Konsep iman bukanlah sekadar keyakinan, melainkan pondasi yang mendalam dalam perjalanan spiritual manusia. Artikel ini akan menjelaskan esensi dan makna di balik iman, serta bagaimana konsep ini bukan hanya keyakinan semata, tetapi juga menjadi sumber kekuatan dan panduan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Dikutip dari kitab Syarh as-Shawi ‘alā Jauharah al-Tauhīd, iman dalam bahasa memiliki makna tasdīq atau murni membenarkan. Namun, menurut ulama mutakallimin, iman mengandung makna yang lebih dalam, yakni membenarkan segala ajaran yang dibawa oleh Rasul ﷺ. Ajaran tersebut dipahami secara spontan, mencakup praktik-praktik seperti shalat, puasa, zakat, dan segala aspek yang jelas dan tidak samar, baik bagi orang awam maupun yang berilmu[1].
Dalam kerangka pemahaman yang telah diuraikan sebelumnya, konsep Iman mengungkapkan bahwa esensinya terletak pada pembenaran, di mana walaupun tindakan belum terwujud, adanya proses pembenaran dalam hati, sudah dianggap cukup untuk menyifati seseorang sebagai beriman. Hal ini memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan konsep Islam, di mana seseorang dapat disebut sebagai Muslim hanya jika ia mewujudkan apa yang diyakininya. Dengan kata lain, jika Iman mencerminkan pembenaran dalam hati, maka Islam melibatkan pembenaran melalui tindakan atau perilaku.
Baca Juga: Cara Beriman Kepada Takdir Allah
Dalam konteks penjelasan di atas, terungkap bahwa konsep iman mencakup pembenaran terhadap hal-hal yang diketahui secara spontan saja. Oleh karena itu, aspek-aspek yang mungkin terasa samar bagi orang awam tidak diwajibkan untuk dibenarkan bagi seseorang yang ingin mendapat predikat beriman. Hal ini mencakup pengetahuan mendalam seperti ilmu faraid, total jumlah nabi dan malaikat, serta berbagai aspek lain yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mendalami lautan ilmu aqidah. Dengan demikian, iman yang sempurna tidak hanya melibatkan keyakinan, tetapi juga menuntut pemahaman mendalam terhadap aspek-aspek ajaran yang dianggap kompleks bagi banyak orang.
Iman memiliki dua dimensi yang perlu dipahami, yaitu dimensi global atau ijmāli, dan dimensi perinci atau tafsili. Secara global, iman mencakup keyakinan tanpa perlu memahami secara rinci, seperti iman terhadap adanya malaikat dan nabi, tanpa harus mengetahui jumlahnya secara pasti. Sementara itu, dimensi perinci atau tafsili menuntut pemahaman yang lebih mendalam, di mana seseorang diwajibkan untuk mengimani secara spesifik setiap Individu secara khusus yang masyhur. Contohnya, jika kita berbicara tentang nabi, kita diwajibkan untuk mengimani keberadaan 25 nabi, begitu pula dengan malaikat yang diimani dalam jumlah spesifik, yaitu 10[2].
Dari penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa konsep iman melibatkan dimensi yang lebih luas daripada sekadar keyakinan. Iman berfungsi sebagai fondasi yang kuat. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap iman tidak hanya terbatas pada tingkat keyakinan biasa, melainkan mencakup pembenaran terhadap setiap elemen yang diakui dalam ajaran agama. Meskipun belum diwujudkan secara fisik, proses pembenaran dalam hati ini dianggap memadai untuk menunjukkan karakter beriman. Perbedaannya dengan konsep Islam menjadi terlihat, di mana Islam menekankan perwujudan keyakinan melalui perbuatan yang nyata. Wassalam
Salman Ar-Ridlo | Annajahsidogiri.id
[1] Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Maliki ash-Shawi, Syarh as-Shawi ‘alā Jauharah al-Tauhīd hlm. 131, dar ibnu katsir.
[2] Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Maliki ash-Shawi, Syarh as-Shawi ‘alā Jauharah al-Tauhīd hlm. 131-132, dar ibnu katsir.