Sejak tumbangnya Reza Syah Pahlevi atau yang biasa kita kenal dengan revolusi Iran yang dipelopori oleh Ayatullah Khomaini[1], Syiah seakan-akan mulai menemukan kekuatan baru. Gema jihad yang dikumandangkan mulai menyebar kemana-mana, tokoh-tokoh Syiah menghembuskan gema ideologinya dengan kedok pembawa panji madzhab ahlul bait. Ajaran Syiah mulai merasuk perlahan-lahan ke plosok-plosok negeri melalui yayasan ataupun pondok pesantren.[2]
Ironisnya, kita yang berakidah Ahlusunah tanpa disadari terkadang juga menjadi tim sukses untuk menyebarkan virus Syiah. Untuk mengcounternya pun memang tidak mudah, dikarenakan mereka menyebarkan ideologinya dengan menggunakan Taqiyah, ditambah dengan kedok madzhab ahlul bait membuat mereka semakin sulit untuk dideteksi keberadaannya. Sehingga ideologi mereka terkesan sama dengan ahlusunah yang juga mengagungkan ahlul bait. Maka tak heran jika banyak kaum awam ataupun bahkan pemuka agama di negeri Wakanda ini yang berfikir, bahwa perbedaan antara Ahlusunah dan Syiah bersifat Insidental.
Sebagai contoh, DR. Quraisy Syihab salah satu mufassir yang juga mengira bahwa perbedaan antara Ahlusunah dan Syiah hanya bersifat insidental, bahkan beliau menulis buku yang berjudul”Ahlusunah dan Syiah bergandengan tangan” sebagai penguat asumsi beliau.
Baca Juga: Buletin Tauiyah 300
Di samping itu yayasan atau pondok pesantren yang aktif menggemakan ideologi Syiah juga tidak terang-terangan mengaku sebagai penganut Syiah. Maka akan sulit menemukan ejekan-ejekan yang jelas kepada Sayyidina Umar dan Abu Bakar, di samping mereka berlindung di bawah naungan nama pecinta keturunan Nabiﷺ, sebagai contoh pondok pesantren YAPI yang dibangun pada tahun 1983 M oleh Ust. Muhammad Husein al-Habsyi yang tidak terang-terangan mengaku sebagai penganut Syiah.
Namun apalah daya, ternyata bau bangkai tercium juga, pada tahun 2003 M. Surat yang ia kirimkan kepada pembesar Syiah di kota Qom diliput oleh salah satu koran di Wakanda. Kurang lebih isi surat itu tentang pengkuannya sebagai penganut Syiah sejak lama dan kini tengah menerapkan Taqiyah.
Ada juga yayasan yang langsung menawarkan kurikulum Qom untuk dikonsumsi oleh anak-anak yang labil dan pola pikirnya mudah dibentuk, yaitu anak anak masih berusia 10-20 tahunan. Sebagai contoh adalah yayasan Al-Hadi. Yang membuat yayasan ini menarik adalah anak yang dianggap layak dan sudah menyelesaikan studynya di yayasan ini, maka akan dikirim ke Qom secara gratis, yang memikat banyak pemuda yang memang hendak belajar ke timur tengah.
Bukan hanya yayasan. Kemajuan virus Syiah di negeri ini juga diplopori oleh penerbit-penerbit Syiah. Penerbit-penerbit ini akan mencetak kitab-kitab Syiah untuk dikonsumsi umum dan akan dibagikan secara gratis. Untuk menutupi virusnya, mereka akan mencetak dan menjual kitab Ahlusunah agar pergerakan mereka tidak mudah dijumpai.[3]
Baca juga: Polemik Syiah-Indonesia dan Cara Kita Menyikapinya!
Yang paling parah, ulama-ulama Syiah juga menabur ideologinya dengan iming-iming kelegalan nikah Mutah, sehingga ideologi ini banyak diminati pemuda-pemudi yang syahwatnya tengah memuncak sebagai alternatif agar tidak masuk kedalam jeratan pusaran lubang hitam zina.
Dan ironisnya, para pimpinan spritual mereka justru mengkambinghitamkan ajaran ini. Padahal, mereka menikahi satu-persatu muridnya dengan cara mutah sebagai pelampiasan syahwatnya yang sudah tidak terbendung lagi. Maka tak heran jika pada 1994 M, tercatat 250.000 anak yang terlahir tanpa seorang ayah.
Dan lebih parahnya lagi, ketika yang hendak dinikah mutah adalah anaknya, mereka akan menolak keras dan beralasan bahwa kaum terpandang tidak cocok dengan kaum bawah. Padahal, jika kita lirik pada hadis-hadis mereka, kita akan menemukan banyak sekali keutamaan nikah mutah. Bahkan ada satu riwayat dari Syiah yang menyatakan nikah mutah lebih utama daripada 1000 kali jihad.
Hal ini semakin memperjelas bahwa kelegalan nikah mutah tersebut mereka buat untuk memuluskan perkembangan ideologi mereka di berbagai daerah.
Ahmadul Jawad | Annajahsidogiri.id
[1] Vali Nasr, Bangkitnya aliran syiah , hal 215
[2]Hamid Fahmi Zarkasy, Mengapa kita menolak syiah, hal 78
[3] Hamid Fahmi Zarkasy, Mengapa kita menolak syiah, hal 85