Pertanyaan:
Saya pernah membaca sebuah keterangan, entah di buku atau di mana, saya lupa Ustaz, tentang qada. Bahwa qada adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sejak azali yang tidak dapat diubah oleh siapapun.
Kemudian tentang takdir, takdir adalah sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah sejak azali namun dapat diubah oleh manusia dengan ikhtiar. Contoh kecilnya seperti jodoh, jadi jodoh itu bisa kita tentukan sesuai dengan ikhtiar yang kita lakukan.
Pertanyaannya adalah benarkah takrif dari qada dan takdir di atas? Kalau tidak, bagaimana takrif yang sesuai tentang takdir itu? Lalu apakah jodoh itu termasuk sesuatu yang bisa diubah dengan ikhtiar? Mohon penjelasannya Ustaz.
Sail: 085748******
Jawaban:
Takdir atau keputusan Allah, ada yang bisa diubah dan ada yang tak bisa diubah. Takdir yang bisa diubah adalah takdir yang ada pada lauhul–mahfudz dan disebut takdir muallaq. Sedangkan takdir yang tak dapat diubah adalah takdir yang ada pada ilmu Allah dan disebut takdir mubram.
Dari sini, sudah bisa kita ketahui bahwa semua takdir pada dasarnya mubram. Tak ada takdir yang muallaq, bila kita melihat pada ilmu Allah. Namun bila kita melihat yang ada pada lauhul–mahfudz, yang diketahui malaikat, maka ada takdir yang muallaq.
Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam Kitab Tuhfatul-Murîd (hlm. 95) mengatakan:
وَانْقِسَامُ اْلقَضَاء إِلَى مُبْرَمٍ وَمُعَلَّقٍ ظَاهِرٌ بِحَسَبِ اللَّوْحِ اْلمَحْفُوْظِ وَأَمَّا بِحَسَبِ اْلعِلْمِ فَجَمِيْعُ الْأَشْيَاءِ مُبْرَمَةٌ لِأَنَّهُ إِنْ عَلِمَ اللهُ حُصُوْلَ اْلمُعَلَّقِ عَلَيْهِ حَصَلَ اْلمُعَلَّقِ وَلَا بُدَّ وَإِنْ عَلِمَ اللهُ عَدَمَ حُصُوْلِهِ لَمْ يَحْصُلْ وَلَا بُدَّ
“Pembagian qada menjadi mubram dan muallaq itu jelas bila melihat pada takdir yang ada pada lauhul–mahfudz. Adapun bila meninjau ilmu Allah, maka sebenarnya semua takdir mubram. Hal itu, bila Allah mengetahui sebuah takdir itu muallaq maka pasti akan terjadi muallaq. Sedang bila sebuah takdir diputuskan tidak muallaq (mubram) mak pasti akan terjadi demikian.”
Misalnya, pada lauhul–mahfudz Zaid tercatat sebagai orang miskin dan terjadilah ia hidup dalam keadaan miskin. Meski demikian, Zaid tak putus asa dan terus berusaha juga berdoa sehingga meraih kesuksesan dan hidup kaya. Inilah yang disebut takdir muallaq, yakni takdir yang masih bisa diubah dengan semisal doa. Namun, dalam ilmu Allah, kejadian yang sebenarnya memang demikian. Allah tahu akan perubahan itu. Makanya, meninjau hal ini, disebut takdir mubram.
Kesimpulannya, tak ada segala sesuatu di dunia ini kecuali sudah sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan sejak awal. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah, berarti doa tak lagi bermanfaat bila pada dasarnya semua yang kita lakukan sudah dalam lingkup takdir Allah?
Syekh Ibrahim al-Laqqani dalam Kitab Hidâyatul-Murîd (hlm. 294) berkata:
أَفْتَى العِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ بِأَنَّ مَنْ قَالَ لَا حَاجَةَ بِنَا إِلَى الدُعَاءِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ مَا سَبَقَ بِهِ اْلقَضَاءُ وَاْلقَدَرُ كَائِنٌ فَقَدْ كَذَبَ وَعَصَى وَيَلْزَمُهُ أَلَّا يَأْكُلَ إِذَا جَاعَ وَأَلَّا يَشْرَبَ إِذَا عَطَشَ بِنَاءً عَلَى ذَلِكَ وَلَا يَقُوْلُهُ مُسْلِمٌ وَلَا عَاقِلٌ
“Al-‘Izz bin Abdussalam berfatwa bahwa orang yang berkata tak butuh pada doa karena bersandarkan pada qada dan qadar Allah maka sungguh dia telah berdusta dan bermaksiat. Demikian itu menuntutnya untuk tidak makan saat lapar dan tidak minum saat haus. Tentu ini tidaklah diucapkan oleh orang Islam dan juga orang berakal.”
