Ayat innadina indallahil Islam bahkan menurut jumhur ulama ini maknanya memang seperti itu. Agama di sisi Allah adalah Islam. Adapun perbedaan antara ulama klasik dan ulama kontemporer, misalnya kita ambil gaya Syekh al-Mutawalli asy-Sya’rawi, ketika beliau menafsiri ayat innaddina sebenarnya beliau masih menggunakan sanad yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Imam al-Qurtubi dan yang lain. Artinya sama-sama menggunakan metode tafsir klasik. Cuma bedanya, karena beliau merupakan ulama sekarang atau kotemporer, beliau menggunakan cara pemahaman yang bisa diterima oleh orang-orang sekarang. Akan tetapi, madmun-nya tetap menggunakan cara tafsir dulu.
Imam asy-Sya’rawi ingin memberikan pendekatan pemahaman kepada orang-orang sekarang supaya tidak dikaburkan kepada pemikiran-pemikiran Liberal atau apalah itu. Cara beliau menafsirkan innaddina sebelum memasuki ayat ini beliau memberikan mukadimah dulu. Apa itu? Petama, kita meyakini bahwa di sana ada satu Tuhan, di mana Tuhan ini menciptakan manusia untuk beribadah. Cara Tuhan ini, yakni Allah, memberikan ajaran kepada manusia lewat para utusan. Utusan itu tentu banyak sebab manusia bisa mati, tapi dari banyaknya utusan ini memiliki satu ajaran, yaitu la ilaha illallah muhammadurrasulullah. Berarti kata innaddina itu sebenarnya merujuk dari awal sampai akhir. Dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, bahwa semua yang dibawa Nabi Adam sampai Nabi Muhammad itu adalah ad-Din yang diridai oleh Allah, yakni Islam. Bahkan itulah yang dipahami oleh Yahudi dan Nasrani setelah disampaikan oleh utusan-utusan mereka, cuman mereka baghyan bainahum akhirnya ikhtilaf. Jadi, sebenarnya sama saja cuma cara penyampaiannya berbeda. Yakni diberi mukadimah dulu, kemudian disisipi penjelasan yang persis seperti penjelasan ulama terdahulu.
Selain itu, kemudian ditambahi dengan penjelasan mengunakan metode madatul kalimat, ini juga sering digunakan oleh ulama klasik. Bahkan lebih ekstrem ulama menggunakan metode tersebut. Seperti alif lam mim, alifnya apa lam apa mimnya apa. Madatul kalimat adalah madatul kalimat yang sesuai dengan muara kalam tersebut. Kata Islam, madatul kalam-nya diambil dari kata sin, lam, dan mim. Ini sebenarnya bukan menafsirkan baru, tapi sedang menjelaskan Islam itu seperti apa? Dijelaskan oleh ulama bahwa sin, lam, dan mim itu yang intinya adalah assalamah anil fasad. Pokoknya selamat dari kerusakan. Berarti selain yang menggunakan Islam itu pasti rusak. Ini dikuatkan lagi oleh penafsiran ulama lain terhadap ayat yang lain, contonya dhararal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aydinnas. Apapun yang sifatnya manusia, bukan samawi itu pasti merusak dunia. Baik itu bagus atau jelek pasti merusak dunia.
Baca Juga: Memahami Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Kemudian cara penafsiran bebas (hermeneutika), itu sebenarnya pernah disinggung oleh al-Qur’an misalnya ayat walawit taba’ahum ahwaahum lafasadatis samawatu wal ardu. Hasil dari pernyataan al-Qur’an ternyata sama, yaitu lafasadatiissamawatu, sama-sama tentang kerusakan. Ikut cara manusia berarti kerusakan, ikut cara hawa-hawa nafsu juga berujung kerusakan. Artinya semua yang tidak bersifat samawi ber-natijah fasadah. Itulah arti Islam. Nah, kira-kira seperti itulah cara berinteraksi dengan al-Qur’an. Pada intinya, kita butuh sanad.
1.Apakah perubahan atau perkembangan zaman berpengaruh terhadap penafsiran ulama?
Para ulama dalam menafsiri al-Qur’an, tentu karena Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan bahwa Allah mengutus di setiap abadnya man yujaddidu amra dinihim, orang yang selalu memperbarui masalah agama. Sehingga ia mungkin memiliki cara pikir atau pemahaman tentang media yang digunakan ulama dahulu sifatnya menyesuaikan keadaan zaman saat itu, sehingga setiap ulama pada setiap zaman pasti mengalami perubahan-perubahan. Akan tetapi perubahan tersebut tetap memiliki sandaran dalil.
Nah, itu kelebihan-kelebihan ulama kita atau agama kita. Karena kata para ulama sanad ini merupakan khasais muhamadiyah. Khasais muhammadiyah adalah Islam. Sebaru-barunya penafsiran ulama terhadap al-Qur’an tetap meliki sandaran dalil kepada al-Qur’an, hadis, dan seterusnya. Misalnya kita ambil contoh tentang bumi, pemahaman tentang bumi ini merupakan pemahaman yang drastis berubah menurut ulama dahulu dan sekarang. Ulama dulu banyak mengatakan datar berdasarkan dalil ayat waja’alal ardu wasatha, wailal ardi kaifa suthihat dan lain-lain.
Baca Juga : Hermeneutika Versus Tasfir al-Quran
Akan tetapi ulama sekarang berbeda, mereka mengatakan bulat dan juga memiliki sandaran ayat. Ayat tersebut cara pemahamannya yang berbeda tapi ayatnya sama akhirnya. Para ulama sekarang misalnya untuk mendalili bahwa bumi itu bulat, misalnya Saikhuna K.H. Maimun Zubair menggunakan ayat Wa ala kulli dhamirin ya’tina min kulli fajjin ‘amiq. Kata ‘amiq dari awal artinya memang dalam, yang berarti jalan yang dalam. Kalau ulama dulu pahamnya ya ke pedalaman, desa atau apalah. Namun, ulama sekarang mengatakan jangan-jangan yang dimaksud dalam di sini adalah kalau bumi ini kita bor dari atas pasti tembus ke tempat lain di bawah. Ini maksudnya dalam, kanapa pakai ‘amiq, bukan thawil saja kalau memang tidak ada rahasianya. Seperti itu cara ulama belakangan dalam menafsiri semisal ayat tersebut. Tentu itu tetap berdasar dari madatul kalam atau dari lughah bahwa ‘amiq itu yutlaqu ala ‘dalam’ seperti itu, dan banyak contoh-contoh yang lain.
bersambung …
Abd Jalil | AnnajahSidogiri.id