Dewasa ini telinga kita terlalu sering mendengar sebuah slogan “Demi menjaga toleransi antar agama dan bangsa”. Dalil inilah yang selalu dilontarkan oleh kaum liberal untuk mengelabuhi pemikiran umat Islam agar selalu mengedepankan akal daripada dalil al-Quran. Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk menjaga toleransi dalam beragama dan berbangsa, sebagaimana kita ketahui dalam sejarah piagam Madinah yang dipelopori oleh Nabi. Visi dari piagam tersebut adalah menjaga agar penganut agama-agama yang ada di Madinah tidak saling mengganggu dan mengusik kepercayaan akidah satu sama lain. Piagam Madinah itu kemudian diperkokoh dengan aturan, barang siapa yang melanggar piagam tersebut hendaknya cepat angkat kaki dari tanah Madinah.
Baca Juga: Memahami Islam Sebagai Agama Toleransi
Beda dulu, beda sekarang, kini banyak generasi Islam yang mulai mengkaburkan arti toleransi dengan dalih menjaga keutuhan umat beragama. Kita bisa melihat pada realita yang ada, bagaimana umat Islam dengan mudahnya mengucapkan selamat hari Natal, selamat tahun baru Masehi kepada penganut Kristen, bahkan tidak jarang mereka sampai ikut-ikutan memakai topi ala Sinterklas, meniup terompet di malam tahun baru Kristen dan juga lumrah kita lihat muda mudi Islam memberikan kado cokelat pada kekasih mereka demi meramaikan hari Valentine, hingga perayaan yang dilakukan melebihi orang Kristen itu sendiri.
Dalam pandangan syariat Islam praktek toleransi seperti di atas tidaklah dibenarkan dan bahkan haram, hingga menjerumuskan pada jurang kekufuran apabila disertai meyakini apa yang diyakini orang-orang Non-Muslim tersebut. Larangan tersebut juga tersurat dalam hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi dari Umar bin Khatthab, beliau berkata, “Jangan kalian memasuki gereja-gereja pada hari raya orang musyrik, karena kemurkaan Allah sedang turun kepada mereka dan jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari raya mereka. (Sunan al-Baihaqi, atsar no. 19333 dan 19334).
Dan terdapat pendapat lain dari imam Khatib as-Syirbini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj yang berbunyi;
وَيُعَزَّرُ مَنْ وَافَقَ الْكُفَّارَ فِي أَعْيَادِهِمْ, وَمَنْ هَنَّأَهُ بِعِيْدِهِ
Dihukum ta’zir mereka yang berpartisipasi dengan kaum kafir pada hari-hari raya mereka dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di hari raya mereka.
Dari pendapat di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa ajaran Islam bukan melarang penganutnya bertoleransi, tapi hanya lebih mengedepankan batasan toleransi itu sendiri, karena toleransi dalam Islam bukan ikut-ikutan meramaikan upacara agama non-muslim hingga menjerumuskan dirinya keluar dari agamanya, tapi toleransi adalah dengan tidak mengganggu ritual agama lain, dan tidak memaksa non-muslim untuk ikut dan masuk ke agama Islam. Dalam hal ini sikap kehati-hatian sangat dituntut agar semua perilaku dan ucapan kita tidak bertentangan dengan akidah Islam. Oleh sebab itulah, Fatwa MUI pada tahun 1981 menekankan “Agar tidak tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal,” demikian Fatwa MUI. Perkara syubhat yang wajib dihindari salah satunya memberi ucapan selamat untuk hari raya keagamaan non-muslim. Wallahu a’lam
M. Ulin Nuha | Annajahsidogiri.id