Dalam sejarahnya, salat diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad kepada para sahabat melalui praktik. Beliau melakukan salat, lalu para sahabat mencontoh praktik salat Nabi Muhammad. Kegiatan belajar-mengajar melalui praktik ini, terkandung dalam sabda Nabi Muhammad, yang berbunyi:
صلُّوا كما رأيتموني أُصلِّي
“Salatlah sebagaimana kalian melihatku salat”
Hadis ini menunjukkan bahwa pengajaran salat memang melalui meniru praktik salat Rasulullah secara langsung. Kaifiah yang ada, muncul lantaran melihat dan menirukan salat Nabi Muhammad. Sehingga tidak benar bila dikatakan bahwa kaifiah yang ada merupakan proses budaya.
Lantas, mengapa terjadi khilaf dalam urusan kaifiah, apakah berarti para sahabat tidak mengetahui kepada kaifiah salat Nabi Muhammad? Mengenai perbedaan pendapat, bukan berarti tidak tahu kepada praktik salat nabi. Justru karena mengetahui praktik, terjadilah khilaf. Semisal, dalam urusan ikamah salat. Perbedaan ulama, malah dikarenakan mengetahui praktik salat nabi. Sahabat Jabir bin Samurah suatu saat menceritakan Rasulullah ketika hendak salat. Beliau bercerita:
كَانَ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– يُمْهِلُ فَلاَ يُقِيمُ حَتَّى إِذَا رَأَى رَسُولَ اللهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– قَدْ خَرَجَ أَقَامَ الصَّلاَةَ حِينَ يَرَاهُ.
“Kebiasaan muazin Rasulullah menunggu, sehingga ia tidak mengumandangkan ikamah sampai ia melihat Rasulullah keluar (dari rumahnya). Ia mengumandangkan ikamah saat melihat nabi”
(HR. At-Tirmidzi)
Dalam cerita tersebut, praktik salat jemaah Nabi Muhammad dengan para sahabat memang menggunakan ikamah. Ulama yang berbeda pendapat perihal ikamah, tentu mengetahui hadis itu. Nah, justru lantaran mengetahui hadis tersebut, ulama berbeda pendapat. Dalam bal ini setidaknya ada tiga pendapat.
Pendapat pertama menyatakan, ikamah berhukum sunah muakkad. Pendapat kedua, menyatakan berhukum fardu. Pendapat ketiga mengatakan termasuk fardu salat, sehingga bila tidak melakukan ikamah, berakibat salat yang ia lakukan batal.
Semua perbedaan tersebut, berdasarkan hadis praktik yang diajarkan Nabi Muhammad. Karena praktik nabi tersebut bisa berarti wajib, bisa pula sunah. Dalam kitab Bidâyatul-Mujtahid dijelaskan:[1]
وَسَبَبُ هَذَا الِاخْتِلَافِ: اخْتِلَافُهُمْ هَلْ هِيَ مِنْ الاَفْعَالِ الَّتِي وَرَدَتْ بَيَانًا لِمُجْمَلِ الاَمْرِ بِالصَّلَاةِ فَيُحْمَلُ عَلَى الْوُجُوبِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي أَمْ هِيَ مِنْ الافْعَالِ الَّتِي تُحْمَلُ عَلَى النَّدْبِ
“Faktor perbedaan pendapat dalam masalah ini ialah perbedaan ulama apakah praktik salat nabi tersebut menjelaskan garis-besar salat, yang berarti wajib, lantaran sabda Nabi Muhammad, ‘Salatlah sebagaimana kalian melihatku salat,’ atau menjelaskan pekerjaan yang bersifat anjuran.”
