Sahabat #SerialAkidahAwam!, setelah membahas tentang sifat-sifat yang wajib bagi Allah ﷻ, maka pada tulisan ini akan membahas sifat jaiz bagi Allah ﷻ yang tercantum pada nazam:
وَجَائـِزٌ بِـفَـضْـلِهِ وَ عَدْلِهِ * تَـرْكٌ لـِكُلِّ مُمْـكِـنٍ كَفِعْلِهِ
“Dengan karunia dan keadilan-Nya, Allah memiliki sifat jaiz (wenang) yaitu boleh mengerjakan setiap hal yang mungkin atau meninggalkannya.”
Sifat Jaiz adalah Allah boleh untuk mengerjakan atau meninggalkan setiap hal yang mumkin (sesuatu yang menurut akal mungkin untuk ada dan mungkin untuk tidak ada). Dengan artian, akal bisa menerima akan keberadaan hal tersebut, begitupun sebaliknya. Dan merupakan suatu yang jaiz bagi Allah ﷻ adalah menciptakan atau meniadakan setiap perkara mumkin. Contoh, sifat kaya adalah perkara mumkin, maka jaiz bagi Allah ﷻ untuk menciptakannya pada siapapun yang Dia kehendaki, atau malah menciptakan hal sebaliknya yaitu sifat miskin. Sebab, setiap perkara mumkin itu jaiz bagi Allah untuk menciptakan atau meniadakannya, meskipun secara hukum ‘âdî (kebiasaan), hal tersebut sulit untuk terjadi. Contoh, setiap benda yang tersentuh oleh api akan terbakar sesuai hukum adat, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada Nabi Ibrahim ketika dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud, karena Allah ﷻ tidak mengkehendakinya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَاللّٰهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَاللّٰهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
“Akan tetapi, secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Allah pemilik karunia yang besar.”(QS. Al-Baqarah [2]: 105).
Dalam surah Al-A’râf Allah menyebutkan:
مَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ ۖوَيَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ
“Siapa saja yang Allah sesatkan, tidak ada yang mampu memberinya petunjuk dan Dia akan membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan.” (QS. Al-A‘râf [7]: 186).
Baca Juga; Inilah Tujuh Sifat Ma’nawiyah
Dalam surah Al-Qashas Allah menyebutkan:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ
“Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki.”(QS. Al-Qashash [28]: 68).
Kemudian, dalam surah Al-Burûj Allah menyebutkan:
فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيْدُۗ
“Maha Kuasa berbuat apa saja yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Burûj [85]: 16).
Ayat-ayat di atas menegaskan tentang sifat jaiz bagi Allah ﷻ yang berupa, Allah jaiz untuk menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, baik perkara yang bernilai positif atau negatif. Dan tidak ada yang berhak bertanya tentang perbuatan Allah ﷻ, sebab sejatinya semuanya adalah milik Allah secara mutlak. Masih banyak ayat-ayat lain yang menjadi dalil dari sifat jaiz Allah ﷻ, tapi tidak mungkin untuk dicantumkan semua dalam tulisan ringkas ini.
Merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Mukallaf untuk meyakini bahwa boleh bagi Allah ﷻ menciptakan perkara baik atau jelek. Contoh, Allah menciptakan Islam pada diri Zaid, sedangkan kufur Allah ciptakan pada diri Abu Jahal. Keduanya Jaiz bagi Allah, begitupun memberi pahala pada hamba yang taat yang merupakan fadhl (anugerah) dari Allah. Sedangkan, menyiksa orang yang bermaksiat yang merupakan ‘adl (keadilan) Allah ﷻ. Keduanya adalah hal yang Jaiz bagi Allah, sebab pada hakikatnya, keduanya adalah ciptaan Allah.[1] Sebagaimana yang telah Allah firmankan:
وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
“Padahal Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shâffât [37]: 96).
Menyandarkan yang Baik kepada Allah
Kemudian, meski secara hakikat semuanya adalah ciptaan Allah ﷻ, tapi sebagai bentuk tatakrama dan sopan santun adalah tidak menisbatkan pada Allah kecuali hal-hal yang baik saja, maka setiap hal yang bersifat baik dan positif itu disandarkan pada Allah. Sedangkan, setiap hal yang bersifat negatif dan jelek itu seharusnya disandarkan pada diri kita sendiri, meskipun sejatinya, yang menciptakan adalah Allah ﷻ. Hal tersebut sebagaimana yang dicontohkan Nabi Khidir, dalam surah Al-Kahfi disebutkan:
فَاَرَدْتُّ اَنْ اَعِيْبَهَاۗ وَكَانَ وَرَاۤءَهُمْ مَّلِكٌ يَّأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
“Maka, aku bermaksud membuatnya cacat karena di hadapan mereka ada seorang raja (zalim) yang mengambil setiap perahu (yang baik) secara paksa.” (Al-Kahf [18]: 79).
Kemudian dalam ayat ke 82 disebutkan:
وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا ۚفَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَآ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَ ࣖ
“Adapun dinding (rumah) itu adalah milik dua anak yatim di kota itu dan di bawahnya tersimpan harta milik mereka berdua, sedangkan ayah mereka adalah orang saleh. Maka, Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (Al-Kahf [18]: 82).[2]
Nabi Khidir -sebagaimana ayat yang di atas- menyandarkan perbuatan yang bersifat negatif pada dirinya sendiri, sedangkan pekerjaan yang bersifat positif maka dia menyandarkan pada Allah ﷻ. Hal tersebut sebagai bentuk tatakrama dan sopan santun pada Allah ﷻ, meskipun pada hakikatnya, semua adalah ciptaan Allah ﷻ baik yang positif atau yang negatif. Wallâhu a‘lam.
Muh Shobir Khoiri | AnnajahSidogiri.id
[1] Syekh Nawawie Al-Banteni, Nûruzh-Zhalâm, hlm. 11.
[2] Syekh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyyah, Mûjazul-kalâm Syarhu ‘Aqîdatil-‘Awâm, hlm. 56.