Ada dua kata wajib yang tercantum dalam satu nazam Aqîdatul-Awam. Nazam tersebut menerangkan perihal kewajiban orang mukalaf mengetahui sifat yang “wajib” kepada Allah.
وَبَـعْـدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَـهْ ۞ مِنْ وَاجِـبٍ ِللهِ عِـشْرِيْنَ صِفَـهْ
“Waba’du, ketahuilah bahwa (orang mukalaf) wajib mengetahui 20 sifat yang wajib kepada Allah.”
Dua kata wajib tersebut, memiliki makna yang berlainan. Wajib pertama ditinjau secara hukum syariat. Kata wajib kedua, ditinjau secara akal.
Sebelum melangkah lebih lanjut, sudah semestinya kita mengetahui aneka ragam hukum. Imam as-Sanusi menjelaskan dalam kitab Syarh Ummul-Barâhîn (33) mengenai macam hukum. Beliau mengatakan:
اِنْقَسَمَ الحُكْمُ اِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ شَرْعِيٍّ وَعَادِىٍ وَعَقْلِيٍ
“Hukum terbagi menjadi tiga: syariat, adat dan akal.”
Syarh Ummul-Barâhîn (33)
Untuk mengetahuinya, mari kita perinci satu-persatu.
Apa itu Hukum Adat?
Hukum adat ialah: menetapkan ada-tidaknya sesuatu berdasarkan kejadian yang berulang. Misalnya, secara kebiasaan, manusia setelah makan, dia pasti kenyang. Nah, hukum ‘pasti’ ini kita dapatkan lantaran menilai sesuatu dari beberapa kejadian yang berulang-ulang.
Imam as-Sanusi menjelaskan perihal kesalahpahaman atas keberadaan suatu peristiwa. Dalam Syarh Ummul-Barâhîn (40-41) beliau menerangkan:
وَقَدْ غَلَطَ قَوْمٌ فِي تِلْكَ الأَحْكَامِ العَادِيَةِ فَجَعَلُوْهَا عَقْلِيَّةً وَأَسْنَدُوْا وُجُوْدَ كُلِّ أَثَرٍ مِنْهَا
“Ada kaum salah paham mengenai hukum adat. Mereka mengira, hukum adat sebagai hukum akal; menisbatkan keberadaan sesuatu sebagai bekas penciptaan dari adat”
Syarh Ummul-Barâhîn (40-41)
Hukum adat sama-sekali tidak berkaitan dengan penciptaan sebuah benda, melainkan intisari dari hukum adat ialah kebetulan yang terus-menerus. Contoh: secara hukum adat, api bisa membakar. Apakah ‘pencipta’ kebakaran ialah api? Tidak! Urusan menciptakan sesuatu, tolak-ukurnya ialah hukum akal. Hukum adat sekadar menentukan kebiasaannya saja. Imam as-Sanusi menyebutkan dalam Syarh Ummul-Barâhîn (39):
وَلَيْسَ مَعْنَى هَذَا الحُكْمِ أَنَّ النَّارِ هِيَ الَّتِي أَثَرَتْ فِى اِحْرَاقِ مَا مَسَّتْهُ مَثَلًا أَوْ فِي تَسْخِيْنِهِ. اِذْ هَذَا المَعْنَى لَا دَلَالَةُ لِلْعَادَةِ عَلَيْهِ أَصْلًا وَاِنَّمَا غَايَةٌ مَا دَلَّتْ عَلَيْهِ العَادَةُ: الاِقْتِرَانُ فَقَطْ بَيْنَ الاَمْرَيْنِ. أَمَا تَعْيِيْنُ فَاعِلِ ذَلِكَ فَلَيْسَ لِلْعَادَةِ فِيْهِ مَدْخَلٌ وَلَا مِنْهَا يَتَلَقَّى عِلْمُ ذَلِكَ
“Bukan berarti hukum adat menentukan api sebagai pencipta dari kebakaran atau menciptakan rasa panas, saat menyentuhnya. Hukum adat sama-sekali tidak berkaitan dengan hal ini. Hukum adat sebatas kebersamaan dua perkara. Menentukan pencipta, tidak berkaitan dengan hukum adat. Juga, mengetahui pencipta tidak bisa dengan hukum adat.”
Syarh Ummul-Barâhîn (39)
Apa itu Hukum Akal?
Hukum akal ialah: menetapkan ada-tidaknya sesuatu berdasarkan nalar akal; tanpa perlu meninjau perulangan kejadian atau ketetapan dari siapa pun. Hukum akal terbagi menjadi tiga: “wajib”, mustahil dan jaiz.
Istilah wajib dalam hukum akal dipakai untuk: sesuatu yang pasti ada secara akal. Mustahil digunakan untuk: sesuatu yang pasti tiada secara akal. Jaiz merupakan istilah untuk: sesuatu yang secara akal bisa ada dan bisa tiada.
Imam Haramain dalam Syarh Ummul-Barahîn (51) memastikan setiap orang berkal, mengetahui ketiga hukum ini. Malah, menurut beliau, hanya manusia tidak berakal, yang tidak mengetahuinya.
قَالَ إِمَامُ الحَرَ مَيْن وجَامَعَةٌ اَنَّ مَعْرِفَةَ هَذِهِ الاَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ هِىَ نَفْسُ العَقْلِ فَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ مَعَانِيْهَا فَلَيْسَ بِعَاقِلٍ
“Imam Haramain dan jemaah ulama mengatakan bahwa mengetahui ketiga pembagian hukum akal ini merupakan akal itu sendiri. Barang siapa yang tidak mengetahui maknanya, bisa dipastikan dia tidak punya akal”
Syarh Ummul-Barahîn (51)
Apa itu Hukum Syariat?
Hukum syariat ialah: ketetapan Allah kepada orang mukalaf. Ada lima macam hukum syariat, yakni: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram.
Wajib syariat tentu berbeda jauh dengan wajib akal. Secara definisi, keduanya sangat berbeda jauh.
Wajib syariat ialah pekerjaaan yang pelakunya mendapat pahala, dan berdosa bagi yang meninggalkan. Bagaimana mungkin hal itu disamakan dengan sesuatu yang pasti ada, alias mustahil tiada?
Dengan memahami ketiga hukum ini, kalian juga bisa tahu perbedaan antara yang mustahil (tidak masuk akal) dengan sesuatu yang luar biasa (khariqul-adah). Misal, Nabi Muhammad membelah bulan, atau Nabi Musa membelah sungai. Itu kejadian luar biasa, alias khariqul-‘âdah. Namun, masih jaiz secara akal.
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id