Sebenarnya dalam masalah perbedaan pendapat, terdapat banyak faktor. Bukan karena tidak tahu kepada praktik nabi. Semisal, dalam urusan status takbir dengan selain bahasa Arab, terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut tentu bukan karena tidak tahu apakah nabi takbir menggunakan bahasa Arab atau selainnya. Para ulama tentu sudah mengetahui bahwa nabi takbir menggunakan bahasa Arab. Hanya saja, apakah menggunakan bahasa Arab tersebut merupakan syarat, atau bukan? Nah, di sinilah letak khilafiyahnya. Imam an-Nawawi menerangkan di dalam al-Majmû’ Syarh Muhadzdzab[2]:
التاسعة) فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي التَكْبِيْرِ بِالْعَجَمِيَّةِ: قَدْ ذَكَرْنَا انْ مَذْهَبَنَا انْهُ لَا تَجُوزُ تَكْبِيرَةُ الِاحْرَامِ بِالْعَجَمِيَّةِ لِمَنْ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ وَتَجُوزُ لِمَنْ لَا يُحْسِنُ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَابُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ وَاحْمَدُ وَدَاوُدُ وَالْجُمْهُورُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَجُوزُ التَّرْجَمَةُ لِمَنْ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ وَلِغَيْرِهِ وَاحْتَجَّ قَوْلُهُ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى (وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ) وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ الْعَرَبِيَّةِ وَغَيْرِهَا وَبِحَدِيثِ ” تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرَ ” وَقِيَاسًا عَلِيٍّ اسِّلَامُ الْكَافِرِ وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ صَلَّيَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي اُصْلِّي ” وَكَانَ يُكَبِّرُ بِالْعَرَبِيَّةِ فَاِنْ قَالُوا التَّكْبِيرَةُ عِنْدَنَا لَيْسَتْ مِنْ الصَّلَاةِ بَلْ شَرْطٌ خَارِجٌ عَنْهَا قُلْنَا قَدْ سَبَقَ الِاسْتِدْلَالُ عَلَيَّ اَنَّهَا مِنْ الصَّلَاةِ وَالْجَوَابُ عَنْ احْتِجَاجِهِمْ بِالْآيَةِ اَنَّ الْمُفَسِّرِينَ وَغَيْرَهُمْ مَجْمُوعُونَ عَلَيَّ اَنَّهَا لَمْ تُرِدْ فِي تَكْبِيرَةِ الِاحْرَامِ فَلَا تَعَلُّقَ لَهُمْ فِيهَا وَعَنْ حَدِيثِ ” تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرَ ” اَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَيَّ التَّكْبِيرُ الْمَعْهُودُ وَعَنْ قِيَاسِمِ عَلِيٍّ الِاسْلَامُ انَّ الْمُرَادَ الِاخْبَارُ عَنْ اعْتِقَادِ الْقَلْبِ وَذَلِكَ حَاصِلٌ بِالْعَجَمِيَّةِ بِخِلَافِ التَّكْبِيرِ
“Yang kesembilan, perihal pendapat mazhab ulama perihal takbir dengan bahasa non-Arab. Telah kami tuturkan bahwa di mazhab kami (syafi’iyah) tidak diperbolehkan takbiratul ihram menggunakan bahasa non-Arab, bagi orang yang bisa takbir memakai bahasa Arab. Bagi yang tidak bisa, maka diperbolehkan. Hal ini sependapat dengn Imam Malik, Abu Yusuf, Imam Muhammad, Imam Ahmad, Imam Daud, dan mahoritas ulama lainnya. Imam Abu Hanifah berpendapat boleh menggunakan terjemahan takbir. Baik orang itu bisa berbahasa Arab, atau pun tidak. Beliau berdalilkan firman Allah.
Praktik Salat itu Budaya, Benarkah?
Ada salah-satu tokoh intelektual mengatakan, “Salat yang dikatakan ‘imâdud-dîn pun sampai sekarang kita tidak tahu seperti apa kanjeng Nabi salatnya. Sampai sekarang orang salat berbeda-beda semuanya. Itu artinya, karena ada yang tidak tahu persis bagaimana cara Nabi salat. Ada yang baca basmalah, ada yang langsung alhamdulillahi rabil-‘âlamîn. Ada yang sedekap. Ada yang selonjor. Ada yang digoyang-digoyang. Ada yang lurus. Ada yang asyhadu. Ada yang ashadu allâ ilâha ilal-Lâh. Persisnya, Nabi bagaimana salatnya? Tidak ada yang tahu. Jangan sok tahu, makanya. Nabi tidak pernah Qunut. Kapan pernah ketemunya kamunya? Enak aja. Ya, itulah sebabnya, jadi ini yang kita terima ini, adalah proses budaya.”
Perkataan tersebut mengklaim kaifiah salat ini merupakan proses budaya. Beliau hanya berlandaskan perbedaan ulama. Parahnya lagi, beliau mengatakan bahwa tidak ada yang tahu praktik salat nabi. Pernyataan tersebut jelas keliru, sebagaimana yang telah kami paparkan di atas.
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id
[1] Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, Bidâyatul-Mujtahid wa Nihâyatul-Muqtashid, juz 1, hlm. 91
[2] Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqi, al-Majmû’ Syarhil-Muhadzdzab, juz 3, hlm. 301.