Maka dari itu, Ahlusunah mengajarkan kita untuk berdoa dan berikhtiyar di balik takdir-takdir Allah. Karena seseorang tak bisa menunggu kenyang dan segar dengan takdir, perlu ikhtiyar yang berupa makan dan minum.
Selanjutnya, Imam al-Baijuri dalam Kitab Tuhfâtul-Murîd (hlm. 95) menambahkan bahwa doa yang kita panjatkan tetap berpengaruh pada takdir, baik berupa takdir mubram ataupun muallaq. Kalau takdir muallaq, jelas bisa diubah. Karena sifatnya hanya catatan-catatan yang ada pada lauhul-mahfudz yang bisa diubah dengan semisal doa. Sedangkan takdir mubram, menurut Imam al-Baijuri, juga dapat mempengaruhi takdir, namun sekadar meringankan.
Misalnya, ada seseorang yang Allah takdirkan akan kejatuhan sebuah batu yang sangat besar. Namun ia selalu berdoa keselamatan pada Allah. Maka takdirnya kejatuhan batu akan tetap terjadi hanya saja Allah menurunkan sifat lembutnya dengan menjadikan batu itu menjadi kerikil- kerikil kecil.
وَالدُّعَاءُ يَنْفَعُ فِي الْقَضَاءِ الْمُبْرَمِ وَالْقَضَاءِ الْمُعَلَّقِ أَمَّا الثَّانِي فَلَا اسْتِحَالَةَ فِي رَفْعِ مَا عُلِّقَ رَفْعُهُ مِنْهُ عَلَى الدُّعَاءِ وَلَا فِي نُزُولِ مَا عُلِّقَ نُزُولُهُ مِنْهُ عَلَى الدُّعَاءِ وَأَمَّا الْأَوَّلُ فَالدُّعَاءُ وَإِنْ لَمْ يَرْفَعْهُ لَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُنزِلُ لُطْفَهُ بِالدَاعِيْ كَمَا إِذَا قَضَى عَلَيْهِ قَضَاءً مُبْرَمًا بِأَنْ يُنْزِلَ عَلَيْهِ صَخْرَةً فَإِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى حَصَلَ لَهُ اللُّطْفُ بِأَنْ تَصِيرَ الصَّخْرَةُ مُتَفَتِّتَةً كَالرَّمَلِ وَتَنْزِلُ عَلَيْهِ وَانْقِسَامُ الْقَضَاءِ إِلَى مُبْرَمٍ وَمُعَلَّقٍ ظَاهِرٌ بِحَسَبِ اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ، وَأَمَّا بِحَسَبِ الْعِلْمِ فَجَمِيعُ الْأَشْيَاءِ مُبْرَمَةٌ لِأَنَّهُ إِنْ عَلِمَ اللَّهُ حُصُولَ الْمُعَلَّقِ عَلَيْهِ حَصَلَ الْمُعَلَّقُ وَلَا بُدَّ وَإِنْ عَلِمَ اللَّهُ عَدَمَ حُصُولِهِ لَمْ يَحْصُلْ وَلَا بُدَّ لَكِنْ لَا يَتْرُكُ الشَّخْصُ الدُّعَاءَ اتِّكَالًا عَلَى ذَلِكَ كَمَا لَا يَتْرُكُ الْأَكْلَ اتِّكَالًا عَلَى إِبْرَامِ اللَّهِ الْأَمْرَ فِي الشِّبَعِ
“Doa dapat memberikan manfaat baik pada qada mubram ataupun muallaq. Pengaruh doa pada diangkat atau diturunkannya sesuatu dalam qada muallaq merupakan sebuah kepastian. Sedangkan pengaruh doa pada takdir mubram, meski tak dapat mengangkat atau menghilangkan pengaruh itu, namun Allah akan menurunkan sifat lembut-Nya dengan sebab orang yang meminta doa. Misalnya seseorang ditakdirkan qada mubram dengan kejatuhan batu besar. Ketika orang itu berdoa pada Allah maka akan turun sifat lembut-Nya sehingga Allah menjadikan batu besar tersebut lebur dan menjadi kerikil-kerikil kecil layaknya debu yang jatuh kepadanya.”
Ghazali | Annajahsidogiri.id