Kali ini, kita akan membeberkan sebagian syubhat nash dalam Al-Qur’an dan hadis yang sering kali disalah pahami oleh sebagian kalangan umat Muslim dari neo-Hasyawiyah atau Wahabi, yaitu ayat tentang wajhullah, ‘ain, nafs, yad, kaff, sa’id, usbu‘, anâmil, janb, sâq, rijl, dan qadam. Dua belas anggota ini termaktub dalam Al-Qur‘an juga hadis dan dinisbatkan pada Allah.
Dalam memahami tekstual nash, mereka berpendapat bahwa Allah memiliki anggota-anggota tersebut namun tidak sama dengan anggota kita. Tentunya ini salah, karena menetapkan bahwa Allah ber-jism hanya saja berbeda dengan kita. Itu sama halnya dengan mengatakan ayam memiliki kaki tetapi tidak sama dengan kaki yang kita miliki. Untuk lebih lanjut, mari kita simak pembahasan berikut:
الوَجْهُ
Dalam berhujah menetapkan wajh bagi Allah, kelompok Mujasimah (Haswiyah dan Wahabi) sering menggunakan ayat berikut:
وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِ (الرحمن: [٥٥]: ٢٧)
“Tetapi wajh Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman [55]: 27)
Beberapa ayat lain juga meyebutkan lafaz wajh yang tersandar kepada Allah. Di antaranya, QS. Al-Qasas [28]: 88, QS. Al-Kahf [18]: 28, QS. Al-An‘am [26]: 52, QS. Al-Baqarah [02]: 115, QS. Ar-Rum [30]: 38, QS. Ar-Rum [30]: 39, QS. Al-Insan [30]: 09 dan QS. Al-Lail [92]: 20.
Selain ayat-ayat di atas, Rasulullah pula banyak menyebut kalimat wajh. Misalnya dalam hadis berikut:
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ مِثْلَ الْقَائِمِ الْمُصَلَّى حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ (رواه مسلم)
“Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah, mengharap wajhillah, ibarat orang yang melaksanakan shalat, sampai mereka pulang.” [1]
Ulama Ahlusunah mempraktikan tafwidh atau takwil dalam memahami nash mutasyâbihât (nash yang maknanya samar). Bertapakkan sifat Allah mukhâlafatun lil- Hawâdits, para ulama tidak menetapkan wajah (yang berarti suatu anggota badan) kepada Allah. Sebab jika demikian, secara terikat, niscaya Allah sama dengan makhluknya. Sedangkan Allah telah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (الشورى [٤٢]: ١١)
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. As-Syura [42]: 11).
Di samping uraian pendek di atas, jika redaksi wajh diartikan sebagai sebuah anggota yang dimiliki Allah maka akan terjadi beberapa kekacauan konsep ideologi ketuhanan. Sebagaimana berikut:
Pertama
Dalam surah al-Qasas, Allah berfirman:
كُلُّ شَىۡءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجۡهَه (القصص [٢٨]: ٨٨)
“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajh Allah.” (QS. Al-Qashash [28]: 88)
Jika kita megikuti pemikiran Wahabi atau Hasyawiyah maka ayat di atas akan dipahami bahwa semua anggota yang Allah miliki bisa hancur kecuali wajah-Nya saja.
Kedua
Dalam beberapa ayat, lafaz wajh ternyata lebih pantas diartikan dengan Dzat Allah seperti:
وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِ (الرحمن [٥٥]: ٢٧)
“Wajh Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman [55]: 27)
Lafaz “وَجْهُ” yang disifati oleh lafaz “ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِ” yang berarti keagungan dan kemuliaan yang keduanya bukan hanya tertentu pada wajh saja, bahkan Dzat Allah pun agung dan mulia.
Ketiga
jika tetap memaksakan lafaz “wajh” sebagaimana literalnya, maka akan terdapat kerancuan fatal di saat kita memahami ayat 115 dari surah al-Baqarah berikut:
وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (البقرة [٢]: ١١٥)
“Dan milik Allah Timur dan Barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [02]: 115)
Ayat di atas, bisa-bisa dipahami bahwa Allah memiliki banyak wajah di segala penjuru, dan tentu ini jelas keliru.
Sebagai konklusi dari uraian yang sedikit ini, bahwa tak bisa kita mengartikan nash secara literal lafaz saja, lebih-lebih dalam ayat-ayat mutasyâbihat, sebagaimana pertimbangan di muka. Maka dari itu, menurut Imam Fakhrudin ar-Razi, mayoritas ayat ataupun hadis yang memakai lafaz “wajh” yang disandarkan pada Allah, memiliki makna “Dzat Allah” dan “rida Allah”.[2]
Ahmad Kholil | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Imam Fahrudin ar-Razi, Ta’sîsut-Taqdîs, hlm. 292
[2] Al-Imam Fahrudin ar-Razy, Ta’sis at-Taqdis.hal.297, cetakan:Al-Azhar as-Syarif Majmu’ al-Buhus al-Islamiyah