Dalam tatanan agama Islam, ada tiga pilar utama yang mesti untuk dipegang teguh bagi setiap pemeluknya. Tiga pilar itu jamak disebut dengan Akidah, Syariat dan Akhlak; Tauhid, Fikih dan Tasawuf. Berbicara tentang Tasawuf, pasti yang tergambar dalam benak pembaca adalah seorang yang zuhud, sufi, ahli dzikir dan dekat dengan Sang Penciptanya. Hal semacam ini pun menjadi ciri khas tersendiri bagi orang yang ingin mencapai derajat makrifatillah. Memang benar kenyataannya, selain dituntut tunduk patuh kepada undang-undang syariat dan memantapkan keyakinan pada ideologi yang benar, kita sebagai pemeluk agama Islam dituntut untuk merealisasikan pilar yang nomor tiga, yaitu Tasawuf. Namun penulis melihat, untuk bisa mencapai tingkat Tasawuf (sufi) membutuhkan kesungguhan yang ekstra, sebab derajat ini hanya bisa dicapai oleh segelintir kalangan; nabi, rasul, wali-wali Allah, para Shahabat Nabi dan para ulama. Salah satu kepingan ajaran Tasawuf ialah tarekat. Agar lebih faham, mari kita simak kajian berikut ini.
Definisi dan Hukum Menggeluti
Tarekat adalah melaksanakan kewajiban dan kesunahan, meninggalkan larangan, menghindari perbuatan sunah yang tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam menjaga diri dari perkara syubhat dan menjalani gerak batin (riyâdhah) sebagaimana yang dilakukan oleh orang warak. Misalnya, beribadah sunah di malam hari, berpuasa sunah dan tidak mengucapkan kata-kata yang tidak baik. Definisi ini sebagaimana yang termaktub di dalam kitab Murâqqi al-Ubûdiyah fÎ Syarhi Bidâyatil Hidâyah. Simpelnya, tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Maka lahirlah tarekat. Tarekat ini menempati suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribath.
Baca Juga: Syariat dan Hakikat tidak Bisa Dipilah-pilih
Perihal hukum berkecimpung di dalam tarekat, merujuk kepada kitab al-Ma’ârif al-Muhammadiyah, berhukum sunah apabila bermaksud melaksanakan dzikir dan wirid khusus agar lebih dekat lagi kepada Allah.
Pindah Antar Tarekat
Ulama masih bersilang pendapat mengenai hukum ini. Dalam kitab Fatâwa al-Haditsiyah, ada sebagian pendapat yang berkata haram pindah ketika sudah nimbrung di dalam sebuah tarekat. Tinjauan haram ini, jika sang mursyid berkarakter arif dan adil. Sedangkan definisi arif di sini, sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Syarh ad-Dardir ‘alal–Kharidah al–Bahiyah, adalah orang yang meyakini dan mengamalkan hukum-hukum syariat secara lahir dan batin. Lain halnya dengan pendapat yang tertulis di dalam kitab Majmû’atur Rasâil, bahwa pindah antar tarekat masuk ke dalam frame sunah. Dengan catatan, apabila ia sudah pindah dari tarekat lama ke tarekat yang baru maka ia harus punya komitmen, konsisten serta istikamah menekuni tarekatnya yang baru.
Ragam Macam Tarekat
Ada dua macam tarekat; mu’tabarah (legal) dan ghairu mu’tabarah (ilegal). Barometer lain untuk menentukan mu’tabarah atau tidaknya suatu tarekat adalah dalam pelaksanaan syariat. Dalam semua tarekat mu’tabarah, syariat dilaksanakan secara benar dan ketat. Menurut Syekh Jalaluddin, terdapat empat puluh satu jenis tarekat yang masuk ke dalam tarekat mu’tabarah, di antaranya: Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syâdziliyah, Rifâ’iyah, Qubrâwiyah, Suhrawardiyah, Khalwatiyah, Alawiyah, Syatariyah, Aidrusiyah, Sammâniyah, dan Sanusiyah. Di luar empat puluh satu macam tersebut, dipandang sebagai tarekat ghairu mu’tabarah yang tidak diakui kebenarannya seperti Tarekat Akmaliyah, Siddiqiyah, dan Wahidiyah.
Baca Juga: Pembagian Hukum Syariat, Akal dan Adat
Eksistensi tarekat memang sangat urgen dalam ajaran Islam. Karena dengan menggelutinya, kita dapat lebih dekat kepada Allah SWT lewat perantara wirid dan doa khusus yang telah direkomendasikan oleh mursyid masing-masing tarekat. Walhasil, karena tarekat memiliki banyak manfaat maka di balik layarnya terpendam seonggok makrifat.
Ali Abdillah | Annajahsidogiri.id
Comments 0