Ketika seorang manusia menyadari bahwa keberadaannya hanyalah hamba yang diciptakan, melalui sifat-sifat tuhan maupun karakteristik manusianya sendiri, maka saat itu pula dia akan sadar bahwa sebagai hamba, pasti terdapat objek atas keberhambaanya. Pada saat itu jugalah cahaya iman akan menerangi sanubarinya. Iman merupakan hal yang paling mendasar dalam beragama. Setiap agama pasti mengajak dan mengajarkan untuk mengimani tuhannya. Seseorang tidak akan memeluk suatu agama jika tidak memiliki iman atau keyakinan terhadap agama tersebut.
Dalam islam, umat muslim selalu ditanamkan nilai-nilai keimanan bahkan sejak mereka masih kecil. Masa kecil adalah masa di mana seseorang tumbuh dengan menyerap segala hal, baik pengetahuan, budaya dan akhlak atau budi pekerti melalui lingkungan dan orang- orang di sekitarnya. Hal ini memberikan penjelasan bahwa iman merupakan pondasi paling dasar dalam beragama. Sebab sesuatu akan tertancap dengan kuat dalam benak manusia jika hal itu di ajarkan sejak kecil. Ketika iman yang mana adalah pondasi terbangun dengan kokoh, maka pelaksanaan doktrin atau ajaran agama akan berjalan dengan benar sesuai dengan tuntunan agama itu dalam kehidupan seseorang tersebut.
Dalam diskusi kali ini, penulis mencoba sedikit menguraikan tentang iman dan hal yang terkait dengannya.
Definisi Iman
Iman secara bahasa adalah Mutlaqu-Tashdîq (مطلق التصديق) atau membenarkan secara mutlak. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana yang dituturkan oleh imam Al-Baijuri:
تصديق النبي صلى الله عليه وسلم في كل ما جاء به
“membenarkan nabi Muhammad ﷺ beserta kabar yang datang bersamanya” [1]
Maksud dari tashdîq-Nabî adalah menerima dan mematuhi segala sesuatu yang datang dari Nabi ﷺ baik itu tentang ketuhanan, sam’iyyat, dan hukum syariat yang berisi perkara wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
baca juga: Apa itu Iman?
Membenarkan Nabi ﷺ tidak bisa diartikan dengan membenarkan dalam hati saja, tanpa ada bukti kepatuhan berupa menerima dan melaksanakan segala sesuatu yang datang bersama Nabi ﷺ. Sebab hal ini dapat berdampak pada menghukumi sahnya iman orang-orang kafir yang mengetahui hakikat dan kebenaran nubuwwah dan risalah Nabi Muhammadﷺ namun menolak apa yang datang bersama Nabi ﷺ. Sebagaimana yang Allahﷻ firmankan dalam surah Al-Baqarah ayat 146 yang berbunyi:
ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡرِفُونَهُۥ كَمَا يَعۡرِفُونَ أَبۡنَآءَهُمۡۖ
“orang-orang ahli kitab mengetahui (Muhammadﷺ) sebagaimana mereka mengetahui terhadap anak-anak mereka”
Hal ini dipertegas pula dengan ucapan sahabat Abdullah bin salam tentang sifat Nabi ﷺ:
لقد عرفته حين رأيته كما أعرف إبني, ومعرفتي لمحمد أشد
“Sungguh aku aku benar-benar mengetahui (mengenal) Muhammad ﷺ ketika aku melihatnya, bahkan pengetahuan itu melebihi pengetahuanku terhadap anakku”.[2]
Abdullah bin salam adalah nama dari salah satu sahabat Nabi ﷺ. Sebelum masuk islam, beliau merupakan salah satu tokoh orang Yahudi Madinah. Beliau mengetahui Nabi Muhammad ﷺ berdasarkan ciri-ciri dan sifat Nabi yang disebutkan dalam kitab tauratnya.
Moch. Muzakki Zen | AnnajahSidogiri.id
[1] Al-Baijuri, Tuhfatul-murîd, hal. 60, cet. Darul kutub islamiyah.
[2] As-Shawi, Hasyiatus-Shâwi ala tafsir jalalain, juz 1, hal. 97, cet. Al-Haromain.