Sahabat #SerialAkidahAwam sekalian, setelah selesai membahas sifat wajib dan jaiz bagi Allah ﷻ, Syekh Ahmad al-Marzuqi melanjutkan nazamnya dengan pembahasan sifat wajib bagi para utusan Allah. Hal tersebut terangkum dalam nazam yang berbunyi:
أَرْسَـلَ أَنْبِيَا ذَوِي فَـطَـانَـهْ * بِالصِّـدْقِ وَالتَـبْلِـيْغِ وَاْلأَمَانَهْ
“Allah telah mengutus para nabi yang memiliki 4 sifat yang wajib, yaitu cerdas, jujur, menyampaikan (risalah), dan amanah.”
Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitab Kubrâl-Yaqîniyyât al-Kauniyyatnya menjelaskan siapa yang dimaksud nabi dan rasul:
“اِنْسَانٌ أَوْحَى اللهُ اِلَيْهِ بِوَاسِطَةِ جِبْرِيْلَ أَنْ يُبَلِّغَ عَامَّةَ النَّاسِ أَوْ فِئَةً مِنْهُمْ أَمْرًا مِنْ قِبَلِ اللهِ جَلَّ جَلَالُهُ, فَاِنْ أَوْحَى اللهُ اِلَيْهِ بِأَمْرٍ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِتَبْلِيْغِهِ فَهُوَ نَبِيٌّ فَقَطْ”
“(Rasul adalah) manusia yang mendapat wahyu dari Allah ﷻ melalui perantara malaikat Jibril untuk menyampaikan sesuatu (syariat) Allah ﷻ kepada seluruh manusia atau suatu golongan. Jika Allah memberinya wahyu, namun tidak memerintahnya untuk menyampaikan, maka dia hanya menjadi seorang nabi (bukan menjadi rasul).”[1]
Maka dari itu, setiap rasul itu pasti nabi, sedangkan nabi belum tentu menjadi rasul. Sebab, rasul adalah seorang nabi yang mendapatkan perintah untuk menyampaikan risalah dari Allah kepada umat, sedangkan nabi belum tentu mendapatkan perintah untuk menyampaikannya.
Sebagai manusia pilihan, tentu para nabi dan rasul memiliki sifat-sifat istimewa yang tidak dimiliki manusia biasa. Sifat-sifat tersebut adalah sifat yang wajib bagi mereka dan kita wajib mengimaninya. Ada empat sifat yang wajib mereka miliki sebagaimana terangkum dalam nazam di atas. Adapun perinciannya sebagai berikut:
1- Fathanah (cerdas)
Sifat fathânah yang wajib bagi para utusan adalah kecerdasan dan daya ingat yang kuat untuk menundukkan para musuh dan membungkam argumen-argumen batil mereka.[2] Allah berfirman dalam surah Al-An’am ayat 83:
وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ اٰتَيْنٰهَآ اِبْرٰهِيْمَ عَلٰى قَوْمِهٖۗ نَرْفَعُ دَرَجٰتٍ مَّنْ نَّشَاۤءُۗ اِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ
“Itulah hujah yang Kami anugerahkan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An‘âm [6] : 83).
Dalam surah Hud Allah berfirman:
قَالُوْا يٰنُوْحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَاَ كْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ
“Mereka berkata, ‘Wahai Nuh, sungguh engkau telah berbantah dengan kami dan engkau telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami. Maka, datangkanlah kepada kami azab yang engkau ancamkan’.” (QS. Hûd [11]: 32).
Dalam surah An-Nahl disebutkan:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl [16]: 125).
Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang kecerdasan luar biasa dari para nabi dan rasul. Sebab, jika mereka tidak cerdas, mereka tidak akan mampu untuk menundukkan dan mematahkan argumen-argumen sesat para musuh.
2- Shidq (jujur/benar)
Arti shidq bagi para nabi dan rasul adalah semua kabar yang dibawa oleh mereka pasti sesuai dengan kenyataan.[3] Maka dari itu, para nabi mustahil bersifat kidzb (berbohong atau berdusta) karena kidzb merupakan perbuatan dosa, sedangkan para nabi itu mustahil berbuat dosa. Allah berfirman dalam surah Al-Ahzab:
وَصَدَقَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ
“Benarlah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 22).
