لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُم بَعْضًا ۚ
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)” (QS. an-Nur [24: 63)
Ayat di atas secara implisit memerintahkan kita untuk selalu menghormati Nabi ﷺ dan memuliakannya, terutama dalam segi penyebutan namanya. Maka ketika kita ingin meyebut nama Nabi Muhammad ﷺ, kita tidak boleh menyebut namanya saja, seperti ketika kita ingin menyebut nama teman-teman kita pada umumnya, akan tetapi kita harus pula menyertakan kata-kata yang mengandung makna memuliakan dan mengagungkan sang Baginda ﷺ.
Anehnya, sekte Salafi-Wahabi ternyata melarang kita men-tasyid (menambah kata sayyid) pada Nabi Muhammad ﷺ. Jadi, kata “Sayyidina Muhammad ﷺ” yang sering kita ungkapkan ketika menyebut nama beliau, tidak diperbolehkan sama mereka, dan bahkan dianggap Bidah Dhalalah jika hal tersebut dilakukan di dalam shalat, tepatnya dalam Shalawat Ibrahimiyah yang kita baca ketika Tasyahud Akhir, sebab mereka menyangka bahwa Tasyidur Rasul itu tidak pernah disyariatkan. As-Syekh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya, Shifatu Shalatin-Nabi Muhammad minat-Takbir ilat-Taslim (hal. 191) mengutarakan perkataan yang ditukil dari al-Imam al-Hafiz Ibnu Hajar Rahimahullah;
“Di dalam sholawat ibrahimiyah tidak ada lafadz siyadah (sayyid), sehingga ulama yag tidak mensyariatkan lafadz tersebut dalam sholawat ibrahimiyah, memang benar-benar mereka mengikuti ajaran sang baginnda, yang telah di sampaikan pada umatnya secara sempurna.” Lalu iapun mengatakan;
Baca Juga: Kenabian Nabi Adam
إن ابن حجر سئل عن وصف الرسول صلى الله عليه وسلم بالسيادة, وأيهما أفضل, الإتيان بلفظ السيادة أو عدم الإتيان ؟ فأجاب ابن حجر, نعم, إتباع الألفاظ المأثورة أرجح.
“Ibnu Hajar ditanya tentang penyebutan Nabi Muhammad ﷺ dengan sebutan ‘pemimpin’ (as-Sayyid), mana yang lebih baik, apakah menyebut dengan kata ‘sayyid ‘ atau tidak menyebutnya? Ibn Hajar menjawab: ‘Ya, mengikuti lafaz-lafaz yang diriwayatkan (dalam hadits) itu lebih utama.”
Menanggapi hal tersebut, as-Syekh Abdul Qadir Dayyab dalam kitabnya, al-Mizan al-Adil (hal. 315) mengatakan; Adapun apa yang di utarakan Albani dalam kitabnya itu tidaklah benar, karena beliau mengatakan bahwa Ibnu Hajar berpendapat bahwa Tasyidur Rasul itu tidaklah di syariatkan, padahal Ibnu Hajar hanya mengatan tentang yang lebih utama saja, dan beliau tidak sampai mengatakan seperti apa yang al-Albani sangka.
Namun kendati demikian, ternyata disamping mereka melarang tasyid pada Nabi ﷺ, mereka malah sering men-tasyid para pembesar-pembesar mereka, seperti kata sambutan as-Syekh Nasir ar-Rifai dalam salah satu karyanya, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir;
إلى سيدي ومولي أمير المؤمنين خادم الحرمين جلالة الملك فيصل بن عبد العزيز آل السعود المعظم.
Artinya; Ke paduka Tuan dan Penguasa kami, Amirul Mukminin, Pelayan Haramain, Yang Mulia Raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud.
Baca Juga: Menolak Larangan Menyebut “Sayyidina”
Adapun pendapat Aswaja sendiri, sebagian besar Ulama Mutaakhirin mengatakan bahwa tasyidur rasul itu sunah dilakukan, mengingat bahwa hal tersbut juga termasuk salah satu tanda penghormaan kita pada sang Baginda ﷺ yang diwajibkan oleh Allah ﷻ, sebagaimana firman-Nya yang telah kami cantumkan di muka.
Dalam QS. Al-Imran [3]: 39 Allah ﷻ juga berfirman;
أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِّنَ الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi pemimpin, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”.
Kesimpulan yang bisa kita ambil, Kalau kepada Nabi Yahya saja Allah ﷻ men-tasyid, apalagi pada Nabi Muhammad ﷺ, yang tentunya Nabi Muhammad ﷺ lebih mulia dari pada Nabi Yahya dan dari pada nabi-nabi yang lainnya.
Muhammad Hafidz | Annajahsidogiri.id