua, agar mereka saling membenci dan menolak satu sama lain. Rencana itu dipimpin oleh Ibnu Saba’ yang menyusup ke dalam dua belah pasukan, dan menyebarkan isu-isu dan hoax yang membuat mereka saling membenci dan saling hasud. Dan rencana itu ternyata berhasil membuat Sayidina Ali dan Sayidina Muawiyah melakukan peperangan.
Dari dua poin di atas, kita menemukan titik terang yang bisa menghilangkan prasangka jelek yang timbul dari hati kita, khususnya kepada Sayidina Ali dan Sayidina Muawiyah, yang mana berburuk sangka kepada para sahabat nabi tidak pernah diajarkan oleh ulama kita, baik yang salaf maupun kontemporer. Wallâhu a’lam bish-shawâb.
Hasani Dahlan | Annajahsidogiri.id
[1] Dr. Muhammad Said Ramdhan al-Buthi, Fiqhus-Sîrah an-Nabawiyyah Ma‘a Mûjaz Litârîkhil-Khilâfah ar-Râsyidah, hlm 350. Darul-fikr