Jabariah berasal dari jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya untuk melakukan sesuatu. Dalam istilah Ilmu Kalam, Jabariah adalah aliran teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia dalam segala kehendak atau perbuatannya tak ubahnya seperti ranting kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka (segalanya atas kodrat Tuhan semasta). Jabara, menurut asy-Syahrastani dalam salah satu karyanya, al-Milal wan-Nihal, beliau mengartikan dengan “Meniadakan perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah.” Dengan demikian, nama Jabariah adalah untuk salah satu aliran dalam Islam yang mempunyai keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan kekuasaan untuk berbuat sesuatu.
Baca Juga: Perbedaan Qadhâ’ Dan Qadar
Jabariah merupakan golongan yang mengualifikasikan akal pada kedudukan inferior serta mendudukkan teks pada posisi yang tinggi, bersandar secara mutlak pada ketentuan Allah. mereka menganggap bahwa manusia tidak memiliki kuasa sedikit pun dalam menentukan kehendaknya. Seluruh kehendak manusia Allah tentukan secara mutlak dengan kehendaknya. Perkiraan yang mereka sampaikan bukan hanya sekadar statemen saja tanpa landasan. Akan tatapi mereka juga menjustifikasi pendapatnya dengan ketentuan al-Quran dan hadis. Dalam al-Quran, memang terkandung ayat yang apabila kita maknai secara parsial akan bermakna Jabari. Seperti:
وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى
”Bukanlah engkau yang melontar waktu kau melontar, tapi Allah-lah yang melontar.” (QS al-Anfal: 17)
Melihat historisitasnya, sebagaimana pemaparan Imam Muhammad Abu Zahra dalam kitab fenomentalnya Tarikhul Madzahib al-Islamiyah, golongan ini lahir sebab kepasrahan mereka kepada takdir Allah. Padang tandus yang mereka hadapi membuat mereka merasa tidak berdaya. Mereka menganggap bahwa mereka sama saja dengan benda mati. Akibatnya penganut aliran ini menjadi malas, bodoh dan memandang tidak mampu melakukan apapun.
Semua kekeliruan ini berasal dari pemikiran bahwa manusia diibaratkan benda mati. Sebagai benda mati tentu saja tidak mampu melakukan apapun. Padahal jelas manusia adalah benda hidup yang memiliki akal dan kebebasan serta kemampuan untuk memilih (ikhtiyar), melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Baca Juga: Kemurnian Akidah Sahabat Nabi
Mengenai hal ini, Abu Ishaq al-Isfirayini sebagaimana yang dikutip Muhammad ad-Dasuqi dalam Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil-Barahin, menegaskan bahwa perbuatan manusia merupakan kombinasi dua kontrol (qudratain), yakni kontrol Tuhan dan kontrol manusia. Menurutnya, dua kontrol dalam satu tindakan adalah suatu yang mungkin terjadi. Kontrol Tuhan erat hubungannya dengan dasar asal sebuah tindakan, sedangkan kontrol manusia berhubungan dengan sifat suatu tindakan. Kontrol manusialah yang menjadikan suatu tindakan tergolong baik atau buruk. Misalnya, dalam perbuatan salat, menurut al-Isfirayini terkandung dua unsur, yaitu sebagai sebuah perbuatan dan kepatuhan. Jika ditinjau dari sisi perbuatannya, pekerjaan salat itu diciptakan oleh Allah, akan tetapi jika ditinjau dari sudut kepatuhan seorang hamba, maka termasuk ciptaan manusia. Namun demikian, al-Isfirayini tetap menyatakan bahwa muatstsir (yang berpengaruh) dan mufashshil (pengontrol) semua tindakan manusia adalah Allah semata, sehingga manusia tidak bisa mengelak dari kehendak-Nya.
Baca Juga: Kuasa Allah dalam Virus Corona
Selain itu, pada dasarnya manusia sebenarnya sama sekali tidak dalam keterpaksaan (majbur) sebagaimana pandangan Thahir bin Shalih al-Jazairi dalam al-Jawahir al-Kalamiyah, karena Allah sebagai pencipta manusia telah membekali setiap manusia dengan potensi akal yang dapat membedakan hal yang baik dan buruk, selain Allah juga memberinya iradah juz’iyyah (daya parsial) untuk melakukan perkara baik dan buruk. Tidak ada alasan bagi manusia yang sudah berbuat maksiat untuk berkata, “Ini sudah takdir.” Bukti bahwa manusia tidak dalam keterpaksaan adalah ketika melakukan suatu tindakan, ia merasa bahwa perbuatan itu atas kemauannya sendiri.
Jadi, keimanan terhadap takdir Allah tidak boleh kitajadikan landasan untuk pasrah terhadap segala realita yang ada. Misalnya, ia menganggap dirnya telah Allah takdirkan untuk melakukan zina, dengan maksud agar keinginan nafsunya tersalurkan. Ini adalah pikiran yang sangat dungu sebagaimana argumentasi Sayid Husain Afandi dalam Husnul-Hamidiyyah, karena dengan ucapan itu, secara tidak langsung ia mengaku telah mengetahui takdirnya sebelum terjadi, padahal yang dapat mengetahui takdir hanyalah Allah, sementara yang ia lakukan sebenarnya semata dorongan nafsunya atas pilihan (ikhtiyar) pribadi. Karena itulah ia pantas mendapatkan siksa kelak sebagai balasan perbuatan yang telah ia lakukan.
Ahmad Zaini|Annajahsidogiri.id