Sampai detik ini, para tokoh Liberal tidak henti-hentinya memporak-porandakan seluruh aspek ajaran Islam. Mereka selalu saja mencari celah yang nantinya akan dibuat senjata untuk mengkritik hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Salah satu hal yang sering mereka jadikan senjata adalah apa yang pernah dilakukan oleh Sayidina Umar bin Khattab; suatu ketika, para pembantu Hatib bin Abi Balta’ah ketahuan mencuri seekor unta milik seorang pria asal Muzainah. Setelah para pencuri berada di hadapan beliau, Sayidina Umar membiarkan mereka bahkan tak mengeksekusinya. Bukankah seharusnya tangan pencuri tersebut dipotong karena telah memenuhi syarat dan ketentuan untuk dihukum?
Alasan Sayidina Umar tidak Mengeksekusi Pencuri
Telah maklum bagi kita, bahwa Sayidina Umar merupakan sahabat yang paling setia terhadap Rasulullah. Beliau termasuk deretan sahabat yang sering melakukan ijtihad, apalagi di saat beliau menjabat khilafah.
Kendati demikian, ternyata banyak para pemikir Liberal menganggap ijtihad yang beliau lakukan sering nyeleweng dari teks Al-Qur’an atau sunah. Salah satu contohnya, apa yang beliau lakukan terhadap para pencuri dari pembantu Hatib bin Abi Balta’ah yang ketahuan mencuri unta milik pria Muzainah.
Dari permasalahan tersebut, banyak Liberalis yang mengomentari, bahkan mengkritik ijtihad Sayidina Umar. Mereka berasumsi bahwa Sayidina Umar telah menabrak nash Qur’an yang berupa surah al-Maidah ayat 38, yang secara jelas memerintah potong tangan kepada pelaku pencurian. Kejadian ini membikin anggapan baru bagi mereka bahwa syariat tidak harus dilakukan, sebab apa yang telah Sayidina Umar lakukan tersebut.
Asumsi orang-orang liberal tadi jelas sesat dan sangat membahayakan. Efeknya akan berimbas pada orang awam; dikhawatirkan mereka melanggar syariat dan berdalih dengan ijtihad Umar di atas. Maka dari itu, perlu digaris bawahi bahwa seseorang yang melakukan pelanggaran syariat karena terpaksa seperti kasus di atas tidak dianggap berdosa. Hal tersebut selaras dengan ayat ke-173 dari surah al-Baqarah, yang selanjutnya dijadikan dalil oleh Sayidina Umar dalam menghukum pencuri tersebut.
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ (البقرة: [٢]: ١٧٣)
“Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [01]: 173).
Baca Juga; Islam Tersebar dengan Pedang (?)
Selain itu, yang menuntut para pencuri itu dihukum, dalam kasus ini, masih syubhat; antara mencuri karena sengaja atau karena darurat. Jika demikian, maka pencuri tadi tidak berhak dipotong tangannya karena masih ada syubhat. Oleh karena itu, berlakulah satu kaidah yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqi di dalam sunan-nya bahwa Rasulullah bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” ادْرءُوا الْحُدُودَ عَنِ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ لِلْمُسْلِمِ مَخْرَجًا فَخَلُّوا سَبِيلَهُ، فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يُخْطِيءَ فِي الْعُقُوبَةِ ” (رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ)
Diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata, “Rasulullah bersabda: ‘Hindarilah hukuman dari kaum Muslim semampu kamu. Jika kamu menemukan jalan keluar bagi seorang Muslim, maka biarkan dia pergi. Karena jika imam melakukan kesalahan dalam memaafkan, maka itu lebih baik baginya daripada dia melakukan kesalahan dalam menjatuhkan hukuman.” (HR. Al-Baihaqi) [1]
Kesimpulannya, tidak bisa kita katakan bahwa Sayidina Umar telah menabrak teks Al-Qur’an. Di samping karena memiliki dalil Al-Qur’an yang lain, juga kejadian itu masih terdapat syubhat; antara mencuri karena sengaja atau karena terpaksa. Oleh karenanya, tidak bisa berdalih bolehnya melanggar syariat dengan ijtihad Sayidina Umar di atas.
Moh Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id
[1] Hadis ini diriwatkan oleh al-Imam al-Baihaqi di dalam sunan-nya no. 17057.