Allah menyebutkan dalam hadis qudsi-Nya:
صَدَقَ عَبْدِي فِي كُلِّ مَا يُبَلِّغُ عَنِّي
“Hamba-Ku (nabi) benar dalam segala yang ia sampaikan dari-Ku.”[4]
Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa Allah membenarkan para utusan-Nya, seandainya para utusan berbohong niscaya kabar yang Allah sampaikan adalah suatu kebohongan. Dan tentu, hal itu mustahil bagi Allah ﷻ.
3- Tabligh (menyampaikan)
Makna tabligh yang wajib bagi para utusan adalah mereka pasti menyampaikan semua perkara yang Allah perintahkan untuk disampaikan kepada umatnya, baik berupa hukum-hukum atau wahyu yang Allah ﷻ turunkan pada mereka.[5] Mengenai sifat ini, perlu diketahui bahwa sifat ini hanya dimiliki oleh para rasul; tidak dimiliki oleh para nabi sebagaimana telah dipaparkan di muka.
Karena itu, para rasul mustahil memiliki sifat kitmân (menyimpan). Sebab, jika mereka menyimpan suatu perkara yang diperintahkan untuk disampaikan, niscaya penegakkan hujah pada umat manusia tidak akan berjalan secara sempurna, sehingga tugas mereka untuk menyelamatkan umat manusia juga tidak akan berjalan dengan sempurna. [6] Tentu, hal tersebut adalah perkara yang mustahil.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗوَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika engkau tidak melakukan (apa yang diperintahkan itu), berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjaga engkau dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 67).
4- Amanah (terpercaya)
Para rasul juga wajib bersifat amanah (maksum), yaitu secara zahir dan batin, mereka terjaga (tidak mungkin) untuk melakukan segala perkara yang dilarang, meskipun hal itu berhukum khilâful-aulâ (menyalahi yang lebih utama), baik di saat mereka masih kecil atau sudah dewasa, baik sebelum diangkat menjadi nabi ataupun setelahnya.[7]
Semua hal yang dikerjakan oleh para utusan hanya berputar dalam perkara yang hukumnya wajib atau sunah, sedangkan pekerjaan yang sifatnya haram, makruh atau khilâful-aulâ itu tidak akan mereka kerjakan. Jika memang ada beberapa hal di atas yang mereka kerjakan, maka hal itu hanya sebagai penjelas bahwa hal itu berhukum mubah (boleh).[8]
Adapun setiap pekerjaan yang dapat menimbulkan praduga maksiat maka harus dita’wil bahwa pekerjaan tersebut adalah masuk dalam konteks Hasanâtul-Abrâr Sayyiâtul-Muqarrabîn, sebab sifat amanah para utusan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Allah ﷻ berfirman dalam surah Asy-Syu‘arā’:
اِنِّيْ لَكُمْ رَسُوْلٌ اَمِيْنٌ
“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul terpercaya (yang diutus) kepadamu.” (QS. Asy-Syu‘arâ’ [26]: 107).
فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوْنِۚ
“Maka, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (QS. Asy-Syu‘arā’ [26]: 108).
Sekian untuk tulisan kali ini, semoga bisa bermanfaat untuk kita semua baik di dunia begitupun di akhirat nanti, Âmîn yâ Rabbal-‘Âlamîn.
Muh. Shobir Khoiri | Annajahsidogiri.id
[1] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Kubrâl-Yaqîniyyât al-Kauniyyât, hlm. 184.
[2] Dr. Muhammad bin Ali Ba‘athiyyah, Mûjazul-Kalâm Syarhu ‘Aqîdatil-Awâm, hlm. 89.
[3] Ibid., 90.
[4] Ibid., 90.
[5] KH. Qoimuddin, Minhatul-Hamîd Syarhu Jauharatit-Tauhîd, hlm. 121.
[6] Syaikh Muhammad al-Hanithi al-Hulay, al-Minhâjus-Sadîd fî Syarhi Jauharatit-Tauhîd, hlm. 65.
[7] Dr. Muhammad bin Ali Ba‘athiyyah, Mûjazul-Kalâm Syarhu ‘Aqîdatil-Awâm hlm.92.
[8] Ibid., 92