Ayat mutasyabihat adalah ayat yang masih samar maknanya. Ayat mutasyabihat bertebaran di beberapa surah dalam al-Quran. Bagi orang yang tidak memahami ayat ini melalui metode baku yang ulama tetapkan, sering kali menjerumuskannya pada kesesatan pemikiran.
Terkait ayat mutasyabihat, Kelompok Wahabi sering kali mengambil pemahaman secara mentahan tanpa diolah terlebih dahulu berdasarkan penjelasan ulama-ulama yang kompeten di bidangnya. Contonya ayat berikut:
اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗ يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ
Jika diartikan secara literal adalah: “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad), (pada hakikatnya) mereka berjanji setia kepada Allah ﷻ. Tangan Allah ﷻ di atas tangan mereka. (QS. Al-Fath [48]:10)
Ayat di atas akan memberikan pengertian bahwa Allah ﷻ memiliki ‘tangan’. Padahal menyandarkan sifat jism (anggota tubuh) kepada Allah ﷻ termasuk menyematkan sifat mustahil kepada-Nya. Kemustahilan itu karena tidak sesuai dengan firman Allah ﷻ:
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tiada satu pun yang sama dengan Allah ﷻ. Dan, Allah ﷻ Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syûrâ’ [42]: 11).
Syekh al-Wahidi, salah satu ulama tafsir, dalam kitab at-Tafsȋr al-Wasȋth lil Wâhidȋ menjelaskan bahwa dalam surah al-Fath ayat 10 ini turun ketika peristiwa perjanjian Hudaibiyah, maka makna yang tepat يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِم adalah nikmat Allah ﷻ ketika memberi hidayah berupa keimanan yang besar kepada orang-orang yang membaiat Nabi di perjanjian Hudaibiyah melebihi ketaatan yang mereka lakukan. (At-Tafsȋr al-Wasȋd lil Wâhidȋ juz 4. Hlm. 136).
baca juga: Aliran Sesat dan Ayat Mutasyabihat
Oleh karenanya, ketika ada ayat mutasyabihat ulama memiliki dua metode dalam menyikapinya. Pertama adalah takwil. Mayoritas ulama khalaf (ulama yang hidup setelah tiga abad pertama Hijriah) menggunakan metode ini ketika dikawatirkan terjadi goncangan akidah di kalangan orang awam. Caranya, mereka menakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam Bahasa Arab. Kedua adalah tafwid. Metode kedua ini adalah manhaj ulama salaf, yaitu memasrahkan penuh maknanya pada Allah ﷻ. Jadi tak ada satu pun orang berhak memaknainya. Sebagaimana yang telah diterangkan oleh Syekh Ibrāhim Al-Baijūri dalam kitab Hasyiyah Tuhfatul-Murid karangan beliau yang maknanya, “’Takwillah!’ artinya palingkanlah dari makna harfiahnya dengan menjelaskan makna yang dimaksud. ‘Pasrahkanlah!’ artinya setelah melakukan takwil secara tidak terinci (at-ta’wîl al-ijmāli), yakni memalingkan suatu kata dari makna harfiahnya. Setelah takwil ini, maka pasrahkanlah arti yang dimaksud dari dalil nas tersebut kepada Allah swt. (Ibrāhim Al-Baijūri, Tuḥfatul–Murid, [Kairo, Darus Salam: 1440/2019], halaman 156)
Walhasil, ayat mutasyabihat adalah ayat yang cara memaknainya perlu mengikuti metode ulama, baik salaf maupun khalaf. Kita tidak boleh mengartikan secara literal tanpa melihat terlebih dahulu penyampaian ulama yang telah mumpuni dalam bidangnya, agar tidak terjatuh pada kesalahpahaman dalam mengartikannya. Wallâhu A’lam Bishâwab
Aris Daniyal | Annajahsidogiri.id