Kajian mengenai posisi akal dalam Islam memang menjadi sesuatu yang urgen. Banyak masyarakat atau bahkan tokoh sekalipun yang salah paham mengenai hal tersebut. Akibatnya, muncul dua kubu; kelompok yang melampaui batas dalam menggunakan akal, hingga menabrak nas dan kelompok yang terlalu kaku terhadap nas hingga meninggalkan akal sepenuhnya.
Kedua-duanya merupakan hal yang keliru. Menggunakan akal dengan melampaui batas adalah keliru karena terlalu mendewakannya sampai menabrak nas yang bertentangan dengan akal. Begitu juga, terlalu kaku terhadap nas sehingga tidak menggunakan akal adalah keliru karena dalam beberapa ajaran Islam terdapat dalil yang menggunakan akal yang disebut dengan dalil ‘aqlî.
Oleh karena itu, dalam hal ini Ahlusunah menjadi penengah dari kedua kubu yang bertentangan; tidak terlalu berlebihan hingga menabrak nas dan tidak terlalu kaku hingga mengabaikan akal.
Lalu, bagaimana sebenarnya penerapan akal dalam Islam serta penggunaannya agar sesuai dengan porsinya? Mari perhatikan uraian berikut ini:
Posisi Akal dalam Islam
Mengenai pembahasan ini, kami lebih tertarik mengkajinya menggunakan kitab fenomenal yakni al-Iqtishâd fil-I’tiqâd, karya Imam Hujjatul-Islâm al-Ghazali. Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan bahwa umûr (sesuatu) itu terbagi menjadi dua:
1. Aksioma
Yakni sesuatu yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Contoh mudahnya, seperti hitungan satu tambah satu sama dengan dua.
2. Non Aksioma
Yakni sesuatu yang tidak bisa diterima sebagai kebenaran kecuali dengan adanya pembuktian. Pembagian kedua ini oleh beliau dibagi menjadi tiga bagian:
Pertama, Perkara yang Dapat Diketahui dengan Akal Saja
Yakni sesuatu yang hanya bisa diketahui melalui akal saja. Tidak dapat diketahui melalui syariat.
Misalnya, mengetahui bahwa alam itu hâdits (baru). Hal tersebut merupakan pengetahuan yang diperoleh menggunakan akal. Jika kita tahu bahwa alam ini berubah-ubah, seperti siang dan malam yang selalu berganti setiap hari, maka akal kita akan menyimpulkan bahwa alam itu baru. Sebab, sesuatu yang berubah-rubah pasti baru.
Kedua, Perkara yang Dapat Diketahui Hanya dengan Nas Syariat Saja
Yakni sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh akal, dan hanya bisa diketahui melalui nas-nas syariat. Pembagian ini khusus terhadap hal-hal ghaibiyyât (gaib) seperti, pahala, siksa, surga, dan neraka.
Oleh karena itu, mempercayai adanya hal gaib hanya bisa diperoleh melalui nas-nas yang ada atau dengan memperoleh ilham dari Allah, bukan dengan akal.
Ketiga, Perkara yang Dapat Diketahui Melalui Akal dan Nas Syariat
Dalam pembagian terakhir inilah, al-Imam al-Ghazali sangat lebar dalam menjelaskannya. Beliau menjelaskan bahwa ketika datang suatu ketetapan dari syariat, maka harus meninjau beberapa tinjauan terlebih dahulu untuk kemudian membenarkannya:
Pertama, jika memang ketetapan syariat tersebut diterima oleh akal, maka diperinci: jika dalilnya qat’î, maka wajib membenarkannya secara qat’î. Begitu juga, jika dalilnya zhannÎ maka wajib membenarkannya secara zhannî.
Kedua, jika memang ketetapan syariat tersebut dianggap mustahil oleh akal. Dalam artian, akal menganggap bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi. Maka, wajib untuk menakwilnya. Sebab, tidak mungkin syariat yang merupakan wahyu dari Allah menyalahi akal.
Oleh karena itu, ketika terdapat syariat yang tidak diterima akal, maka bisa jadi akalnya yang tidak mampu menjangkaunya. Sehingga, syariat tersebut harus ditakwil.
Ketiga, jika memang ketetapan syariat tersebut dianggap mauqûf oleh akal, artinya akal tidak menganggap hal itu boleh terjadi, tapi juga tidak menganggapnya mustahil. Maka wajib untuk membenarkan syariat itu.[1] Karena, dengan keberadaan nas syariat saja sudah cukup untuk membenarkannya, Tidak memerlukan keputusan akal bahwa hal tersebut boleh terjadi.[2]
Dari pemaparan di atas, seharusnya sudah cukup bagi kita untuk memahami porsi dan posisi akal dalam hukum Islam. Kapan seharusnya akal dijadikan pedoman? Dan kapan seharusnya akal harus tunduk dan patuh kepada nas? Sehingga tidak terlalu kaku atau terlalu kebablasan dalam menggunakan akal. Wallâhu a‘lam bish-shawâb.